Darren berlari mengejar Lara yang keluar dari cafe, dia merasa masih harus menjelaskan perihal hubungannya dengan Tiara.
"Beb, tunggu aku," Darren kembali meraih lengan Lara.
"Apalagi kak? Semua sudah jelas disini, aku memang bodoh. Dua tahun menjalani hubungan yang sia-sia denganmu, ternyata di belakangku kamu ada main dengan perempuan lain. Yang membuatku lebih sakit, perempuan itu adalah kakakku sendiri. Kamu posisikan seandainya kamu yang jadi aku, sehancur apa aku sekarang?" tanya Lara sinis. "Satu lagi ya calon kakak iparku, jangan pernah panggil aku beb lagi, i'm not you babe anymore. We're done."
Darren menghela nafas, ternyata sesulit ini menenangkan seorang gadis yang sedang emosi tinggi.
"La, kasih aku kesempatan untuk setidaknya menjelaskan. Kamu tahu tidak apa yang aku rasakan sekarang ini? Betapa hatiku sakit ketika semalam duduk bersanding dengan gadis lain tapi di hadapanku duduk juga gadis yang kucintai? Gadis yang menahan tangisnya, aku ingin sekali memelukmu memberikan kenyamanan, tapi aku tidak bisa. Aku juga sakit, La," Perkataan Darren kembali membuat air mata Lara meleleh.
Dengan penuh kasih Darren menyeka air mata Lara dengan ibu jarinya.
"Aku sama sekali tidak tahu kalau kamu salah satu putri om Andreas, aku juga baru tahu kalau orang tua kita bersahabat."
"Tapi kenapa kamu mau ditunangkan dengan kakakku? Bahkan setelah kamu tahu aku adalah adiknya Tiara, kamu tetap melanjutkan pertunangan ini? Aku tidak habis pikir, seandainya Tiara bukan kakakku, kamu bertunangan dengan gadis lain tanpa sepengetahuanku. Sampai kapan kamu akan membodohiku?" Lara menepis tangan Darren dari wajahnya. "Kamu pikir perasaanku ini cuma mainan? Bisa kamu tarik ulur sesuka hatimu?"
"La, aku sangat mencintai kamu. Aku mencari waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya padamu. Aku..."
Lara mengangkat tangan kanannya menandakan dia meminta Darren berhenti bicara.
"Cukup, kak. Aku tidak perlu mendengar apapun lagi, satu hal yang pasti hubungan kita selesai sejak kamu bertunangan dengan kakakku semalam. Sekarang ini hubungan kita tidak lebih dari sekedar kakak dan adik ipar saja. Jangan pernah menggangguku lagi."
Darren menggeleng keras, tidak terima dengan keputusan Lara. Tapi untuk saat ini memaksa Lara untuk mendengarkannya juga bukan pilihan bijak, pada akhirnya Darren hanya bisa memandangi punggung Lara yang menghilang dibalik tikungan. Dia memutuskan tidak mengejarnya, memberikan Lara waktu untuk berpikir jernih dulu.
Lara membawa motornya menuju rumah Mutia, sebelumnya dia sudah berjanji akan mampir ke rumah Mutia siang ini. Dia perlu bahu untuk menangis, setidaknya bisa untuk meringankan bebannya.
"Masuk, La," Mutia menyambut sahabatnya dengan riang.
Mereka menuju ruang tamu, suasana rumah sepi karena penghuninya beraktifitas di luar semua. Kecuali Mutia yang memang sedang menikmati day off di rumah saja.
"La, aku sebenarnya dari semalam bingung dengan kisah cinta kalian bertiga. Kok bisa kamu pacaran sama Darren, tapi yang jadi tunangannya malah kak Tiara?" Mutia to the point ke inti permasalahannya.
"Kamu aj bingung, apalagi aku?" ujar Lara dengan suara serak karena kebanyakan menangis. "Tadi aku baru saja bertemu dengan Darren, dia memaksaku mendengar penjelasannya. Tapi aku tidak mau mendengar apapun lagi, aku sudah akhiri hubungan kami. Dan kamu tahu? Dia tidak mau mengakhiri semua ini, ya aku tidak maulah. Masa aku mau jadi org ketiga diantara mereka?" lanjut Lara emosi.
Mutia mengangguk tanda mengerti, dia mengelus pundak Lara yang sedikit bergetar karena kembali menangis. Diambilkannya segelas air putih untuk Lara minum, dengan terisak Lara mencoba minum.
"Thanks ya, Tia. Aku tidak tahu harus cerita sama siapa kalau tidak ada kamu."
"It's okay, La. I'll always be here for you," Mutia kembali menenangkan sahabatnya itu. "Jadi sampai detik ini keluargamu tidak ada yang mengetahui tentang hubungan kamu dan Darren?" tanya Mutia disambut gelengan Lara.
