Bab 3

Han yang sejak awal melihat semua kejadian itu pun mematung di tempat. wajahnya pucat pasi, hatinya sangat sakit seperti di tusuk oleh ribuan pisau, membuat dirinya kesulitan untuk bernafas.

wanita yang di cintainya telah menerima cinta cowok lain? ia berusaha untuk tidak mempercayainya. Namun, itu semua terjadi dihadapkan matanya.

ia melihat, bagaimana Bela sangat bahagia dalam pelukan Andre. dan senyuman itu? senyuman itu, tidak pernah di lihat oleh Han saat mereka sedang bersama.

waktu terasa berhenti bagi Han, dan bayangkan-bayangan saat mereka sedang bersama muncul begitu saja. dan tanpa di sadari, cairan bening lolos dari matanya dan membasahi pipinya yang kemerahan.

Han pergi dari sana sebelum ada yang menyadari keberadaannya, dirinya tidak kuat jika harus berlama-lama melihat kemesraan yang ditunjukkan oleh Bela dengan laki-laki lain.

ia pergi kebelakang sekolah, salah satu tempat teraman dari ganguan-gangguan yang menjengkelkan itu.

Sesampainya di sana, Han duduk dengan lemas bersandar di bawah pohon sambil memandang gunung yang memenangkan. Namun, itu semua masih belum cukup untuk menenangkan hati dan pikiran anak muda yang sedang patah hati itu.

Ting!!! Ting!!! Ting!!!

Begitu lonceng berbunyi. Han bangun untuk ke kelas, setelah menenangkan dirinya.

"aku harus menanyakannya kembali pada Bela, agar semuanya jelas" batin Han

Han menggangap semua ini salah dirinya, karena tidak berani untuk menyatakan perasaannya. ia berpikir bahwa Bela terlalu lama menunggu kepastian darinya sehingga menerima cowok lain.

Han terlalu bodoh soal percintaan sehingga ia tidak menyadari semua kejadian-kejadian tentang dirinya dan Bela yang hanya memanfaatkannya saja.

Dia berpikir bahwa Bela selama ini juga mencintanya. ya begitulah, jika orang sudah jatuh cinta. buta dan sangat mudah untuk di bodohi sekalipun dirinya pintar dalam pelajaran.

Han berusaha untuk fokus belajar di kelas dan sesekali memperhatikan Bela yang tersenyum sendiri itu tanpa memperhatikan penjelasan di depan.

beberapa jam kemudian...

waktu yang di tunggu-tungg pun tiba lonceng pulang sekolah berbunyi dan semua Murid berhamburan keluar, Han yang ingin memastikan kembali tentang apa yang ia lihat pada Bela pun tak sempat.

kerna Bela lebih dulu keluar dengan terburu-buru. Han berusaha untuk mengejar dan sesampainya di parkiran, Han bisa melihat Bela yang sedang bersama Andre yang menaiki motor sportnya.

Han yang melihat itu menjadi ragu, apa ia akan menanyakannya sekarang? tapi jika tidak sekarang ia akan selalu penasaran dan pekerjaannya akan terganggu. jadi Han memberanikan diri untuk menemui Bela yang sudah menaiki motor.

"Bela, Kamu mau pulang bareng Andre?" tanya Han

Bela yang menyadari bahwa Han menyusulnya terlihat tidak suka.

"Iya. kenapa nanya gitu" jawab Bela sinis

Han yang gugup pun mencoba memberanikan diri untuk bertanya.

"Em.. kalian pacaran?"

"dia siapa sayang?" Tanya Andre terlihat tidak suka dengan cowok cacat yang berpura-pura akrab dengan pacarnya.

"dia?" Bela menunjuk Han sebentar sebelum menatap Andre dengan senyuman manisnya.

"dia babu aku sayang" lanjutnya.

"babu?" heran Andre, tapi kemudian dia ikut tersenyum.

"iya babu, dia yang suka aku suruh-suruh buat kerjain tugas sekolah aku." kata Bela yang mulai memperlihatkan sikap aslinya.

"ohh gitu.. hahahaha" tawa Andre sebelum melanjutkan, "eh buntung. kalo gitu nanti tolong kerjain PR gue ya"

"Be-Bela" Han terlihat tidak percaya.

"Apa! Lo pikir gue suka sama lo? engga ya. amit-amit gue suka sama cowok buntung kaya lo, Dasar nggak sadar diri."

Kata Bela dengan lantang. Perkataannya membuat Han tercekat tak percaya. Ia selalu mengira Bela adalah wanita yang baik dan berbeda dari orang lain. Ternyata, memang Bela berbeda—dia adalah seorang pengkhianat yang menusuk Han dari belakang, meninggalkan luka yang jauh lebih dalam dibandingkan luka dari siapa pun yang pernah menyakitinya.

"Lo-nya aja yang gampang dibodohin. Kalau lo nggak pinter mah, ogah banget gue deketin lo. Ingat ya, Han, lo itu cuma gue manfaatin. Lagian, ngaca deh! Di rumah punya kaca, kan? Emang ada cewek yang suka sama cowok yang cuma punya satu tangan?"

