Mahar 5000

Mahar 5000

Bab 1

"Pak Rama, tolong nikahi saya."

Suara itu lirih, tapi cukup untuk membuat seluruh dunia Rama seakan berhenti berputar. Ia memandangi gadis di hadapannya. Gaun pengantin putihnya masih sempurna. Riasannya belum luntur. Tapi sorot matanya... bukan bahagia. Melainkan luka yang dalam dan kemarahan yang nyaris tak terbendung.

"Citra… kamu bilang apa tadi?" tanya Rama, pelan, nyaris berbisik. Suaranya gemetar, bingung.

"Saya minta Bapak menggantikan Rava. Nikahi saya. Sekarang juga."

Detik itu, Rama benar-benar kehilangan kata-kata. Ia datang ke gedung pernikahan sebagai ayah mempelai pria. Tapi mempelai pria justru tak muncul, dan kini mempelai wanita... meminta dinikahi olehnya?

"Tunggu. Jelaskan pelan-pelan, Citra. Apa maksudmu?" tanya Rama, mencoba tenang. Tapi hatinya sudah diliputi kecemasan.

Citra menarik napas dalam. "Rava nggak datang. Kami tunggu dari pagi. Sudah dicari ke mana-mana. Tapi nggak ada kabar. Dia kabur tepat dihari penting ini. Bapak yang harus tanggung jawab. Bapak papanya."

"Tunggu sebentar, aku akan hubungi Rava."

Rama mengeluarkan ponselnya, segera menelepon putranya. Suara dering terdengar di telinga mereka. Satu... dua... tiga kali.

"Halo, Pah?" Suara Rava akhirnya muncul. Sedikit panik, tapi tak jelas di mana ia berada.

"Kamu di mana, Rava? Ini Papa sudah di gedung! Kenapa kamu belum datang?"

Hening sejenak.

"Rava?"

"Aku di KUA, Pah."

"Apa? KUA mana?! Semua orang di sini nunggu kamu! Citra juga masih di sini. Di KUA kamu sama siapa?"

Belum sempat Rama bertanya lebih jauh, Citra langsung menyambar ponsel dari tangan Rama.

"Rava! Kamu dimana?!" seru Citra dengan mata berair. "Kamu pikir ini lelucon? Semua orang sudah berkumpul! Ini hari pernikahan kita!"

Tapi tak lama, sambungan tiba-tiba mati.

"Dia matikan teleponnya…" bisik Citra. Wajahnya memucat. Lalu meledak marah. "Kenapa dia kabur?! Apa salahku?! Kami bahkan masih baik-baik saja semalam!"

Rama hanya bisa menggeleng tak percaya. Ini bukan hanya kejutan, ini mimpi buruk di siang bolong.

Tiba-tiba, dari belakang terdengar suara,

"Citra!? Kenapa kamu di luar? Apa yang terjadi?"

Pak Haris, ayah Citra, tampak terkejut melihat calon besan."Pak Rama!?"

Ia melangkah cepat ke arah mereka. Di belakangnya, Bu Maya menahan tangis, menatap wajah anak perempuannya yang tampak hancur.

"Pak Rama? Mana Rava? Kenapa datang sendiri? Mana rombongan?"

"Saya juga nggak ngerti, Pak Haris," jawab Rama jujur. "Saya baru tahu saat sampai sini. Saya pikir Rava sudah di lokasi. Tadi, saya ada halangan jadi datang terlambat."

Pandangan mata Pak Haris yang semula penuh harap, tiba-tiba menudar. Kini, berganti dengan tatapan terluka atau.. Kecewa.

"Kami sudah coba hubungi sejak pagi. Tapi semua nomor diblokir," ujar Pak Haris sambil memeriksa ponselnya. "Nomor saya, Maya, bahkan om-nya Citra... semua nggak bisa hubungi dia."

Maya menangis. "Ya Allah, kenapa jadi begini…"

Citra menahan tangis, menghapus air mata dengan kasar. Ia menatap tajam ke arah Rama.

"Pak! Saya serius. Saya mau Bapak yang nikahi saya. Sekarang juga. Rava pengecut. Saya tidak tau apa yang Rava lakukan dan apa yang membuatnya seperti ini. Tapi saya nggak mau dipermalukan di depan semua tamu. Saya nggak mau acara ini gagal tanpa mempelai."

