Bab 4. Titik Nol

Pagi itu, udara di kastil pelatihan para Ksatria Cahaya begitu segar, meski nuansa ketegangan samar terasa di antara para penghuninya. Seperti yang dikatakan Leon kemarin, hari ini Kate akan dikenalkan dengan para penghuni kastil itu. Dengan tenang Kate yang mengenakan seragam pelatihan berwarna putih gading, tanda bahwa dirinya saat ini masih tergolong sebagai peserta magang. Berjalan menuju aula kastil, tempat di mana para penghuninya kini berkumpul.

Leon menunggu di aula utama, tempat para calon ksatria dan para tetua berkumpul. Di sisi kanan aula, lima orang tetua dengan pakaian resmi dan lambang Ksatria Cahaya di dada mereka duduk dengan penuh wibawa. Kate melangkah ke depan, mengikuti isyarat dari Leon yang berjalan di sampingnya.

Sejenak, aula itu menjadi hening. Ratusan pasang mata memperhatikan kedatangannya. Sebagian dengan rasa ingin tahu, sebagian lagi dengan sorot skeptis yang tidak disembunyikan.

"Perkenalkan, ini adalah Kate Velnaria. Mulai hari ini, ia akan bergabung dengan kita di Kastil Ceaseton untuk menjalani pelatihan lanjutan," ucap Leon yang berdiri di panggung aula dan dengan suara lantang memperkenalkan Kate pada semua penghuni.

Kate membungkukkan tubuhnya sopan. "Salam hormat. Mohon bimbingannya," ucapnya dengan nada tenang.

Bisik-bisik mulai terdengar dari barisan para anggota, mengomentari keberadaan Kate di sana.

"Bukankah dia hanya di tingkat Bunga Kehidupan?"

"Bagaimana mungkin pemula sepertinya ditempatkan di sini?"

"Apa dia tidak salah tempat? Harusnya dia bergabung dengan Klan Air atau Klan Tunas, bukan malah di sini!"

Cibiran-cibiran itu menusuk telinga Kate, tetapi ia tetap menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang. Ia sudah terbiasa dengan sorotan sinis. Sejak kehilangan Arcane-nya lima tahun lalu, dunia memang tak lagi memperlakukannya sama. Tak peduli apakah orang-orang itu pernah mengenalnya, atau orang yang baru ditemuinya.

Para tetua, duduk dengan wajah datar. Mereka saling bertukar pandang sejenak, tetapi tidak satu pun dari mereka bergerak untuk membela atau mengungkapkan siapa sebenarnya Kate.

Mereka memang sudah sepakat untuk merahasiakan identitas Kate. Jika dunia tahu bahwa ia adalah Ksatria Cahaya tingkat Penyatuan Agung yang pernah berjuang menutup Gerbang Nether, maka para musuh lama dari Nether bisa saja kembali mengincarnya. Semua demi melindungi Kate dan upaya pemulihan Arcane-nya.

Saat bisik-bisik itu mulai meningkat, seorang pemuda dari barisan depan dengan lambang Cahaya Jiwa di dadanya melangkah maju.

"Kalau hanya di Bunga Kehidupan, sebaiknya kau tidak menyusahkan kami di sini, Nona. Lebih baik bergabunglah dengan klan di tingkat bawah. Di tempat ini, hanya mereka yang kuat yang berhak tinggal," ejek pemuda itu tersenyum meremehkan.

Tawa kecil terdengar di sudut-sudut aula, mendukung pernyataan pemuda itu. Kate mengangkat kepalanya, menatap pemuda itu lurus tanpa gentar. Namun sebelum ia sempat membuka mulut, Leon melangkah maju, berdiri di antara Kate dan pemuda itu.

"Cukup." Suara Leon dalam dan tegas, menggema di seluruh aula.

Semua orang terdiam. Mereka mengenal Leon, bukan hanya sebagai salah satu pemimpin di kastil ini. Namun juga sebagai salah satu Ksatria Cahaya tingkat Penyatuan Agung yang disegani karena kekuatan dan kewibawaannya.

"Setiap orang yang berada di sini, berada di bawah perlindungan kami, para tetua. Jika ada yang merasa tidak nyaman dengan kehadiran Kate, mereka bebas meninggalkan kastil ini,” lanjut Leon.

Pandangan Leon menyapu seluruh aula, menantang siapa saja yang berani berbicara lagi. Seketika tidak ada satu pun yang berani bergerak. Pemuda yang tadi mencibir hanya menggeram pelan, lalu kembali ke barisannya dengan wajah kesal.

