Koleksi Cogan

Rayna mengikuti Emira keluar kamarnya. Ini kali pertamanya Rayna keluar kamar setelah ia bangun kemarin. Sepanjang jalan, mulut Rayna terbuka dengan mata memandang takjub seisi rumah. “Mir, ini rumah kita?”

“Iya, Kak. Rumah siapa lagi?” Emira sudah tidak aneh dengan pertanyaan kakaknya. Ia hanya menganggap kakaknya tidak mengingat. Semalaman ia menangis mengetahui kakaknya tidak mengingat apa-apa.  Walaupun hatinya masih sedih, ia yakin kakaknya pasti akan mengingat kembali.

Setelah menuruni tangga, mereka sampai di meja makan yang sudah terdapat semua keluarganya dengan sarapan yang sudah tersaji. Emira yang biasanya menyapa, kini duduk tanpa menatap maupun menyapa mereka. Lalu menoleh ke arah Rayna yang masih bingung. Emira tersenyum menepuk kursi di sampingnya. “Kak, di sini.”

Rayna mengangguk. Dengan patuh duduk dengan kepala tertunduk. Suasana hening. Rayna mengangkat kepalanya mendapati semua mata menatapnya. Gue lakuin kesalahannya, ya?

Rayna tidak menyadari betapa beda penampilannya sekarang. Tentu saja orang tua dan kedua kakaknya kaget. Biasanya, penampilan Amira selalu suram dengan rambut tergerai dan poni menutupi matanya yang cantik. Tapi, penampilan Rayna sekarang terlihat cerah. Rambut di kuncir kuda menampilkan setengah leher yang tertutupi kerah. Poni di keningnya terlihat imut.

Emira tidak mengatakan apa-apa. Biasanya ia akan mencium satu persatu pipi keluarganya. Namun, saat ini dia terlihat tanpa ekspresi bahkan tanpa menyapa mereka. Suasana hening menjadi canggung, tapi tidak dengan Rayna, gadis itu menatap sarapan orang kaya di hadapannya. Roti, beberapa macam selai, dan lainnya.

“Gak ada gorengan, ya?” Gumaman Rayna terdengar jelas di keheningan. Semua mata menoleh lagi dengan heran.

“Sejak kapan lo suka gorengan?” Alveno—kakak kedua dari Amira bertanya seraya mengerutkan kening.

Rayna menatapnya sambil berpikir. “Sejak gue lahir kali.”

Kerutan Alveno semakin dalam. Ia merasa aneh semenjak adiknya bangun, seakan dia menjadi orang lain. Tapi ia tidak mau tahu, atau lebih tepatnya gengsi. Alveno diam tanpa berbicara lagi.

“Kakak mau gorengan?” tanya Emira.

Rayna menggeleng. “Eh, gak usah. Gue Cuma becanda, kok.” Tapi gue beneran pengen, batinnya. Walaupun tidak setiap hari, Rayna sangat suka dengan gorengan. Ia selalu memakan makanan berminyak itu sebelum berangkat sekolah.

Emira mengangguk. Mereka mulai sarapan dengan suasana tidak enak. Emira mengambilkan sebuah roti yang sudah di isi selai cokelat kesukaan kakaknya. Rayna menerimanya dengan senang hati. Untung ia juga sangat suka cokelat. Saat memakannya, mata Rayna melebar. Hmm, enak juga.

Rayna makan tanpa memperdulikan suasana. Tidak seperti keluarga biasanya, karena tidak ada kehangatan sedikit pun. Biasanya Emira yang akan membawa kehangatan itu, tapi hari ini Emira sangat pendiam kecuali dengan Rayna. Orang tuanya ingin bertanya tentang sebab kemarahan Emira semalam, tapi mereka merasa waktunya tidak tepat.

Satu persatu orang pergi setelah menyelesaikan sarapan. Kedua kakak lelaki Amira selalu dingin, seakan bujukan mereka ketika Rayna nangis kemarin hanya ilusi. Galih—kepala keluarga Medensen, menghela nafas dengan keadaan keluarganya. Apalagi putri bungsunya yang lebih dingin pagi ini.

Emira menyelesaikan sarapannya. Lalu menoleh ke samping menatap kakaknya yang masih asik makan. Lantas bertanya. “Belum selesai, Kak?”

