Lara membuka matanya perlahan, dia mengerjap berusaha menyesuaikan dengan sinar matahari yang masuk melalui gorden jendela kamarnya. Sedikit memijat pelipisnya karena kepalanya terasa berat, dia ingat semalaman sudah menangis. Menangisi Darren si pengkhianat, matanya langsung membuka sempurna ketika ingat Darren. Kembali kristal bening meleleh tanpa seijinnya, membanjiri pipinya dengan deras.
Dengan kasar disekanya air mata, diliriknya nakas di samping tempat tidurnya, dengan malas dia meraih ponselnya dan melihat notifikasi. Ternyata ada banyak panggilan masuk dari Darren, ratusan chat yang salah satu pengirimnya adalah Darren. Tiba-tiba ada panggilan masuk, tentu saja dari Darren.
Dengan penuh kemarahan Lara menolak panggilan itu, segera memblokir nomor Darren.
Aku akan menghapus semua tentang Darren, cukup sampai disini saja kisah kita. Aku sangat membencimu, batin Lara.
Ketukan di pintu kamarnya membuyarkan lamunannya.
"Masuk," Lara berkata serak.
"Hai, La. Sudah bangun?" Ternyata Tiara yang mengetuk pintu kamarnya.
"Sudah kak, masuklah. Maaf semalam aku meninggalkan acara, aku kurang enak badan," dusta Lara.
Tiara mengangguk lembut. " Wajahmu pucat."
"Mau kakak bawakan sarapanmu kesini?" tanya Tiara disambut gelengan Lara.
"Nanti aku turun kak, mau mandi dulu. Mama dan papa ada kak?"
Tiara mengangguk sambil merapihkan anak rambut yang berjatuhan ke wajah Lara, ada sebersit kekhawatiran menggelayut di matanya.
"Kamu cari kerja disini. La. Aku, mama dan papa merasa kesepian tidak ada kamu. Apalagi kalau aku sudah menikah nanti, mereka pasti tambah kesepian."
Menikah? Dengan Darren? Dadanya kembali sesak, Lara bersusah payah menahan air matanya yang siap meluncur bebas di pipi mulusnya.
"Aku mandi dulu kak, setelah mandi aku turun sarapan ya," Lara mengusir kakaknya dengan cara halus.
Tiara memeluk Lara sekilas, dengan menepuk punggungnya seolah dia berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Lara membalas pelukan kakaknya dan itu membuatnya semakin perih.
Setengah jam kemudian Lara selesai mandi dan menuruni anak tangga menuju meja makan untuk sarapan, dilihatnya formasi lengkap anggota keluarganya sudah menunggu untuk sarapan bersama.
"Maaf membuat Mama, Papa, dan kak Tiara menunggu ya," Lara mengambil tempat duduk di samping Tiara.
"Tidak apa-apa sayang, ayo kita sarapan dulu. Ini mama masak nasi goreng telur favoritmu," ujar mamanya bersemangat.
Mereka semua senang dengan kepulangan Lara kali ini, karena sudah lama sekali mereka tidak berkumpul dengan formasi lengkap.
Saat sarapan ponsel Tiara berdering, Lara melirik ponsel yang kebetulan dekat dengannya. Ternyata panggilan masuk dari Darren, Lara menelan ludah ketika merasakan sesak kembali menghinggapi dadanya.
"Iya, Darren. Kita semua sedang sarapan. Lara? Sudah baikan kok, kemarin kurang enak badan katanya. Boleh kok, sebentar ya..."
Tiara menyerahkan telepon kepada Lara sambil tersenyum, sebenarnya Lara malas menerima telepon dari Darren, tapi untuk menghindari kecurigaan Tiara dan orang tuanya, akhirnya dia menerima ponsel dari Tiara.
"Iya?" Lara menjawab lirih.
"Buka blokir nomorku, ada yang harus kubicarakan denganmu. Jangan menghindar dariku, atau aku datang ke rumahmu sekarang dan membiarkan mereka semua tahu yang sesungguhnya tentang kita," Darren dengan suara tegasnya membuat Lara tidak punya pilihan lain.
"Baik, aku sudah agak baikan," Lara mengalihkan pembicaraan supaya tidak menimbulkan kecurigaan.
"Setengah jam lagi aku hubungi nomormu, kalau masih diblokir juga aku akan hubungi nomor Tiara."
"Baik, terima kasih."
Dasar laki-laki kurang ajar yang tidak tahu malu, dia yang berkhianat, alih-alih merasa bersalah, seenaknya saja mengancam orang lain. Lara menarik napas pelan, segera dia kembalikan ponsel Tiara dan melanjutkan sarapannya.
"Darren sangat perhatian ya, Pa. Calon adik iparnya kurang enak badan ikutan kuatir. Kamu beruntung Tiara, bersikap baiklah pada Darren," mama menasehati Tiara.