Leon kemudian menoleh kepada Kate, memberikan anggukan kecil seolah mengisyaratkan kalau Kate akan aman di sini. Kate membalas anggukan itu dengan sedikit membungkuk, rasa hangat sesaat mengalir dalam hatinya meski tidak sepenuhnya menghapus luka yang sudah terlalu dalam.

Setelah perkenalan itu, para anggota mulai kembali ke aktivitas masing-masing. Kate pun dibawa Leon untuk melihat-lihat fasilitas kastil, termasuk area latihan, perpustakaan sihir, dan arena sparring.

Di sepanjang perjalanan itu, Kate tetap merasa sorotan mata mengikuti setiap langkahnya. Namun kali ini, ia tidak lagi peduli. Ia hanya ingin fokus untuk bangkit agar bisa membalas dendam.

Setelah menyelesaikan tur singkat di dalam kastil, Leon membawa Kate keluar menuju sebuah jalan kecil yang berkelok menurun ke arah tepi pantai. Angin asin berembus lembut, membawa aroma lautan yang membentang luas hingga ke cakrawala.

Mereka berjalan dalam diam. Kate memperhatikan setiap langkah Leon yang tampak tenang dan pasti, sementara pikirannya dipenuhi tanda tanya tentang tujuan mereka. Tak lama kemudian terdengar suara logam yang beradu dan seruan keras dari arah depan.

Di sebuah lapangan berpasir, empat orang tampak sedang berlatih keras. Mereka bergerak lincah, mengayunkan pedang dan mengendalikan sihir cahaya dalam kombinasi yang sinkron. Di antara mereka, seorang pria dengan rambut hitam berantakan dan sorot mata tajam mendominasi latihan itu, memberi komando dengan suara keras.

"Orion," panggil Leon, membuat seluruh kelompok itu menghentikan latihan mereka.

Pria bernama Orion menoleh. Ia mengusap peluh dari dahinya dan berjalan mendekat, ekspresi serius terpasang di wajahnya. Mata Orion, berwarna biru tua, memandang Leon dengan penuh rasa hormat, tetapi segera melirik Kate dengan pandangan tajam dan penuh penilaian.

"Ada apa, Leon?" tanya Orion singkat.

Leon menyilangkan tangan di dada sebelum berkata, "Mulai hari ini, Kate akan bergabung dalam timmu."

Kate menundukkan kepala, memberi salam hormat. Namun Orion tetap diam beberapa saat, sorot matanya kini menajam, seolah menimbang sesuatu yang berat.

"Tim kami baru saja kehilangan satu anggota dalam misi terakhir. Kami butuh seseorang yang kuat, bukan…" ucap Orion dengan nada suaranya tidak bisa menyembunyikan keraguannya. Ia sengaja berhenti sejenak, seolah kata-katanya menggantung di udara.

Kate tidak bereaksi. Ia sudah cukup sering mendengar keraguan dan cibiran sejak kehilangan Arcane-nya.

"Keputusan ini sudah dibuat. Kalau kau ingin protes, katakan langsung pada Tetua," tegas Leon dengan tenang.

Orion menghela napas berat, lalu akhirnya mengangguk dengan enggan. "Baiklah," jawabnya datar.

Ia menoleh pada teman-temannya, tiga orang lainnya yang kini menatap Kate dengan berbagai ekspresi. Ada yang penasaran, ada yang tampak tidak senang, dan ada pula yang biasa saja.

"Aku percayakan Kate padamu. Jaga dia, dan jangan menilai hanya dari apa yang kau lihat," kata Leon sembari menepuk bahu Orion.

Setelah itu Leon berbalik meninggalkan mereka, membiarkan Kate berdiri sendirian di hadapan tim barunya. Orion menghela napas, lalu menyilangkan tangan di dada, menatap Kate dari atas ke bawah seolah hendak mengukur seberapa besar beban yang baru saja dibebankan padanya.

"Namaku Orion," ucap Orion, nada suaranya keras dan tak bersahabat. "Ini Jasper," ia menunjuk pria tinggi berambut cokelat yang hanya mengangguk dingin. "Yang itu Lyra," lanjutnya menunjuk seorang gadis berambut pendek dengan ekspresi tajam. "Dan terakhir, Danzzle," menunjuk pria berwajah cerah yang tampak lebih ramah dibandingkan yang lain.

"Mulai besok," lanjut Orion, "kau ikuti latihan kami. Jika kau tidak sanggup bertahan, jangan salahkan siapa-siapa."

Kate menatap Orion dengan tenang. Ia tahu ia tidak akan mudah diterima siapapun, tapi itu bukan masalah. Ia tidak datang ke tempat ini untuk mencari persahabatan.

"Aku mengerti," jawab Kate tegas.

Orion mengangkat alisnya sedikit, tidak menyangka Kate bisa bersikap setegas itu, tetapi ia segera mengalihkan pandangannya.

