Suasana tegang menggelayut di lorong rumah sakit, tepatnya di luar ruangan IGD tempat mamanya Lara ditangani. Semua memilih diam dan sibuk dengan pikirannya masing-masing. Lara yang duduk di sudut ruangan memperhatikan Tiara yang sedang menangis sesenggukkan di bahu papanya, sementara di sudut lain Darren dan orang tuanya juga sedang merasakan ketegangan yang sama.
Sejenak Lara melihat Darren sedang menatapnya, ada kerinduan mendalam di balik tatapan itu, Lara membuang pandangannya ke arah lain, dia tidak ingin luluh dengan tatapan itu. Ada kemarahan terselip di hatinya karena Darren membuka semua fakta tentang hubungan mereka, hal itu justru menyebabkan mamanya anfal. Hal yang selama ini dia pertahankan supaya tetap hanya menjadi rahasia hidupnya saja, harus terbuka di saat yang tidak tepat.
Terdengar pintu ruang IGD dibuka, seorang dokter laki-laki yang nampak sudah berumur keluar dari ruangan tersebut. Namanya dokter Paulus, beliau adalah dokter spesialis jantung yang selama ini menangani mamanya.
"Bagaimama, dok?" tanya papanya dengan nada khawatir.
Dokter Paulus menghela nafas ringan. "Pasien sudah melewati masa kristis, untung saja cepat dibawa kemari."
Semua menarik nafas lega mendengar berita baik itu.
"Next time mohon dijaga supaya ibu Mia tidak mendengar berita2 atau hal-hal yang bisa membuatnya syok dan mengalami serangan jantung seperti ini lg. Anfal pertama masih bisa bersyukur bisa terlewati, jangan sampe terjadi yang berikutnya. Saya tidak mau ambil resiko yang lebih buruk dari ini," ujar dokter panjang lebar.
"Baik, dok. Terima kasih. Apakah kami boleh melihatnya sekarang?" tanya papanya.
"Tunggu pasien dipindah ke ruang rawat ya, mohon bersabar. Bapak silakan ikut ke ruangan saya, ada hal-hal yang harus saya jelaskan lebih detail," ajak dokter Paulus pada papanya.
Sepeninggal dokter Paulus dan papanya, Tiara terduduk sambil menangis menutupi wajahnya. "Sabar, Nak," mamanya Darren memeluknya lembut.
"Terima kasih, Ma," Tiara menyandarkan kepalanya.
Perasaan bersalah semakin menyergap Lara, menyaksikan mamanya anfal, mengacaukan acara makan malam keluarga yang seharusnya sangat spesial untuk Tiara. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Mama, papa, dan Darren pamit dulu ya, Nak. Besok kami kesini lagi, tolong pamitkan pada papamu. Kamu harus kuat ya, semua akan baik-baik saja," pamit mamanya Darren pada Tiara.
Diusapnya punggung Tiara, menyalurkan kenyamanan padanya. Tiara menganggukan kepala dan melepaskan pelukannya, kemudian rambutnya diusap lembut oleh papanya Darren. Lara mengalihkan pandangannya ke arah lain, dia merasa tidak dianggap sama sekali, seperti butiran debu halus yang tidak terlihat oleh siapapun.
"Aku tetap disini, Ma," akhirnya terdengar juga suara Darren. "Ada hal yang harus kuselesaikan bersama Tiara dan Lara," lanjutnya lagi.
"Jangan sekarang, Darren. Waktunya tidak tepat, ayo kita pulang," papanya berkata tegas.
Kini tinggal Lara dan Tiara yang duduk berjauhan, tak ada satu katapun terucap dari mulut mereka. Sekian menit tanpa suara, Lara menhampiri kakaknya.
"Kak, maafkan aku..."
Tiara mengangkat telapak tangannya di depan wajah Lara, dia menggeleng meminta Lara tidak melanjutkan kalimatnya.
"Pernikahan ini harus terjadi, La. Apapun caranya, setidaknya kamu berkorban demi mama yang sudah mencintaimu tanpa pamrih. Kamu harus membujuk Darren untuk melanjutkan pernikahan ini," Tiara berkata datar.
"Aku tidak ingin mendengarkan alasan apapun, aku hanya ingin meminta tolong padamu supaya ini semua terwujud sesuai yang telah direncanakan."
Lara mengangguk pelan. "Baik kak, aku akan pastikan pernikahanmu dengan Darren tetap terlaksana."
Lara tidak mempedulikan rasa nyeri yang menghinggapi dadanya ketika mengucapkan kalimat itu, dia berada di posisi yang sulit, karena orang-orang ini semua begitu berharga dan sangat disayanginya.
"Bagaimana, Pa?" tanya Tiara begitu melihat kedatangan papanya.
"Semua aman terkendali, sebentar lagi mama dibawa ke ruang rawat," ujar papanya lega.
Lara dan Tiara menarik nafas lega secara bersamaan. "Kamu pulang saja, La. Papa tidak mau kalau mama sampai syok lagi kalau melihatmu pada saat dia bangun nanti," tukas papanya tajam.
