"Mana cincin pertunangan itu, Aluna?" suara pria itu—dalam dan keras—menusuk malam yang hening.
Aluna menunduk, jemarinya yang gemetar memegang erat tangan kirinya, tempat dimana cincin pertunangan itu masih melingkar.
"Aku... aku belum siap melepasnya," bisik Aluna hampir tak terdengar.
Tasya, gadis muda itu memiliki wajah cantik, hanya saja lebih tajam dan licik, tertawa kecil dengan nada mengejek.
"Astaga, Luna. Kau masih mengharapkan pernikahan yang sudah tidak ada itu? Sadarlah... Niko sekarang milik aku." katanya sambil memamerkan senyum penuh kemenangan.
Zayyan yang mengamati dari kejauhan mengepalkan tangannya erat-erat.
Darahnya berdesir melihat betapa rendah dan kejamnya kata-kata mereka.
Aluna memeluk dirinya sendiri, tubuhnya bergetar kecil. Tapi ia tetap berusaha berdiri tegar, walau matanya mulai berkaca-kaca.
"Aku tidak peduli... cincin ini adalah satu-satunya yang tersisa dari kenangan itu. Setidaknya... biarkan aku menyimpannya." ucapnya lirih.
Namun tanpa memperdulikan permohonan itu, Niko—mantan tunangan Aluna—mendekat, meraih tangan Aluna dengan kasar.
"Berhenti bersikap kekanak-kanakan, Aluna! Cincin ini seharusnya diberikan kepada calon istriku sekarang. Ini sudah bukan menjadi hakmu lagi!"
Aluna berusaha menarik tangannya, namun cengkeraman Niko terlalu kuat. Dengan kasar, Niko memaksa cincin itu keluar dari jari manis Aluna, meninggalkan goresan merah di kulitnya.
Air mata Aluna jatuh, satu per satu, tanpa suara.
Bukan karena kehilangan cincin itu. Tapi karena luka-luka lama yang kembali disayat tanpa ampun.
Tasya melipat tangannya di dada, menatap Aluna dari atas ke bawah seperti memandang pecundang yang menyedihkan.
"Kau pikir dengan menangis seperti itu akan membuat kami kasihan? Tidak! Dunia ini tidak pernah butuh orang sepertimu, Luna. Bahkan orang tuaku saja tahu itu."
Kalimat itu—kalimat itu menghantam Aluna seperti pisau yang berputar dalam dadanya.
Zayyan menahan napas, jantungnya menghantam tulang rusuknya.
Melihat Aluna berdiri di sana—sendirian, hancur, tapi tetap menolak jatuh—membangkitkan sesuatu dalam dirinya.
Sesuatu yang jauh lebih kuat dari sekadar belas kasihan.
Ini bukan tentang sekadar menyelamatkan hidup seseorang. Ini tentang menyelamatkan seseorang yang tidak pantas mendapatkan perlakuan buruk seperti itu.
Setelah mengambil cincin itu, Niko dan Tasya pergi sambil tertawa kecil, meninggalkan Aluna berdiri membeku di tengah halaman, seperti boneka usang yang dibuang.
Zayyan tak tahan lagi. Ia berjalan pelan mendekat, memastikan langkahnya tidak mengejutkan Aluna.
Gadis itu memeluk dirinya sendiri, tubuh mungilnya bergetar hebat, kepalanya tertunduk dalam keputusasaan. Di bawah cahaya redup bulan, Aluna tampak begitu kecil—begitu hancur.
Zayyan mendekat perlahan, lalu tanpa berkata apa-apa, ia melepas jaket damkar nya dan menyampirkan nya ke pundak Aluna.
Aluna tersentak kecil, lalu perlahan menoleh.
Melihat sosok Zayyan di hadapannya, air mata yang tadi ia tahan, akhirnya pecah.
Tangisnya mengalir deras tanpa suara.
Tangis yang memecah sunyi malam, membawa semua rasa sakit, semua kehilangan, semua ketidakadilan yang selama ini ia kubur dalam-dalam.
Zayyan tidak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di sana, membiarkan gadis itu menangis sepuasnya.
Setelah beberapa saat, Aluna terisak, suaranya pecah,
"Kenapa semua ini harus terjadi padaku, tuan? Kenapa? Apakah aku memang tidak pantas untuk mendapatkan cinta dari laki laki yang sangat aku cintai? Apakah aku tidak pantas untuk menerima cinta dan juga kebahagiaan di dunia ini?"
Zayyan merasakan hatinya bergetar hebat.
Ia menunduk, menatap mata Aluna yang sembab, dan dalam suara rendah penuh kehangatan, ia berkata,
"Kau bukan tidak pantas dicintai, Aluna. Dunia ini hanya terlalu kejam untuk orang sebaik dirimu."
Kalimat sederhana itu—kata-kata yang pantas untuk menenangkan rasa sakit yang dialami oleh Aluna—menjadi benih kecil yang ditanamkan Zayyan di hati Aluna yang gersang.
Benih harapan.
Benih keberanian untuk percaya bahwa mungkin, hanya mungkin, ia masih bisa diselamatkan.
Malam itu, di bawah langit kelabu yang penuh awan berat, Aluna akhirnya membiarkan dirinya menerima satu kenyataan kecil:
Bahwa kadang, kebaikan itu datang dari orang asing.
Dari seseorang yang bahkan tak pernah mengenalnya, tapi cukup peduli untuk tetap tinggal ketika seluruh dunia memilih pergi.
Dan Zayyan, dengan kesabaran dan kehangatannya, telah menjadi cahaya kecil di tengah kegelapan yang hampir menelan Aluna.
Mungkin, untuk malam ini saja, Aluna bisa berhenti bertarung sendirian.
Mungkin, untuk malam ini saja, ia bisa mulai percaya lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Putri Sylvia
ayo Zayyan,bawa Aluna pergi dari rumah itu.
2025-05-02
0
Suhadi Mulyo
lanjut
2025-05-02
0