"Lara mau coba periksa ke dokter?" lagi-lagi mamanya bertanya lembut.
Lara menggeleng, "I'm okay, Ma. Ini sudah agak baikan kok. Istirahat sebentar juga pasti lebih baik."
"Pergunakan masa cutimu untuk istirahat yang cukup, La. Dan coba pertimbangkan saran Papa untuk bantu di kantor saja. Resign dari perusahaanmu yang sekarang," papa Andreas berkata tegas.
"Lara ingin mandiri, Pa. Ijinkan Lara untuk cari pengalaman di luar, supaya nanti punya bekal yang cukup untuk bantu Papa juga. Sementara Lara belum bisa bantu Papa dulu ya."
Papanya hanya bisa menggeleng saja, dia tidak ingin memaksa kalau memang Lara belum siap dengan kewajibannya di perusahaan. Mereka segera menyelesaikan sarapannya, kemudian Papanya bersiap berangkat ke kantor, Tiara juga bersiap ke butik miliknya. Tinggalah Lara dan mamanya di rumah.
"La, are you okay?" tanya mamanya lembut.
"I'm okay, mom," Lara berkata sambil merangkul mesra mamanya.
Wanita paruh baya itu balas merangkul Lara, dia tahu ada yang tidak beres, dia bisa merasakannya. Akan tetapi dia tidak bisa memaksa Lara untuk membagi keresahannya, biarlah dia akan menunggu putrinya sendiri yang akan menceritakan kesusahannya.
"Kita harus bicara, La. Temui aku sekarang di cafe Vista," dikte Darren setelah Lara membuka blokirnya.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, it's done," tandas Lara dingin.
"No, aku tunggu di cafe Vista sekarang, atau aku akan jemput kamu langsung."
Lagi-lagi mengancam, Lara menghembuskan nafasnya dengan kasar.
"Aku anggap itu jawaban ya dari kamu, aku tunggu sekarang," tak lama sambungan telepon diputus dari ujung sana.
Membutuhkan waktu 15 menit saja untuk sampai di cafe yang dimaksudkan oleh Darren, dan Lara langsung melihat Darren disudut ruangan cafe yang cukup tersembunyi. Cih, aku seperti selingkuhannya saja, batin Lara kesal.
"I have no time, singkat saja," Lara berkata sinis setelah duduk berhadapan dengan Darren.
"La, aku minta maaf. Aku tahu aku salah karena tidak jujur padamu, tapi ini semua karena aku tidak mau menyakiti perasaanmu. Aku tidak ingin kamu terluka," Darren menyentuh tangan Lara akan tetapi segera ditepis olehnya.
"Permintaan maaf diterima, lupakan semua yang sudah pernah ada diantara kita, jangan pernah mengungkitnya apalagi di depan kak Tiara atau orang tua kita, semua sudah berakhir," bulir bening mengalir d pipinya tanpa bisa ditahan. "Selamat tinggal, Darren," Lara berdiri dari duduknya, dia ingin segera beranjak pergi.
Belum sempat Lara melangkahkan kakinya, Darren sudah menariknya ke dalam pelukannya. "Maafkan aku," ujarnya lirih sambil mengecup puncak kepala Lara.
"Lepaskan aku," Lara memukul dada Darren sambil terisak. "Kamu jahat, kamu bilang ada kerjaan mendesak padahal aku mau mengenalkan kamu pada orang tuaku. Ternyata kamu bohong, yang lebih menyakitkan lagi kamu bertunangan dengan kakakku sendiri. Apa yang ada dalam otakmu? Kamu pikir aku ini apa? Tega kamu..."
Darren membiarkan Lara menyalurkan kekesalannya sambi terus memeluknya erat, dia tidak peduli Lara yang memukul-mukul dadanya. Diusapnya punggung Lara dengan lembut, semata-mata untuk menenangkannya.
"Beb, kamu sadar tidak kalau semua mata di cafe ini memperhatikan kita. Dapat tontonan gratis nih," bisik Darren di telinga Lara.
Terkesiap Lara melepaskan pelukan Darren, tatapan matanya beredar ke sekeliling ruangan cafe yang terlihat cukup ramai. Lara menunduk malu.
"Aku pulang, kak. Bye," Lara berlari keluar cafe diikuti oleh Darren.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Nurwana
astaga lara.... menangis didepan penghianat... lembe banget jadi org..... seharusnya kamu tunjukkan bahwa ap yg dia lakukan itw tdk berefek terhadap kamu, biarkan Darren saja yg akan menyesal.
2022-10-02
0
Radin Zakiyah Musbich
up yg banyak kak... ❤️❤️❤️
ijin promo 😀
jgn lupa mampir di novel dg judul "AMBIVALENSI LOVE" 🎉🎉🎉
kisah cinta beda agama 🍦🍦🍦
jgn lupa tinggalkan jejak ya 🍦🍦🍦
2020-10-18
1