"Baiklah. Sekarang kembali ke kastil dan beristirahat. Besok pagi, kita mulai pukul lima," ucap Orion sambil berbalik.

Saat Orion dan yang lainnya mulai melangkah kembali menuju kastil. Kate berdiri sejenak di sana, memandang ketiga anggota baru sebelum akhirnya berbalik menuju jalan pulang ke kastil.

Namun belum jauh ia beranjak. Langkah kaki Kate terhenti sejenak di jalan berpasir, perhatian Kate terseret oleh sesuatu yang lain. Matanya terpaku pada hamparan ombak yang berkilau diterpa sinar senja. Seolah dipanggil oleh bisikan tak kasat mata, ia membelokkan langkahnya menjauh dari jalan utama.

Orion sempat menoleh, tetapi hanya mendengus kecil dan memilih untuk tidak mempedulikan ke mana gadis itu pergi. Bagi Orion, jika Kate ingin tersesat itu bukan tanggung jawabnya.

Sementara itu, Kate terus melangkah menyusuri tepian pantai. Suara deburan ombak berpadu dengan desir angin, mengiringi setiap langkahnya. Di tengah-tengah pasir basah itu, matanya menangkap sesuatu. Segaris kabut hitam tipis yang membentang, nyaris tak terlihat oleh mata biasa.

Rasa penasaran mendorongnya untuk mengikuti jejak kabut itu. Semakin jauh ia berjalan, semakin jelas jalur kabut itu membawanya menuju sebuah karang besar yang mencuat dari pesisir. Di balik karang tersebut, terdengar suara erangan lirih. Suara makhluk yang sedang menahan rasa sakit.

Kate mempercepat langkahnya. Saat ia mengitari karang itu, matanya langsung menangkap sosok kecil yang meringkuk ketakutan. Tubuhnya berselimut luka, sisiknya yang semula mungkin berwarna keperakan kini menghitam, matanya yang besar bergetar ketakutan.

Itu adalah makhluk dari Nether.

Kate yang pernah menyaksikan berbagai jenis makhluk Nether selama masa kelamnya, tahu bahwa tidak semua makhluk dari dunia itu haus akan kehancuran. Beberapa di antaranya hanyalah jiwa-jiwa lemah, terjebak di antara dunia tanpa pilihan lain, menjadi mangsa bagi yang lebih kuat. Kate berjongkok perlahan, menjaga jarak agar tidak membuat makhluk itu semakin takut.

"Halo," Sapa Kate dengan suara selembut mungkin.

Makhluk itu bergidik, tubuhnya bergetar hebat, kabut hitam samar mengalir dari luka-lukanya.

"Tenang. Aku tidak akan menyakitimu."

Kate mengulurkan tangannya perlahan, membiarkan makhluk itu mencium aroma tubuhnya. Sebuah isyarat universal bagi makhluk dari Nether, bahwa ia datang tanpa niat membunuh.

Setelah beberapa saat penuh ketegangan, makhluk itu mengangkat wajahnya perlahan. Suara erangan lirih terdengar lagi, kali ini lebih seperti rengekan, seolah meminta pertolongan.

"Apa yang terjadi padamu? Siapa yang melukaimu?" bisik Kate seraya mendekat sedikit.

Makhluk itu menggelengkan kepalanya pelan, suaranya terputus-putus, tetapi sebuah gambaran samar muncul di benak Kate. Sebuah komunikasi mental yang biasa terjadi antara makhluk Nether dan pengguna Arcane tertentu.

Dalam gambaran itu, Kate melihat sekilas seekor binatang buas raksasa, bertaring panjang, dengan mata merah membara. Kemungkinan besar predator Nether yang memburu makhluk lemah ini demi memperkuat dirinya.

"Bahkan setelah semua yang terjadi, kekacauan dari Nether masih merembes ke sini," pikir Kate pahit mengepalkan tangannya.

Ia mengulurkan kedua tangannya, mencoba meredakan luka makhluk itu dengan sisa energi Arcane yang ia miliki. Cahayanya sangat redup, nyaris tidak lebih terang dari cahaya kunang-kunang, tetapi makhluk itu tampak sedikit lebih tenang, kabut hitam di sekelilingnya perlahan menipis.

"Tenanglah," bisik Kate. "Aku akan membantumu sebisa mungkin."

Sesaat kemudian, langkah-langkah berat terdengar mendekat. Kate menoleh cepat dan mendapati Orion berdiri tak jauh di belakangnya, dengan ekspresi dingin yang biasa.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Orion datar, menatap makhluk Nether itu dengan curiga.

Kate bangkit perlahan, menjaga tubuhnya di antara makhluk itu dan Orion.

"Aku menemukannya dalam keadaan sekarat," jawab Kate singkat. "Makhluk ini bukan ancaman."

Orion menyipitkan mata, mempertimbangkan kata-kata Kate. Ia tahu tidak semua makhluk Nether berbahaya, tetapi pengalaman pahit di medan perang membuatnya sulit mempercayai hal-hal seperti itu.

"Kalau makhluk itu membuat masalah," kata Orion, "kau yang akan bertanggung jawab."

Kate mengangguk mantap. "Aku tahu."

"Selesaikan urusanmu cepat. Besok kau harus siap untuk latihan pertama," kata Orion menghela napas kasar, lalu berbalik dan mulai berjalan kembali.

Kate menatap punggung Orion yang semakin menjauh, sebelum kembali berlutut di hadapan makhluk kecil itu. "Aku tidak tahu apakah kau akan tetap aman di sini," katanya lirih, "tapi aku tidak akan membiarkanmu terluka tanpa alasan."

Ia menatap langit yang mulai gelap, kemudian beralih ke makhluk kecil itu lagi. Lukanya belum sembuh sempurna, jadi ia memutuskan untuk kembali mengobatinya. Setelah luka-luka makhluk kecil itu sedikit mereda, Kate perlahan bangkit berdiri. Tangannya meraih seruling emas yang tergantung di pinggangnya, benda kesayangan yang telah menemaninya melewati banyak badai dalam hidupnya.

Ia mulai meniup serulingnya. Dalam hembusan napas pertama, nada lembut mengalun, memenuhi udara dengan melodi sendu yang nyaris tidak terdengar, seolah-olah hanya angin pantai yang membisikkan lagu itu.

Makhluk kecil itu, yang sebelumnya terkulai lemas, perlahan bangkit. Sayap tipis di punggungnya bergetar, dan dengan langkah kecil, ia mulai berlari-lari ceria di sekitar Kate, seakan merayakan hidup barunya yang kembali.

Di balik tiupan seruling, Kate mengulum senyum tipis. Bibirnya tidak berkata-kata, tetapi matanya berbicara penuh kelembutan dan rasa lega.

Ia terus memainkan lagu itu, nada demi nada mengalir tenang, seiring dengan itu, segaris cahaya lembut keluar dari ujung seruling emasnya. Cahaya itu bergerak bagaikan pita hidup, melayang, melingkari makhluk kecil yang kini berputar-putar gembira di bawah sinarnya.

Lalu perlahan, di bawah irama yang makin syahdu, tubuh makhluk itu berubah. Dari sosok gelap dan kasar, perlahan wujudnya memutih bersih, membentuk rupa seorang bocah kecil berambut perak, dengan sepasang mata bening seperti danau tenang. Bocah itu tersenyum manis kepada Kate, tanpa rasa takut, hanya penuh rasa senang.

Kate memperlambat tiupan serulingnya, mengubah nada menjadi lebih ringan dan lebih tinggi. Cahaya dari seruling itu kian kuat, menyelimuti tubuh bocah itu sepenuhnya, hingga akhirnya ia mulai melayang ke angkasa. Seperti bulu dandelion yang ditiup angin, tubuh mungil itu perlahan menghilang, meninggalkan jejak cahaya yang berkilau sejenak di bawah sinar bulan yang mulai naik.

Kate menutup matanya sejenak, membiarkan hembusan terakhir lagu itu menghilang bersama bayangan kecil yang kini telah berangkat menuju Either, alam kedamaian bagi jiwa-jiwa yang terjebak di dunia ini. Ia menurunkan serulingnya perlahan, membiarkan keheningan malam mengambil alih.

"Semoga kau tenang di sana," bisik Kate lirih, meski tak ada lagi yang mendengarkan.

Lautan bergelombang lembut di hadapannya, seolah mengangguk setuju. Di antara langit malam dan debur ombak, Kate berdiri sendirian, tubuhnya diselimuti angin dingin pantai dan semangat baru yang perlahan tumbuh dalam hatinya.

Ia mengikat kembali serulingnya di pinggang, lalu berbalik arah, meninggalkan pantai yang kini hanya berisi kenangan samar. Ada jalan panjang yang menunggunya, ada pertempuran baru yang harus ia jalani. Dan di hatinya, terselip satu tekad yang membara untuk tidak pernah menyerah, tidak lagi.

Langkah kakinya menapaki pasir basah, membawanya kembali ke dunia nyata, tempat di mana nasibnya belum selesai ditulis. Tanpa ia sadari, jauh di dalam dirinya, di dunia kecil tempat Arcane-nya yang lemah, tersembunyi sesuatu yang perlahan mulai menggeliat menanti hari kebangkitan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!