Rayna menoleh dan tersenyum malu. Setelah menelan kunyahan roti di mulutnya, Rayna mengangguk dengan enggan. “Udah, kok. Ayo berangkat!”

“Beneran udah?”

Rayna mengangguk lagi. “Em.”

Emira tersenyum. “Ya udah, ayo.”

Keduanya beranjak. Kedua orang tua mereka belum beranjak dari meja makan. Rayna berputar menghampiri kedua orang tua barunya membuat ketiganya memperhatikannya dengan bingung. Rayna menyodorkan tangannya ke arah Galih yang belum bereaksi. Gadis itu tersenyum manis dan berkata. “Salim, Papah.”

Galih tertegun, begitu pula Alisa—ibu kandung Amira yang duduk di samping Galih. Dengan kaku Galih mengulurkan tangannya. Rayna mengambil dan mencium punggung tangannya. Lalu Rayna menghampiri Alisa dan melakukan hal sama tanpa menunggu Alisa memberikan tangannya. Rayna mengambil tangannya dan menciumnya.

Ketika kedua kakak Amira turun, mereka di sambut dengan pemandangan ini. Langkah mereka berhenti. Tentu saja reaksi mereka sama. Walaupun Rayna selalu mereka abaikan, dia tidak akan berinisiatif mendekati mereka. Apalagi mencium tangan kedua orang tuanya. Mencium kedua tangan orang tua di kalangan keluarga kaya manapun hampir punah. Anak-anak mereka hanya berpamitan lalu pergi. Walaupun Emira selalu sopan dan mencium pipi keluarganya, tapi dia sangat jarang mencium kedua tangan orang tuanya yang merupakan penghormatan terbesar.

Emira merasa malu, begitupula Alvano dan Evando—kakak tertua Amira. Ketiganya tiba-tiba menghampiri Galih dan Alisa. Dengan canggung melakukan hal sama seperti yang Rayna lakukan. Kedua orang itu yang masih belum bereaksi, menatap kosong ketiga anaknya yang mengambil dan mencium tangan mereka.  Mereka merasa hangat dan tersanjung, namun di sisi lain ada penyesalan kepada Rayna.

Rayna hanya tersenyum. Lalu memegang lengan Emira. “Pah, Mah, Rayna sama Emira pamit dulu, ya!” Tanpa menunggu tanggapan mereka, Rayna menarik tangan Emira.

Bingung dengan rumah besar itu, langkah Rayna berhenti membuat Emira ikut berhenti. Rayna membalikan badannya menatap Emira malu. “Jalan keluarnya ke mana?”

Emira menganga. Lalu tertawa kecil. Berganti posisi ia yang menarik tangan kakaknya. “Ikut aku.”

Rayna mengangguk dan mengikutinya. Mereka keluar rumah dan menghampiri sebuah mobil yang sudah siap. Mereka memang selalu bersama ketika pergi ke sekolah, tapi Amira jarang mengobrol dengan Emira sepanjang jalan. Sedangkan Alveno membawa mobil sendiri, begitu pula Evando ke universitasnya.

Rayna tercengang lagi. Bukan hanya karena mobil, tapi karena betapa megahnya rumah keluarga Medensen dari luar. “Kita naik mobil?”

Emira tertawa. “Iya, Kakak. Gak mungkin ‘kan kalo jalan kaki? Sekolah kita lumayan jauh, lho.”

Rayna mengangguk kosong. Ia masuk setelah seorang supir membukakan pintu untunya. Ia tak pernah menaiki mobil, motor pun sangat jarang. Rayna selalu jalan kaki ke sekolahnya. Setelah sopir menyalakan mobilnya, mobil mulai berjalan santai.

Sepanjang jalan, Rayna menatap keluar jendela. Ia sungguh tak percaya, dunia ini adalah dunia novel, kehidupan, tempat, semuanya nyata. Sepanjang jalan juga, Emira memberitahu tentang sekolahnya. Jumlah kelas, estrakulikuler, pembelajarannya, dan letak kelas kakaknya itu.

Rayna mendengarkan dengan serius. Ia sudah membayangkan bagaimana sekolah yang Emira ceritakan. Apalagi jumlah kelas setiap tingkatan. Sangat banyak. Bahkan beberapa lipat lebih banyak dari sekolah di dunianya dulu.