Perkataan Bela itu menyambar Han seperti petir di siang bolong. Ia hanya diam membisu, terpaku di tempat, sementara tatapan orang-orang yang hendak pulang tertuju padanya. Bisik-bisik pun mulai terdengar di sekelilingnya.

"Nggak tahu malu banget, ya! Emang dia pikir dia siapa?" gumam seseorang di area parkiran sekolah.

"udah yu kita pulang." kata Bela pada Andre sambil memeluknya dari belakang.

"awas lu ya." kata Andre melotot pada Han sebelum menjalankan motornya.

Brum... Brum... Brum...

Han masih terpaku di tempatnya. Butuh waktu beberapa saat hingga akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Perasaannya campur aduk—antara sedih, marah, dan tak percaya. Ia melangkah tanpa arah, tenggelam dalam lamunan, tak memperhatikan jalan di sekitarnya. Sesekali, langkahnya terhenti karena tersandung, tapi ia terus berjalan, seolah tak peduli pada apa pun lagi.

Saat sudah dekat dengan rumah, Han kembali dikejutkan oleh pemandangan yang tak kalah menyakitkan—seorang petugas bank berdiri di depan rumahnya, sementara semua pakaian dan barang-barangnya berserakan di halaman.

"Tuan Rendi, kenapa semua barang saya dikeluarkan?" tanya Han dengan bingung, sambil buru-buru memunguti dan membereskan bajunya.

Pak Rendi, yang melihat Han sudah tiba, menjawab dengan nada tegas,

"Bawa barang-barangmu dan pergi dari sini sekarang. Rumah ini disita. Kamu sudah menunggak pembayaran selama lima bulan."

Han, yang tak terima rumah satu-satunya—warisan dari keluarganya—akan disita, mencoba memohon dan meminta keringanan, berharap masih ada jalan untuk mempertahankan apa yang tersisa dari hidupnya.

"Tapi Tuan, saya sudah bayar bulan kemarin," kata Han dengan nada putus asa.

"Iya, kamu memang bayar. Tapi cuma setengah bulan, sedangkan kamu sudah menunggak lima bulan. Mana bisa begitu?" jawab Pak Rendi dingin.

"Tapi ini rumah satu-satunya yang saya punya," Han masih mencoba bertahan, suaranya mulai bergetar.

Pak Rendi mulai kehilangan kesabaran. Ia menoleh ke arah anak buahnya dan memerintahkan tanpa sedikit pun rasa kasihan,

"Cepat usir dia dari sini. Kalau dia melawan, pukul saja!"

Anak buahnya pun segera menyeret Han keluar. Han yang berusaha melawan tak mampu menandingi kekuatan mereka. Ia diseret bersama tas berisi pakaiannya, lalu dilempar ke tanah. Masih berusaha bertahan, Han memeluk kaki salah satu dari mereka, memohon agar tidak diusir. Namun ia malah ditendang hingga tersungkur ke tanah.

"pergi dari sini. atau aku akan menghilangkan satu tanganmu yang tersisa, biar kau tidak punya tangan sekalian." sala satu anak buah Rendi mengancam

karena tak berdaya lagi, Han perlahan bangkit dan mulai berjalan menjauh. Sesekali ia menoleh ke belakang, memandangi rumah peninggalan orang tuanya yang kini tak lagi bisa ia miliki.

Ia terus melangkah hingga hutan mulai menyelimuti sisi kiri dan kanan jalan. Dalam kesunyian, Han mulai berbicara dalam hati.

"Sekarang aku harus pergi ke mana? Apa aku harus ke ibu kota Tamian? Tapi hari sudah mulai gelap… dan aku juga lapar. Belum makan dari siang tadi."

Sambil memegangi perutnya yang keroncongan, Han akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam hutan. Tempat itu sudah tak asing baginya—ia biasa berburu ayam hutan dan kelinci di sana. Ia tahu hutan itu aman dari binatang buas, jadi ia berani masuk lebih dalam, meski langit mulai gelap.

Han naik ke atas sebuah pohon besar tempat ia biasa beristirahat. Di sana, ia pernah membuat tempat tidur darurat dari papan kayu. Setelah meletakkan barang-barangnya, ia turun untuk berburu.

Tak lama, ia berhasil menangkap seekor ayam hutan. Ia menyalakan api, memanggang hasil buruannya, dan makan dengan lahap. Setelah kenyang, Han kembali naik ke atas pohon dan merebahkan tubuhnya. Meski ia tahu hutan ini aman, Namun rasa takut tetap menyelinap.

Cahaya bulan menembus sela-sela dedaunan, menciptakan bayangan samar di sekelilingnya. Tiba-tiba, kilatan petir terlihat di langit.

"Apa mau hujan, ya? Wah, bisa gawat kalau hujan," gumam Han, memandangi langit yang mulai bergemuruh.

Duuaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr!!!

Tanpa peringatan, petir menyambar ke arahnya. Tubuh Han seketika seperti disetrum listrik yang sangat kuat. Ia merasa jiwanya ditarik ke langit, terbawa oleh kilatan petir itu ke suatu tempat yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya…

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!