Bel sekolah baru aja bunyi. Suara kursi diseret, tas ditutup buru-buru, dan suara langkah kaki yang bertabrakan satu sama lain mulai mengisi lorong sekolah.
Empat cewek keluar dari kelas bareng-bareng: Naya paling depan, lalu Lila dan Tata, sementara Rara jalan di samping mereka dengan langkah tenang. Mereka ngobrol sambil menyusuri koridor menuju parkiran, melewati deretan loker dan murid-murid lain yang sibuk dengan urusannya masing-masing.
"Gue hari ini mau ke rumah sepupu gue dulu deh, dia ulang tahun. Tapi kecil-kecilan doang, makan-makan," kata Tata sambil cek HP.
"Ikut dong," sahut Lila. "Bosan gue pulang langsung ke rumah. Mama gue lagi arisan, rumah bakal sepi."
Naya ikut nimbrung, "Kalau lo, Li, nginep gak di sana?"
"Enggak lah, cuma sebentar. Paling sorean udah balik."
Tata lalu noleh ke Rara yang dari tadi jalan dengan tenang di samping mereka. "Ra, lo ikut gue gak? Rumah kita kan searah tuh, bisa sekalian."
Rara senyum kecil dan geleng pelan. "Enggak, hari ini gue dijemput."
"Oh? Sama siapa?" tanya Lila penasaran.
"Nyokap bokap gue katanya mau jemput sekalian ngajak makan siang," jawab Rara sambil merapikan tasnya di bahu.
"Oh ya ampun, akhirnya mereka pulang juga?" seru Naya agak kaget tapi seneng.
"Iya. Tadi pagi katanya udah di jalan."
"Wah, enak dong. Makan di luar?" tanya Tata.
"Kayaknya sih gitu," jawab Rara kalem, meski senyumnya cuma tipis dan nggak semangat-semangat amat.
"Yaudah deh, kita mencar dulu ya," kata Lila sambil mulai belok ke arah motornya.
"Bye, see you tonight ya!" seru Naya sambil dadah.
"Jangan lupa dandan!" tambah Tata sambil tertawa kecil.
Rara cuma senyum pelan, lalu melangkah menuju gerbang utama sekolah.
Dari kejauhan, mobil hitam mewah sudah terparkir rapi. Kaca jendelanya sedikit turun, menampakkan wajah Damar yang duduk di depan. Dengan gerakan kecil, ia melambai dan memberi isyarat ke Rara untuk masuk ke mobil.
Tanpa banyak bicara, Rara mempercepat langkahnya dan membuka pintu belakang. Di dalam mobil, Nadine duduk di kursi penumpang depan, sibuk mengecek sesuatu di tabletnya.
Mobil melaju pelan meninggalkan area sekolah, dan suasana di dalam mobil masih hening—tenang tapi mengandung sesuatu yang Rara nggak bisa jelaskan. Ia menatap ke luar jendela, membiarkan pikirannya mengembara... sampai ia sadar mobil tidak menuju arah rumah.
"Kita gak pulang?" tanyanya pelan dari bangku belakang.
Nadine menoleh sebentar, senyum tipis muncul di wajahnya. "Enggak, Sayang. Kita ke rumah sakit dulu sebentar, ya. Ada hal penting yang harus kita omongin."
Rara hanya mengangguk. Tapi di dalam hatinya, ia tahu... apa pun yang akan terjadi setelah ini, hidupnya gak akan lagi sama.
...➰➰➰➰...
Udara di ruang konsultasi rumah sakit terasa sejuk, hampir terlalu dingin bagi Rara yang duduk dengan jemari bertaut di pangkuannya. Ia menatap ke sekeliling ruangan—serba putih, bersih, dengan aroma antiseptik samar. Di meja depan, duduk seorang dokter wanita berusia sekitar empat puluhan, mengenakan jas putih dan senyum profesional yang mencoba mencairkan suasana.
"Silakan duduk," ujar dokter itu ramah, mempersilakan Rara, Nadine, dan Damar menempati kursi yang tersedia.
Rara duduk di kursi paling pinggir, bersebelahan dengan Damar yang masih diam. Nadine, yang duduk di tengah, langsung mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan begitu dokter membuka buku catatan dan tablet medisnya.
"Jadi, saya sudah menerima hasil pemeriksaan awal dari Rara kemarin," ucap dokter sambil membalik layar tablet ke arah mereka. "Untuk ukuran usia 18 tahun, kondisi rahimnya cukup sehat. Tidak ada indikasi masalah mayor dari sisi reproduksi."
Rara menunduk pelan. Bahkan mendengar kata "rahim" saja membuatnya merasa asing—ini topik yang seharusnya belum pernah ia pikirkan di usianya sekarang.
"Bagus! Itu kabar yang luar biasa," kata Nadine antusias. "Berarti secara teknis... dia bisa ya, dok? Untuk jadi ibu pengganti?"
Dokter mengangguk, meski wajahnya tetap netral. "Secara medis, memungkinkan. Tapi perlu saya tekankan sejak awal, ini proses yang kompleks dan butuh kesiapan fisik serta mental yang sangat matang. Di usia Rara yang masih muda, ada beberapa faktor risiko yang tetap harus kami pantau."
"Risikonya seperti apa, dok?" tanya Nadine cepat, dengan mata yang nyala penuh harap.