Mereka sampai setelah kurang dari 20 menit perjalanan. Emira keluar, tapi tidak mendapati kakaknya keluar mobil. Emira menunduk menatap kakaknya yang masih linglung di dalam. “Kak? Ayo, keluar.”

“Gue gak bisa bukain mobilnya.” Rayna mencicit.

“Hah?” Emira melongo. “Bahkan kakak lupa cara buka mobil?” Rayna mengangguk malu.

Emira di buat geleng-geleng kepala. Sedangkan si sopir bingung mendengarnya. Dia berjalan memutar dan membuka pintu dari luar seraya berkata. “Ayo.”

Rayna keluar setelah menyampirkan tas dibahunya. Setelah Emira berpamitan dengan supir, mereka berdua mulai berjalan beriringan. Hanya saja, keduanya harus berpisah karena kelas yang beda. Untungnya Emira sudah menjelaskan, jadi Rayna tidak perlu di antar.

Rayna tercengang dengan mata terbuka lebar melihat sekolahnya yang seperti hotel bintang 5. “Innalillahi, ini beneran sekolah gue?” gumamnya tidak percaya. Rayna berdiri mematung dengan ekspresi melongonya yang tidak berubah menatap gedung sekolah. Para siswa yang melewatinya menatapnya aneh.

Bruk!“Aw!” ringis Rayna kesakitan meraba bahunya yang ditabrak dari belakang. Melihat si penabrak berlalu begitu saja, Rayna langsung marah dan jengkel.

“Hei! kamu! Punya mata ga? Jangan asal tubruk atuh! Ga tanggung jawab lagi! Dasar onta arab!” marah Rayna dengan logat sundanya menunjuk seorang cowok jangkung yang berada di depan beberapa meter darinya.

Langkah cowok itu berhenti. Ia berbalik ke arah Rayna. Mata Rayna terbelalak. Kepercayaan dirinya dan keberaniannya hilang. Rayna langsung menciut dengan bulu kuduk berdiri melihat tatapan dinginnya. Kenapa ni cowok ganteng pisan? Kalo matanya gak nyeremin gitu, udah gue terkam tu cogan.

Rayna gelagapan, “Gu-e gak pa-pa kok, Bang. Jangan khawatirin gue. Lanjutin aja jalannya. Hehe ….”

Mata cowok itu menyipit tajam memerhatikan Rayna. Lalu berbalik dan melanjutkan langkahnya. 

Melihat punggung dinginnya, keberanian Rayna datang kembali. Tapi bulu kuduknya masih berdiri. “Hmmp! Awas lo, gak bakal gue daftarin ke dalam koleksi cogan gue.”

Rayna berjalan seraya terus menerus menggerutu. Sesekali mengutuk cowok yang menabraknya itu ketika merasakan bahunya sakit.

Terpopuler

Comments

waa

waa

dehh ujung ujung nya di masukin juga eii

2025-06-16

0

Erna Masliana

Erna Masliana

Reyna kamu lucu pisan... cerita ini emang beda... biasanya transmigrasi jiwa dari orang keren masuk ke raga orang terbuang..ini gadis desa masuk ke raga orang kota kaya lagi

