Di bawah hiruk pikuk ibu kota yang tak pernah tidur, tersembunyi di kedalaman sebuah fasilitas bawah tanah berlapis baja dan ilusi digital, The Vault berdetak seperti jantung rahasia negeri ini. Bangunan tak kasatmata itu berdiri jauh dari peta, tak terdaftar di registrasi apapun, tapi menjadi pusat segala operasi paling rahasia terkait anomali mistis, supranatural, dan ancaman multidimensi.
Taki Dirgantara berdiri di tengah ruangan berisi layar-layar hologram yang terus berubah, memperlihatkan citra-citra satelit, grafik energi, serta laporan yang tak pernah berhenti mengalir. Jubah hitamnya bergoyang lembut setiap kali ia bergerak. Di tangannya, Pena Keabadian bersinar samar—bukan sekadar alat, tapi kunci penulisan ulang realitas.
“Hm…” gumamnya, matanya menyipit. “Ini bukan pergeseran energi biasa…”
Salah satu layar memperbesar citra desa kecil di Jawa Tengah. Ada fluktuasi yang ganjil: jejak spektrum roh naik drastis, disertai fenomena elektromagnetik yang tak seharusnya ada di wilayah terpencil itu.
“Ini seperti… dunia arwah membelah tirainya.”
Langkah sepatu hak terdengar mendekat. Seorang agen wanita membawa tablet, wajahnya tegang.
“Tuan Closer, kami dapat laporan tambahan. Tiga desa sekitar mengalami kejadian serupa. Semua korban perempuan. Semua… kehilangan bayi di kandungan.”
Taki menerima tablet itu, membaca cepat. Dahi dan bibirnya mengeras.
“Ada yang sedang membangunkan sesuatu,” bisiknya. “Atau… seseorang.”
Ia menoleh ke dinding di belakang—sebuah deretan rak berisi artefak terlarang yang sudah disegel dengan simbol-simbol kuno. Tangannya menyentuh salah satu stempel tua berwarna perak—dari abad Majapahit, bertuliskan aksara kuno yang kini bergetar sendiri.
“Waktunya mengaktifkan protokol bayangan,” katanya pelan, tapi tegas.
Layar di hadapannya menyala terang. Lima simbol muncul: satu di antaranya adalah milik Asvara, yang lain milik Rengganis, Hellhowl, dan…
Taki menyentuh simbol miliknya sendiri. “Mystic Guard…”
Ia menatap lurus, mata di balik topeng hitam emasnya memantulkan cahaya data yang bergulir cepat.
“Dosa lama ingin bangkit. Dan mereka ingin menuliskannya dengan darah.”
Lampu di lorong utama The Vault tiba-tiba meredup.
Bukan karena gangguan teknis. Ini... terasa seperti sesuatu yang hidup, menyentuh kabel-kabel, menghisap daya, menelusup ke dalam sistem dengan napas yang tak terlihat.
Layar-layar hologram mulai bergetar. Gambar citra satelit berkedip, lalu berubah sendiri menjadi sesuatu yang tak bisa dijelaskan: wajah-wajah mengerang, tangisan bayi, dan tulisan aksara kuno berdarah yang muncul dan menghilang secepat kilat.
Taki Dirgantara memutar tubuh. “Hentikan semua sistem eksternal. Kunci koneksi.”
Terlambat.
Dari ruang operator di seberang, jeritan terdengar. Seorang agen pria menggigil keras di lantai, matanya membelalak. Tubuhnya melengkung seperti melawan sesuatu yang tak kasatmata. Lalu ia berteriak dalam bahasa yang bukan miliknya—aksen Jawa Kuno tercampur suara perempuan tua yang serak, dalam, dan penuh dendam.
Agen lainnya ikut terdampak. Seorang demi seorang jatuh, meraung, menggaruk wajah sendiri, lalu... tertawa. Tawa yang melengking, tidak manusiawi, seolah ratusan suara bertumpuk dalam satu rongga dada.
Taki maju perlahan, tangannya mencengkeram Pena Keabadian.
"Ini bukan kesurupan biasa... ini... pengambilalihan."
Salah satu agen wanita yang merangkak mendekat tiba-tiba mendongak. Matanya kosong. Darah mengalir dari hidungnya, dan ia berseru dengan suara yang sama seperti sebelumnya:
> “Kalian pikir dunia ini milik kalian?
Kalian hidup di atas kuburan yang belum selesai dikutuk.
Hari Ibu akan datang.
Hari kami. Hari darah. Hari jahanam.”
Taki mencoret udara. Sekilas cahaya menyambar ke tubuh agen itu, menyegelnya dalam mantra pelindung. Tapi dari belakangnya, lebih banyak agen mulai jatuh satu demi satu, seolah ‘sesuatu’ yang mengintai berhasil menembus lapisan realitas dan masuk lewat celah pikiran manusia yang goyah.
“Fasilitas ini tak lagi aman,” gumam Taki. “Dia sudah tahu kita akan datang…”
Pena Keabadian mulai bergetar sendiri di tangannya.
Taki berdiri di tengah ruang kendali yang porak-poranda, menatap para agen yang masih tersisa—beberapa setengah sadar, sebagian lainnya dikunci dalam segel pelindung darurat. Ruangan itu kini sunyi, hanya diselimuti suara dengung elektronik dan desahan tubuh yang lelah berjuang melawan kekuatan tak terlihat.
Ia menekan panel komunikasi di lengan kirinya.
> “Unit Sembilan, Unit Dua Belas, dan Tim Siluman Jawa. Fokus wilayah operasi: Jawa Tengah. Segera lakukan evakuasi senyap terhadap seluruh ibu hamil di desa-desa sekitar lembah timur Pegunungan Menoreh. Prioritaskan perempuan usia subur yang menunjukkan gejala mimpi buruk berulang, pendarahan gaib, atau kelahiran yang tertunda.”
Suara agen dari kom luar terdengar panik.
> “Apakah ini protokol biasa, Kapten?”
Taki menatap layar. Wajah-wajah itu muncul lagi. Tapi kali ini mereka menangis. Mereka tahu. Mereka merasakan sesuatu yang akan datang.
> “Tidak,” katanya pelan. “Ini protokol sebelum neraka terbuka.”
Ia mengaktifkan proyeksi peta digital. Sebuah titik merah menyala terang dari tengah hutan—titik yang semula tak ada.
Taki menggertakkan giginya.
“Dia belum menunjukkan wujudnya, tapi dia sudah mulai memilih korban. Janin. Jiwa yang belum lahir. Dia ingin lahir kembali lewat pintu rahim yang kotor oleh ketakutan.”
Pena Keabadian bergetar pelan. Tulisannya mulai memudar.
Ia menatapnya dengan sorot yang dingin.
“Aku harus mempertemukan mereka. Sekarang.”
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
EsTehPanas SENJA
the vault ini macam x files fbi gitu? atau Men in Black 🤭😁
2025-05-11
1