"Pertama, ada risiko kehamilan muda yang lebih tinggi terhadap preeklamsia, komplikasi plasenta, hingga keguguran. Apalagi jika prosedur inseminasi buatan ini dilakukan lebih dari satu kali. Karena, ya, kadang satu kali saja belum tentu langsung berhasil. Rata-rata pasangan perlu mencoba hingga tiga siklus untuk hasil yang optimal," jelas dokter dengan tenang.
"Dan prosesnya... bagaimana persisnya, dok?" sambung Nadine lagi.
"Kita akan mulai dari proses stimulasi hormon terlebih dahulu. Rara akan disuntik hormon selama beberapa hari untuk memastikan tubuhnya memproduksi sel telur dalam jumlah yang cukup. Lalu, sperma suami—dalam hal ini, Pak Damar—akan diproses dan dimasukkan ke dalam rahim Rara menggunakan kateter kecil. Proses ini cepat, hanya butuh sekitar lima belas menit, dan tanpa pembedahan."
Rara mengerutkan kening pelan, tapi tak berkata apa-apa.
"Apakah proses itu menyakitkan?" tanya Nadine, masih antusias.
"Tidak terlalu. Paling hanya sedikit rasa tidak nyaman, mirip seperti saat pemeriksaan dalam biasa. Tapi setelah itu, Rara harus benar-benar istirahat, menjaga asupan makanan, dan menghindari aktivitas berat selama masa penanaman dan observasi. Kita akan tunggu sekitar dua minggu setelahnya untuk tahu apakah berhasil."
Damar masih diam. Tatapannya jatuh pada tangan Rara yang mengepal diam-diam di pangkuannya.
"Kalau hasilnya gagal, apa langsung dicoba lagi?" suara Nadine kini agak pelan, lebih serius.
"Kita beri jeda. Minimal satu siklus menstruasi, agar tubuh Rara bisa kembali normal. Kalau tiga kali berturut-turut gagal, kita akan evaluasi lebih lanjut," jelas sang dokter.
Nadine mengangguk cepat, lalu menoleh ke Rara dengan senyum seolah penuh pengharapan. "Tapi kamu bisa, kan, Sayang? Kamu kuat, kan? Semua ini demi kebaikan kita bersama."
Rara menelan ludah. Ia mengangguk kecil, walau dalam hati masih ada banyak hal yang tak ia mengerti. Tapi... dari dulu, ia sudah terbiasa untuk mengangguk pada semua yang diminta padanya.
Damar akhirnya angkat suara, suaranya datar tapi jelas. "Kalau dia nggak kuat?"
Dokter menoleh padanya, tenang. "Kita akan pantau terus. Proses ini tidak dipaksakan. Kalau ada tanda-tanda kelelahan mental atau fisik, kami akan evaluasi. Tapi selama dia mau dan sadar apa yang akan dihadapi, kami lanjutkan."
"Rara, kamu masih ingat kapan terakhir kali menstruasi?" tanya dokter dengan nada lembut.
Rara menoleh pelan. "Emm... sekitar dua minggu lalu, dok. Hari pertamanya kira-kira... tanggal dua."
Dokter mengangguk, mencatat sesuatu. "Oke. Kalau begitu, ini memang masa subur kamu. Hari ini waktu yang tepat untuk melakukan prosedur. Kita sudah siapkan semuanya, jadi kita akan mulai sebentar lagi, ya."
Rara hanya mengangguk pelan. Tak ada rasa takut, tapi ada gugup yang menggantung.
Hari mulai beranjak sore ketika pintu ruangan kembali terbuka. Rara berjalan perlahan keluar dari ruang prosedur. Wajahnya terlihat pucat, tapi tetap tenang. Prosedur inseminasi memang tidak menyakitkan, hanya membuat tubuhnya lelah dan terasa asing.
Damar yang berdiri di luar ruangan langsung mengangkat kepalanya ketika melihat Rara keluar. Pandangannya menatap lurus, tapi ada sesuatu dalam mata itu—sesuatu yang samar dan tidak biasa. Tatapan yang tidak sama seperti biasanya.
Rara, yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri, tak menyadari itu sama sekali.
"Udah selesai?" tanya Nadine yang langsung menyambutnya dan meraih bahunya.
Rara mengangguk. "Udah..."
"Hebat kamu, Sayang," puji Nadine sambil merapikan jaket Rara. "Tinggal istirahat dan jaga pola makan. Kamu harus banyak tidur, oke?"
Dokter keluar tak lama kemudian, masih memegang catatan medis. "Kami sudah selesai untuk prosedur hari ini. Tapi kamu harus kembali lagi tiga hari dari sekarang, ya. Kita akan lakukan observasi lanjutan dan suntikkan hormon tambahan untuk bantu produksi sel telur lebih banyak."
"Oke, dok," Nadine yang langsung menjawab. "Nanti kami atur jadwalnya."
Dokter tersenyum, lalu menatap Rara. "Kamu kuat, Rara. Tapi jangan ragu bilang kalau kamu merasa gak nyaman, ya? Ini proses panjang, kita lakukan sama-sama."
Rara hanya menjawab dengan senyum tipis.
Mereka bertiga berjalan menuju mobil. Langkah Rara sedikit pelan, tubuhnya masih terasa lemas. Ketika Damar membukakan pintu belakang mobil untuknya, Rara masuk tanpa pikir panjang.
Damar sempat berdiri sejenak di luar, menatap Rara dari celah pintu yang belum ditutup. Tatapannya lembut, tapi berbeda. Ada sesuatu yang seolah berubah. Sejenak saja, ia menatap Rara seolah melihat sosok lain, bukan sekadar anak angkat, bukan sekadar gadis yang dibesarkan karena kasihan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments