PROLOG

Langit mendung sejak pagi. Udara terasa lembap, angin sesekali meniup pelan dedaunan yang gugur di halaman kecil. Di ujung jalan sempit yang sudah jarang dilewati orang, berdiri bangunan tua bercat putih yang mulai pudar. Plang kecil bergoyang pelan di depannya, bertuliskan Panti Asuhan Kasih Bunda dengan huruf kayu yang sebagian sudah mulai mengelupas.

Di dalam ruangan utama yang baunya campuran antara karbol dan kayu lapuk, sepasang suami istri duduk di sofa usang yang dilapisi kain bermotif bunga-bunga. Mereka duduk rapi, sikapnya formal, sesekali bertukar pandang.

Di hadapan mereka, seorang perempuan paruh baya mengenakan kerudung sederhana sedang berbicara. Suaranya tenang, tapi tatapannya penuh pertimbangan.

“Jadi, kalian benar-benar ingin mengambil anak asuh? Tapi bukan bayi, ya? Remaja?” tanya perempuan itu—Bunda Rina namanya, kepala panti yang sudah bertahun-tahun merawat anak-anak di tempat itu.

Wanita yang duduk di sebelah suaminya mengangguk pelan. Ia tampak elegan, dengan riasan tipis dan pakaian rapi yang jelas menunjukkan kelas sosialnya. Nadine, begitu dia memperkenalkan diri.

“Kami sudah pikirkan ini baik-baik, Bu,” katanya. “Kami kerja dari pagi sampai malam. Nggak mungkin ngurus bayi. Kami butuh anak yang udah bisa jaga diri sendiri.”

Pria di sebelahnya, Damar, ikut bicara. Suaranya tenang, sedikit terlalu formal, seperti sedang menjelaskan rencana kerja ke klien.

“Kami akan sekolahkan dia di tempat bagus. Kasih tempat tinggal yang layak, fasilitas lengkap. Hidupnya pasti jauh lebih baik dari sini. Tapi… kami nggak mau terlalu ribet dengan proses legal. Cukup jadi keluarga asuh aja, nggak usah sampai adopsi resmi.”

Bunda Rina mengangguk pelan, lalu menghela napas. “Dan kalian nggak ingin… ya, membangun hubungan emosional dengannya?”

Nadine tertawa kecil. “Kami bukan tipe orang tua yang bisa selalu ada di rumah. Hidup kami sibuk. Tapi kami bisa pastikan dia nggak kekurangan apapun. Itu udah cukup, kan?”

Hening sebentar. Bunda Rina lalu berdiri sambil menepuk lututnya.

“Kalau begitu, mari ikut saya. Ada satu anak yang mungkin cocok. Dia pendiam, nggak banyak tingkah, pinter. Umurnya lima belas. Sudah cukup mandiri, seperti yang kalian cari.”

...➰➰➰➰...

Beberapa minggu setelah pertemuan itu, seorang gadis remaja resmi tinggal di sebuah rumah mewah di kawasan elit kota. Bangunannya tinggi, bercat abu-abu muda, pagar besi hitam membentang di depan. Semua tampak rapi dan bersih, seperti katalog perumahan mahal.

Kamarnya luas, ber-AC, kasurnya empuk, lemari besar mengisi salah satu sisi, meja belajar di bawah jendela yang menghadap taman kecil. Semuanya terlihat sempurna. Tapi hening.

Ia jarang keluar kamar, kecuali kalau dipanggil. Waktu luangnya ia habiskan membaca atau menulis sesuatu di buku catatannya. Kadang ia duduk lama menatap langit-langit, mendengarkan jam dinding berdetak. Sepi sekali.

Sampai suatu pagi, terdengar ketukan pelan di pintu.

“Masuk,” katanya tanpa menoleh.

Seorang ART masuk membawa seragam sekolah baru dan sepasang sepatu putih yang masih dalam kotaknya.

“Nona Nadine minta kamu siap-siap. Hari ini kamu mulai sekolah. Mobilnya udah nunggu di depan,” ucapnya datar.

Gadis itu hanya mengangguk. “Oke,” katanya pelan. Wajahnya tetap datar. Nggak kelihatan senang, nggak juga sedih.

...➰➰➰➰...

Di lantai bawah, Nadine dan Damar sedang duduk di meja makan, menyelesaikan sarapan cepat. Dua koper besar berdiri rapi di dekat pintu. Mereka akan pergi—lagi. Entah untuk urusan kerja atau liburan, tidak ada yang tahu pasti.

“Rumah ini udah kamu kenal, kan?” kata Nadine sambil menyisip kopi. “Ada beberapa peraturan. Jangan bawa teman ke rumah, jangan cari masalah di sekolah. Fokus aja sama sekolah kamu.”

Damar menambahkan tanpa melihat ke arah gadis itu, “Kita nggak suka anak manja. Kamu bukan anak kandung kami, tapi kamu juga bukan pembantu. Jadi cukup bersikap biasa aja. Jangan ikut campur urusan rumah. Tutup telinga, tutup mata. Itu aja.”

Gadis itu hanya mengangguk. “Baik, Pak… Bu.”

Sebelum mereka pergi, Damar sempat menatapnya sejenak. “Kalau nanti kami butuh sesuatu dari kamu… kami harap kamu ingat semua yang udah kami kasih. Dan tahu diri.”

Setelah itu, pintu rumah tertutup. Suara mesin mobil menjauh, lalu lenyap.

Dan rumah itu kembali sunyi. Seperti biasa.

Di situlah hidup barunya dimulai. Rumah besar, kamar nyaman, sekolah bergengsi, tapi… semuanya terasa asing. Banyak hal yang bisa ia dapat, tapi sedikit sekali yang benar-benar bisa ia rasakan.

Ia hidup di tengah fasilitas, tapi jauh dari kehangatan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!