Dengan wajah kecewa Lara menahan air matanya yang sudah berkumpul di kelopak matanya, sedikit terluka mendengar kalimat yang diucapkan papanya. Tidakkah semua orang tahu bahwa perasaan bersalah menggelayutinya, tidak perlu ditekankan bahwa dialah penyebab mamanya anfal.
"Dan tolong yakinkan Darren untuk tetap menikahi Tiara, lupakan hubungamu dengan dia. Berkorbanlah sedikit untuk mamamu yang sudah banyak berkorban juga untukmu sedari kamu masih bayi merah."
Kalimat papanya kali ini sukses membuat air mata yang ditahannya keluar dengan deras, jadi semua ini tentang balas budi dan pengorbanan. Fine, dia sudah tahu posisinya. Masalah balas budi dan pengorbanan tidak perlu diingatkan, dia pun sangat mengerti akan hal itu.
"Baik, Pa. Lara permisi, akan Lara selesaikan semuanya."
Tanpa menunggu jawaban dari papanya, Lara berlari keluar dari rumah sakit dengan air mata berderai. Dadanya terasa sesak, dia merasa tak seorangpun yang bisa dijadikan sandaran. Masalah bertubi-tubi datang silih berganti dalam hidupnya, dia merasa terombang ambing, kehilangan arah.
Pertama dia harus merelakan kekasihnya untuk kakaknya, kedua dia harus mengetahui bahwa dirinya bukan anak kandung ibunya, ketiga ketika dia sudah berusaha mengorbankan perasaannya demi membalas budi sang ibu, malah sekarang dia menjadi orang yang paling bersalah karena menyebabkan ibunya anfal.
Sambil terus menangis Lara menunggu taksi yang lewat, dia mau pulang ke rumahnya dan segera berkemas untuk kembali ke Surabaya. Dia merasa sudah tidak ada kepentingannya juga berada di kota ini.
Bunyi notifikasi whatsapp di ponselnya membuyarkan lamunan Lara.
Joshua : Ki, kamu di mana? Sedang apa?
Lara segera membalas pesan itu.
Lara : Aku sedang berkemas, ko. Siap-siap flight.
Joshua : Kok dadakan, Ki? Bukannya besok sore kamu baru flight?
Pesan Joshua hanya dibaca oleh Lara, dia segera menghentikan taksi yang melintas di depannya. Setelah berada di dalam taksi, Lara menyebutkan alamat tujuannya pada supir taksi itu.
Setibanya di rumah, Lara segera mengemasi pakaiannya ke koper dan bergegas ke bandara.
"Non, mau kemana?" tanya bik Sumi, ART yang sudah lama melayani di keluarganya.
"Lara berangkat ke Surabaya, bik."
"Nyonya bagaimana, Non?"
"Puji Tuhan mama sudah baikan, bik. Sekarang sudah di ruang rawat. Lara pamit ya, bik."
Tak menunggu jawaban dari bik Sumi, Lara segera membuka pintu. Taksi online yang tadi dipesannya sudah tiba di depan rumah, siap mengantarkannya ke bandara. Dia akan membeli tiket di bandara, dan memilih penerbangan yang paling awal ke Surabaya. Dia sudah tah tahan berlama-lama di Jakarta, hatinya terasa hampa. Toh keluarganya juga sudah tak mempedulikan kehadirannya, bahkan papa melarangnya untuk menemui mamanya.
Besok dia akan menyelesaikan semuanya, termasuk hubungannya dengan Darren. Seperti janjinya pada Tiara dan papanya, Lara akan membuat Darren melanjutkan pernikahan itu.
***
From author :
Done lg 1 bab y guys, ini supaya ceritanya ga gantung2 amat. Next chapter lebih seru lg nih, makanya jangan lupa vote ya.
Seperti biasa tolong dunk like, comment, n share. Authornya aga melempem klo kurang support dari readers yg budiman...
See ya next chapter, dengan konflik yang semakin seru pastinya.
Luv,
Lanny Tan
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
scarlet
😭😭😭😭😭
2022-11-16
0
🍃⃝⃟𝟰🫦•𓆩𝐃𝐄𝐒𝐒𓆪♐𝐀⃝🥀
g ada yg ngertiin lara😢
dikhianati, bukan anak kndung, rasa brsalah, dan hutang budi😢
knpa dia d lahirkn klo untuk kmudian mmblaskn budi mama tirinya? dia g minta di hadirkan keles..
papanya bukan jiwa orangtua. Dia yg selingkuh dr mama tiara, hingga lara lahir, dia pula yg mnyakiti lara dgn kata2 yg g seharusnya
sedih bgt part ini
menjauh aja lara, kamu mandiri bisa berpijak di kaki sendiri. keluarga bisa nya cuma menyalahkan mu tnpa mencoba ngertiin posisimu 😭
2022-09-22
0
Violet Agfa
nyeseekkk 😭😭😭😡😡😡😡😡
2021-03-21
1