Kabut tipis mengambang di antara pohon-pohon raksasa di pedalaman Kalimantan. Dini hari belum sepenuhnya pecah, namun roh-roh penjaga hutan sudah berbisik di telinga Dinata Maharani.
Ia berdiri di atas akar pohon besar yang mencuat seperti lengan-lengan tua. Rambut hijaunya tergerai oleh angin hutan, jubah hijau gelapnya berkibar pelan. Di tangannya tergenggam Tongkat Cahaya Embun, senjata sekaligus relik peninggalan leluhurnya.
Matanya terpejam. Tapi pikirannya mengembara… terhubung.
“Ada yang rusak di seberang,” bisik suara nenek buyutnya dari alam arwah. “Perbatasan dunia sudah mulai retak.”
Dinata membuka mata. Suaranya dalam dan tenang. “Jawa Tengah…”
Ia melangkah menuruni akar, kaki telanjangnya menyentuh tanah basah, bergetar. Rasa dingin menjalar naik, bukan dari cuaca—tapi dari kegelisahan bumi itu sendiri. Semuanya terasa… berat. Alam tak lagi diam. Bahkan dedaunan yang biasanya menyambutnya dengan bisik lembut kini hanya bergeming.
Ia berjalan ke altar kayu kecil tempat persembahan malam, di mana sesajen bunga, minyak cendana, dan dupa tertata. Api dupa tiba-tiba padam meski tak ada angin.
Sebuah kupu-kupu hitam hinggap di pundaknya. Lalu suara itu datang, bukan dari langit, bukan dari bumi.
“Waktu kita habis, Asvara. Nyai Rante Mayit sudah kembali.”
Darahnya seolah berhenti mengalir. Dinata menggenggam tongkatnya lebih erat.
“…jadi benar,” gumamnya. “Segel itu akhirnya terbuka.”
Seketika, dari balik pepohonan, sosok bayangan tinggi dengan mata merah muncul—makhluk penjaga batas alam yang hanya muncul ketika dunia manusia dan roh mulai menyatu.
Ia menunduk hormat pada Dinata.
“Asvara… waktunya memanggil yang lain. Perang akan datang.”
Dinata membuka mata dari semedinya. Keringat dingin membasahi pelipis dan punggungnya, meski udara malam Borneo sedang sejuk. Di sekelilingnya hanya suara hutan dan bisikan samar yang belum mau diam. Tapi ia tahu… ada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar mimpi buruk.
Langkah tergesa-gesa mendekat dari arah semak. Cahaya obor bergoyang-goyang diseret angin. Lalu muncullah seorang pria tua berjubah kain Dayak, lehernya dililit manik-manik upacara, dan wajahnya penuh guratan yang bicara tentang waktu dan penderitaan.
“Kepala Suku Laja?” Dinata berdiri, menahan napas.
Laja menunduk dalam-dalam, tapi bukan karena hormat—melainkan duka. “Anakku… Dinata Maharani. Kami butuh bantuanmu. Empat ibu muda di hulu sungai… semua bayi mereka… mati dalam kandungan.”
Darah Dinata terasa membeku.
“Dua malam lalu mereka bermimpi sama. Seorang wanita berpakaian putih... wajahnya seperti terbakar. Ia memegang keris dan menyanyi lagu Jawa... Tapi ini tanah kami, bukan tanah dia!”
Mata Dinata menatap tajam. “Apa yang ia nyanyikan?”
Kepala suku gemetar. “Lagu pengantar tidur… tapi liriknya… tentang darah, pengorbanan, dan ‘jalan menuju rahim arwah’…”
Suara angin menggema seperti erangan jauh dari dasar bumi. Dinata merasakan tarikan halus dari dalam tanah, dari akar-akar hutan, seolah ada rahasia purba yang ingin menjalar ke seluruh Nusantara.
Ia menatap bintang. Tapi langit seperti tertutup kabut hitam.
“Ada yang telah dibangkitkan,” bisiknya. “Dan ia tak mengenal batas pulau atau suku. Ini bukan hanya urusan kalian lagi.”
Kuda besi tua milik Kepala Suku Laja meraung pelan menembus kabut malam. Dinata duduk di belakangnya, matanya terus menatap jalan setapak penuh lumpur yang mereka lalui. Udara hutan berubah dingin dan berat, seolah malam menolak dilewati. Beberapa kali burung hantu menjerit, dan dari balik pohon tua, bayangan seperti mengikuti dari kejauhan.
Desa Hulu Tuyan akhirnya tampak. Beberapa warga masih berjaga, duduk bersila sambil membakar dupa dan menabur garam di depan rumah. Raut wajah mereka tak sekadar takut—tapi seperti orang yang tahu bahwa ini bukan hanya musibah… ini kutukan.
Dinata segera melangkah menuju salah satu rumah korban. Di dalam, seorang perempuan muda berbaring pucat, matanya kosong, perutnya yang dulunya membesar kini kempis. Di sisi ranjang, suaminya terus membaca doa dengan suara serak dan patah-patah.
“Aku boleh lihat?” tanya Dinata lembut.
Si suami hanya mengangguk. Ia menyingkir, membuka jalan. Dinata mendekat, duduk di samping perempuan itu.
“Aku… aku dengar dia nyanyi,” suara si ibu hampir tak terdengar. “Dia berdiri di ujung tempat tidur. Aku gak bisa gerak. Perutku dingin… rasanya seperti ditarik dari dalam. Bayiku… dia ambil bayiku.”
Air mata mengalir pelan. Dinata menyentuh perut sang ibu. Dingin. Terlalu dingin untuk tubuh manusia.
Ia lalu menarik keluar liontin kayu dari lehernya, meniupnya pelan, lalu meletakkannya di atas perut si ibu. Dalam sekejap, ruangan mengerang pelan. Udara jadi berat. Gorden tipis bergetar tanpa angin.
Seketika, mata Dinata terbelalak. Dalam penglihatan batinnya, sekelebat sosok putih melintas di sudut kamar—berwajah rusak dan berambut basah, berdiri di balik jendela… menatap balik ke arahnya.
Lalu, suara itu terdengar:
“Lulurlah tubuhmu, darahmu yang kutunggu… Bayimu hanyalah jalan…”
Dinata berdiri. Napasnya terputus sejenak.
“Ini bukan jin biasa,” gumamnya. “Ini sesuatu yang lebih kuno. Dan dia… dia sedang menyebar.”
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
EsTehPanas SENJA
wwwih setan AKAP ehh lintas Pulau malah ini 😱😳
2025-05-11
1