Bab 5

Bagus. Ini adalah Cincin Semesta," kata Dewa Kehidupan, menyerahkan sebuah cincin perak dengan batu berkilauan di tengahnya. "Kegunaannya adalah untuk menyimpan benda apa pun di dalamnya. Di dalamnya sudah ada berbagai pil, tanaman langka, serta harta yang akan berguna dalam perjalananmu."

Han menerima cincin itu dengan tatapan bingung.

"Tapi… bagaimana cara menggunakannya?"

Dewa Kehidupan tersenyum. "Teteskan setetes darahmu ke cincin itu. Fokuskan pikiranmu untuk melihat isi di dalamnya. Begitu pula saat ingin menyimpan atau mengeluarkan barang—cukup bayangkan apa yang kamu inginkan."

Han mengangguk. Ia menggigit jarinya dan meneteskan darah ke cincin tersebut. Seketika cincin itu bersinar terang.

Saat mencoba melihat ke dalam cincin dengan pikirannya, Han terbelalak kaget.

"A-aapa… ini semua untukku?" gumamnya melihat tumpukan emas, permata, pil, baju zirah perang, pedang, dan barang-barang langka lainnya.

"benar. Semua itu adalah warisan untukmu. Sekarang kembalilah ke tubuhmu, pelajari dan manfaatkan semua yang telah kuberikan."

Begitu kata Dewa Kehidupan selesai terucap, tubuh Han diselimuti cahaya emas. Han tidak sempat untuk bertanya mengapa dirinya bisa mendapatkan semua ini, karena ia dikembalikan ke tubuh aslinya.

Pukul 04.50 pagi, Han terbangun. Ia segera duduk dan memeriksa tubuhnya dengan cemas, takut semuanya hanyalah mimpi. Namun saat ia melihat lengan barunya bersinar emas dan tubuhnya telah berubah… barulah ia percaya.

"Hmph! Ternyata… ini nyata! Aku punya tangan lagi! Dan aku jadi kuat sekarang, hahaha!" seru Han penuh bahagia, tawanya memecah keheningan hutan yang sunyi.

Ia pun duduk bersila dan mulai mempelajari seluruh ilmu warisan yang telah diberikan padanya. Hampir 4 jam ia bermeditasi, memproses ilmu tentang kultivasi, ilmu medis, dan kekuatan Mata Ilahi.

Setelah selesai, Han bersiap untuk menuju kota Tamian. Namun sebelum pergi, ia menyadari sesuatu.

"Lho, kok pohon ini nggak rusak ya? Padahal tadi disambar petir. Bajuku aja sampai robek begini…" katanya sambil melihat penampilannya yang seperti orang gila.

Karena penasaran, Han pun memfokuskan Mata Ilahi-nya ke arah pohon tersebut. Matanya menyala ringan, menembus lapisan kayu dan akar.

"Hah? Ini… apa ini pedang roh, Legendaris itu?"

Han melihat sebuah pedang berwarna hitam legam dengan aura yang mengerikan di dalam pohon itu.

Ia menyadari bahwa kekuatan pohon ini berasal dari pedang yang tersegel di dalam akar pohon. Tanpa ragu, Han mengaktifkan kekuatan Golden Hands Arm-nya dan mulai menghancurkan pohon itu.

Duaarrrrr!!!!

Tinju Han menghantam pohon yang baru saja menjadi tempat istirahatnya, Pohon itu bersinar terang sebelum hancur berkeping-keping. Han menggenggam gagang pedang yang tertanam kuat di tanah dan akar. Namun… pedang itu sama sekali tak bergeming.

Tiba-tiba, suara Dewa Kehidupan terdengar di kepalanya.

"Gunakan auramu… dan teteskan darahmu. Maka pedang itu akan mengakui tuannya."

Han segera mengikuti instruksi itu. Ia menyalurkan aura dari tubuhnya, meneteskan darah ke pedang itu—dan seketika, pedang itu mulai bergetar hebat dan bersinar.

Dengan mudah, Han mencabut pedang tersebut dari tanah. Saat pedangnya ditarik dari sarung, muncul aura dingin yang menakutkan dan... suara perempuan yang lembut di telinganya:

"Selamat, Tuan. anda telah menaklukkan pedang roh tingkat Surgawi."

"Si-siapa itu?!" tanya Han, waspada sambil melihat sekeliling.

"Tenang, Tuan. saya adalah roh pedang ini. mulai sekarang, saya akan setiap pada Anda."

"Pedang legendaris ini" kata Han sambil memperhatikan pedang yang ada di genggamannya.

"Benar, Tuan... sesuai dengan namaku, aku adalah roh dari pedang ini. tapi Tuan tidak perlu repot-repot berbicara dengan suara keras. cukup ucapan dalam pikiran, aku akan menjawab langsung ke dalam benakmu. supaya Tuan tidak dikira berbicara sendiri dan dianggap gila, jika berada di keramaian." ujar suara halus itu dalam benak Han.