"Citra…" suara Rama pelan, penuh keraguan. "Aku… ini terlalu mendadak."

"Saya tahu. Tapi saya juga punya harga diri. Semua tamu sudah datang, dan anak bapak sudah mengingkari janjinya."

Pak Haris tertegun. Ia menatap putrinya, lalu Rama. Situasi sudah gila. Tapi kalau tidak diselamatkan sekarang, Citra bisa benar-benar rusak secara mental.

"Rama, Citra benar. Keluarga kami sudah dipermalukan. Bukan seperti ini kesepakatan yang kita buat. Jelas ini menyalahi. Kami bisa menjebloskan Rava ke penjara atas dugaan penipuan. Tapi, itu bukan solusi saat ini."

Rama menarik napas panjang. Ia melihat sekeliling. Tamu-tamu mulai curiga. Beberapa sudah berbisik-bisik. Waktu terus berjalan.

"Baik. Saya akan menikah, untuk mempertanggungjawabkan perbuatan Rava. Tapi saya punya satu syarat."

Citra menatap Rama dengan napas terengah. "Apa, Pak?"

"Kalau kita menikah, maka tidak boleh ada perceraian. Aku tidak mau ini hanya pengganti sementara. Aku akan bertanggung jawab penuh. Tapi kamu juga harus siap jadi istri, baik lahir, ataupun batin."

Citra menatapnya lekat-lekat. Lalu mengangguk.

"Saya setuju." Dalam hatinya, ada bara yang menyala.

Akhirnya, di balik panggung, dengan hanya satu penghulu dan dua saksi seadanya, pernikahan mereka berlangsung. Para tamu mulai berbisik.

"Lho, itu mempelainya siapa? Kok beda?"

"Iya, yang datang bukan Rava ya? Itu siapa, sih?"

Pernikahan mendadak ini, Rama bahkan tak membawa apa pun, hanya uang lima ribu di saku. Ia habis kehilangan dompet saat menuju lokasi.

"Maaf, saya tak bawa uang lebih. Tadi habis halangan. Hanya tersisa uang lima ribu." kata Rama dengan wajah malu."Boleh saya jadikan ini sebagai mahar?"

Penghulu menoleh pada Citra.

"Saya terima," jawab Citra mantap.

"Saya terima nikah dan kawinnya Citra Kirana binti Haris Raharja dengan mas kawin uang lima ribu rupiah dibayar tunai."

Suara Rama terdengar menggema di tengah ruangan. Namun, gema itu yang menimbulkan suara sumbang.

"Apa?"

"Mahar lima ribu? Serius?"

"Aku enggak salah dengar, kan?"

"Jangan-jangan Citra hamil duluan, makanya Rava kabur, dan buru-buru ganti calon!"

Pesta tetap berlangsung. Senyum dipaksakan. Foto-foto tetap diambil. Tapi semua tahu ada yang aneh. Mempelai pria telah diganti.

Gosip menyebar seperti api di musim kemarau. Pak Haris sudah tak tahan. Sore itu, Pak Haris memanggil Rama dan Citra.

"Kemarilah."

"Iya, Pak Haris."

"Citra, duduk."

Citra duduk di samping Rama.

"Kalian mungkin tau, ada cerita-cerita yang beredar di luar sana. Untuk saat ini, lebih baik kalian pergi dulu. Sampai gosip reda."

Citra menatap ayah dan ibunya. Ia lalu menunduk. "Maafkan aku..."

Maya memeluk putrinya sambil terisak. "Yang penting kamu baik-baik saja. Ibu doakan kamu bahagia. Ingat, Cit. Dia suamimu sekarang. Nurut sama Rama, surgamu sudah berpindah padanya."

Dengan langkah berat, Rama dan Citra menaiki mobil jemputan sederhana. Di dalam mobil, hening. Hanya isak tangis Citra yang terdengar.

"Kamu sudah tak bisa mundur," kata Rama tiba-tiba. "Kita tak bisa batalkan semua ini. Kau ingat kesepakatan kita, kan?"

Citra menoleh dengan mata merah. "Iya, saya sangat ingat, Pak."

"Aku akan mencari Rava. Dia harus menjelaskan dan meminta maaf."

Citra melihat ke luar jendela. Ia menatap langit yang mendung seperti hatinya yang kacau. "Rava, jika aku melihatmu lagi, kamu harus menebus semua ini!" bisiknya dalam hati.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!