2025-05-20

1

lihat semua
Episodes
1 Prolog
2 Menjadi Kakak si Tokoh Utama
3 Rencana Masa Depan
4 Hari Pertama Sekolah
5 Koleksi Cogan
6 Teman Sebangku
7 Ratu Bully
8 Protagonis Pria Pertama
9 IPA to IPS
10 Pendatang yang Mengubah Alur
11 Daftar Baru Cogan Basket
12 Melerai Perundungan
13 Tamu Mengejutkan
14 Alur Sama, Alasan Berbeda
15 Si Pelanggar Aturan
16 Mau Berteman Baik?
17 Rasa Tertarik yang Berubah Arah
18 Permintaan
19 Diajari Motor
20 Kekhawatiran
21 Nonton Basket
22 Mimpi
23 Protagonis Pria Ketiga
24 Terciduk
25 Kangen?
26 Danies Leo Kalvior
27 Kecupan
28 Ungkap Perasaan
29 Jangan Terulang Lagi
30 Hukuman
31 Tawuran
32 Mari Berteman?
33 Motor Baru
34 Dikelilingi Lima Cogan
35 Nina Bobo
36 Danies Klavior
37 Pengamat
38 Rumah Arsa
39 Tuntutan Orang Tua
40 Balapan
41 Antagonis Pertama
42 Mengambil Penumpang
43 Kesiangan
44 Sakit Parah?
45 Rasa Khawatir
46 Kabur
47 Pindah Sekolah?
48 Intimidasi
49 Bersaing
50 Posesif
51 Psiko
52 Ingatan
53 Tidur Bareng
54 Mimpi Yang Sama
55 Dihindari
56 Keputusan yang Salah
57 Keluarga Kejam
58 Hadiah Motor
59 Perasaan
60 Penggila Cogan
61 Nonton Pertandingan
62 Hadiah Ciuman
63 Salah Meminta Bantuan
64 Imbalan Ganti Pertemanan
65 Cemas dan Cemburu
66 Minta Maaf
67 Ajakan Liburan
68 Tempat Masa Lalu
69 Berbagi Rahasia
70 Berbagi Rahasia II
71 Saudara Tiri
72 Teman Masa Kecil
73 Masa Lalu
74 Masa Lalu II
75 Kepemilikan
76 Kalian Hanya Fiksi, Aku Figuran
77 Perdebatan
78 Alibi
79 Ayo, Pulang
80 Penyesalan
81 Amira Sudah Pergi
82 Peringatan
83 Belenggu
84 Maaf dengan Pelukan
85 Ingin Pulang
86 Kekecewaan
87 Kepercayaan yang dikhianati
88 Kemarahan
89 Insiden
90 Fakta
91 Masa Lalu Ricolas
92 Rasa Takut yang Mengakar
Episodes

Updated 92 Episodes

1
Prolog
2
Menjadi Kakak si Tokoh Utama
3
Rencana Masa Depan
4
Hari Pertama Sekolah
5
Koleksi Cogan
6
Teman Sebangku
7
Ratu Bully
8
Protagonis Pria Pertama
9
IPA to IPS
10
Pendatang yang Mengubah Alur
11
Daftar Baru Cogan Basket
12
Melerai Perundungan
13
Tamu Mengejutkan
14
Alur Sama, Alasan Berbeda
15
Si Pelanggar Aturan
16
Mau Berteman Baik?
17
Rasa Tertarik yang Berubah Arah
18
Permintaan
19
Diajari Motor
20
Kekhawatiran
21
Nonton Basket
22
Mimpi
23
Protagonis Pria Ketiga
24
Terciduk
25
Kangen?
26
Danies Leo Kalvior
27
Kecupan
28
Ungkap Perasaan
29
Jangan Terulang Lagi
30
Hukuman
31
Tawuran
32
Mari Berteman?
33
Motor Baru
34
Dikelilingi Lima Cogan
35
Nina Bobo
36
Danies Klavior
37
Pengamat
38
Rumah Arsa
39
Tuntutan Orang Tua
40
Balapan
41
Antagonis Pertama
42
Mengambil Penumpang
43
Kesiangan
44
Sakit Parah?
45
Rasa Khawatir
46
Kabur
47
Pindah Sekolah?
48
Intimidasi
49
Bersaing
50
Posesif
51
Psiko
52
Ingatan
53
Tidur Bareng
54
Mimpi Yang Sama
55
Dihindari
56
Keputusan yang Salah
57
Keluarga Kejam
58
Hadiah Motor
59
Perasaan
60
Penggila Cogan
61
Nonton Pertandingan
62
Hadiah Ciuman
63
Salah Meminta Bantuan
64
Imbalan Ganti Pertemanan
65
Cemas dan Cemburu
66
Minta Maaf
67
Ajakan Liburan
68
Tempat Masa Lalu
69
Berbagi Rahasia
70
Berbagi Rahasia II
71
Saudara Tiri
72
Teman Masa Kecil
73
Masa Lalu
74
Masa Lalu II
75
Kepemilikan
76
Kalian Hanya Fiksi, Aku Figuran
77
Perdebatan
78
Alibi
79
Ayo, Pulang
80
Penyesalan
81
Amira Sudah Pergi
82
Peringatan
83
Belenggu
84
Maaf dengan Pelukan
85
Ingin Pulang
86
Kekecewaan
87
Kepercayaan yang dikhianati
88
Kemarahan
89
Insiden
90
Fakta
91
Masa Lalu Ricolas
92
Rasa Takut yang Mengakar

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!