Mutia menarik nafas seolah dia bisa merasakan kepenatan hati Lara.
"Biarkan seperti ini saja, lebih baik tidak ada yang tahu, jadi tidak akan ada yang tersakiti. Cukup aku saja," Lara menatap kosong.
Aku harus kuat menghadapi semua ini, gumam Lara dalam hati. Dia hanya perlu fokus pada pekerjaan dan cita-citanya, mungkin sedikit bisa mengalihkan semua sakit hati yang dirasakannya saat ini.
Dia yakin bahwa semua akan baik-baik saja tanpa Darren dalam hidupnya, mungkin awalnya saja yang akan terasa berat.
"Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu, aku mencintaimu, dan tidak menuntut kamu harus mencintaiku juga. Satu hal yang pasti, aku akan selalu ada untukmu."
Lara tersenyum getir mengingat ucapan Darren kala itu, begitu manis dan menyegarkan. Tapi kenyataannya sekarang teramat pahit dirasa.
"Stop berkhayalnya, La. Kita happy-happy saja ya. Kapan lagi bisa jalan-jalan bareng gini, beberapa hari lagi kan kamu sudah harus kembali ke Surabaya. Enjoy dululah sama aku," Mutia mencoba mengalihkan Lara dari kesedihannya.
Sekarang mereka sedang berada di salah satu pusat perbelanjaan, cuci mata ala-ala ABG.
"Kirana Larasati?" Lara mencari arah suara yang menyebutkan namanya secara lengkap.
Lara mengangguk ragu, di hadapannya berdiri pria tampan berusia hampir 30 tahunan sepertinya. Dengan garis wajah tegas, bodi atletis, dan tinggi yg proporsional dengan bentuk badannya yang ideal. Good looking, sedap dipandang. Lara tersadar dari kekagumannya terhadap pria ini justru karena merasakan pinggangnya dicolek oleh Mutia.
"Maaf bapak siapa ya?" tanya Lara dengan polosnya.
"Wah, ini kedua kalinya kamu memanggil saya dengan sebutan bapak. Kok saya merasa tua ya?" Laki-laki dihadapannya tertawa renyah.
Lara tampak mengernyitkan dahinya, sedang berusaha mengingat siapa pria dihadapannya ini.
"Saya Joshua, PT. Karya Jaya. Kita ketemu waktu tender beberapa minggu yang lalu di Surabaya., waktu itu kamu panggil saya juga dengan sebutan bapak dan saya protes tidak terima," laki-laki bernama Joshua ini murah senyum, ketampanannya semakin menyihir lawan bicaranya.
"Oh iya, pak. Saya ingat sekarang, maaf ya karena penampilan bapak hari ini sangat casual, saya tidak mengenalinya. Apa kabar pak?" Lara berkata sopan.
"Don't call me bapak, please. Memangnya saya kelihatan sudah seperti bapak-bapak ya?" Joshua tersenyum lagi. "Next month saya ulang tahun yang ke 29 loh, belum terlalu tua kan ya?" lanjutnya lagi.
"Ehem..." Mutia berdehem karena merasa jadi obat nyamuk.
"Iya, maaf ko. Bolehkah saya panggil koko saja?" tanya Lara yang kebetulan mengenali tipe wajah oriental milik Joshua. "Perkenalkan ini sahabat saya, Mutia namanya."
"Halo," sapa Mutia malu-malu.
"Halo Mutia, salam kenal ya, saya Joshua. Kamu boleh panggil nama saya atau panggil koko juga boleh seperti Kirana memanggil saya barusan."
Mereka berbincang ringan, sambil bertukar nomor whatsapp, tetap menjaga jarak sesuai protokol kesehatan karena adanya wabah virus Covid-19.
From author :
Hi, good people...
Kenalan dikit ya sama saya. Nama saya Lanny, ini karya pertama saya disini lho.
Masih banyak banget kekurangannya, masih sambil belajar juga, tapi tetep kasih yang bagus lho buat readers smua.
Hopefully kalian suka ya sama cerita ini.
Ikutin terus kelanjutan kisah ini sampe selesai ya, mohon dukungan VOTE, LIKE, 'n COMMENT juga ya guys. Terima kasih banyak...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Virgo Girl
Ooww... semoga Koko Joshua jd next ayang Beb Kirana 😃😃
2021-02-07
0
Uvie El Feyza
bawang nya jgn banyak" kak,, pedih matanya, hikz,,
2020-11-05
0
Radin Zakiyah Musbich
seru thor... 🌮🌮🌮
ijin promo donk,
jgn lupa mampir di novel dg judul "AMBIVALENSI LOVE"
kisah cinta beda agama 🌮🌮🌮
ditunggu like and comment nya ya 🙏😊
2020-10-25
1