"Sial," batin Han, sedikit kaget tapi juga kagum.

"Baiklah, roh pedang legendaris tingkat Surgawi. apa kau punya nama? Rasanya aneh kalau aku terus-menerus memanggilmu 'roh pedang'," tanya Han dalam pikirannya.

"Tuanlah yang berhak memberi nama. aku akan menerima apa pun yang Tuan pilihkan," jawabnya dengan nada lembut.

Han berpikir sejenak, lalu berkata, "kalau begitu, bagaimana kalau aku memanggilmu Bulan? karena kau memiliki aura gelap aku pikir itu cocok."

Ada keheningan sejenak, lalu suara itu membalas dengan nada bahagia, "Bulan... Nama yang indah. aku menyukainya. Terima kasih, Tuan."

Setelah itu, Han melanjutkan perjalanannya keluar dari hutan. Ia sempat mandi dan membersihkan diri di sungai, lalu mengganti bajunya dengan yang bersih dari tas yang ia bawa.

Pukul 08.50 pagi, Han menaiki bus menuju kota Tamian.

Di dalam bus, ia duduk di samping seorang pria paruh baya. Suasana cukup tenang; sebagian besar penumpang memejamkan mata, mungkin tertidur. Han sempat terdiam, menikmati ketenangan itu, sampai tiba-tiba—

"Ugh!"

Pria paruh baya di sebelahnya mendadak menggenggam dadanya. Nafasnya tersengal-sengal, wajahnya pucat, keringat membanjiri pelipisnya.

"Ayah! Ayah kenapa?!" seru seorang anak laki-laki kecil yang duduk di samping pria itu, tangisannya pecah melihat ayahnya kesakitan.

Penumpang lain pun mulai panik setelah melihat apa yang terjadi pada orang tua anak kecil itu. Beberapa bangkit dari kursi, menatap kebingungan. Kenek bus pun maju, tapi tak tahu harus berbuat apa. Rumah sakit masih jauh, dan di luar jendela hanya hutan lebat terbentang sepanjang jalan.

"Pak, tolong dong! Ini gimana! Kasihan anak ini, kayaknya orang tuanya serangan jantung!" teriak salah satu penumpang.

"apa yang bisa saya lakukan? sedangkan rumah sakit masih jauh," ucap kenek bus dengan suara panik, wajahnya mulai pucat.

"I-ini… di sini apa ada dokter?" tanyanya lagi sambil memandang ke seluruh penumpang.

Namun, semua hanya menggeleng. Tidak ada satu pun yang tahu harus berbuat apa.

Han yang sejak tadi memperhatikan situasi itu akhirnya berdiri. Suaranya tegas namun tenang, "Biar saya bantu, Pak. Saya bisa menyembuhkan beliau."

Semua mata kini tertuju pada Han—seorang pemuda belasan tahun yang terlihat masih terlalu muda untuk dipercaya dalam situasi sepenting ini. Anak kecil di sisi pria paruh baya itu masih menangis tersedu-sedu, memegang tangan ayahnya yang dingin.

"Apa kamu yakin bisa menyelamatkan bapak ini?" tanya kenek dengan nada ragu.

Han hanya mengangguk pelan. Ia mengulurkan tangan ke tasnya, dan secara diam-diam mengambil satu set jarum akupunktur dari dalam cincin semesta. Dalam sekejap, alat itu ada di genggamannya.

Penumpang sontak terkejut. Beberapa berdiri, melihat Han bersiap menusukkan jarum ke tubuh pria yang sekarat itu.

"Heh! Kamu mau ngapain?!" bentak kenek sambil meraih bahu Han, mendorongnya menjauh. "Mau ngebunuh orang, hah?"

Keributan kecil pun terjadi. Penumpang lain ikut berteriak, ada yang langsung menuduh Han gegabah, ada yang hendak ingin menghalanginya.

Namun Han tetap berdiri tegak, matanya serius, suara gemetar tapi jelas, "Tolong dengarkan saya. Saya tahu apa yang saya lakukan. Kalau kita tunggu sampai rumah sakit, dia tidak akan selamat."

Penumpang masih ragu, namun Han melanjutkan, "Kalau ternyata saya salah… kalian bisa laporkan saya ke polisi. Bahkan kalau kalian mau… bunuh saya pun tak apa."

Dia menunduk dalam, lalu berkata dengan tenang, "Tapi beri saya kesempatan. Demi nyawanya… dan anak itu."

Suasana di dalam bus hening seketika.

Anak kecil itu menatap Han dengan mata merah dan penuh harapan.

"bang, tolong bantu ayah saya." kata anak kecil itu dengan pasrah.

Terpopuler

Comments

Kama

Kama

Nggak cuma ceritanya saja yang menghibur, karakternya juga sangat asik. Aku jadi terbawa-bawa suasana. Ciyeee haha

2025-05-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!