bab 4

Sirine ambulans meraung, membelah jalan yang mulai lengang. Anjani terbaring lemah di dalamnya, wajahnya pucat dengan bercak darah di bajunya. Napasnya tersengal, dan kesadarannya perlahan memudar.

Di rumah sakit terdekat, tim medis segera bergerak cepat. Anjani mengalami pendarahan serius, dan dokter tak membuang waktu untuk membawanya ke ruang gawat darurat.

Sementara itu, pengendara mobil—seorang pria paruh baya berkewarganegaraan asing—juga mengalami luka berat. Tulang kaki dan tangannya patah, membuatnya tak bisa bergerak saat ditandu masuk ke dalam rumah sakit.

Di tengah situasi darurat ini, Adrian bergegas tiba setelah mendapat kabar. Wajahnya tegang, matanya penuh kecemasan saat melihat tubuh istrinya yang tak sadarkan diri.

"Dokter, bagaimana keadaan istri saya?" tanyanya, suaranya gemetar.

Dokter menatapnya serius. "Kami akan melakukan yang terbaik. Saat ini, dia mengalami pendarahan cukup parah. Kami butuh waktu."

Adrian mengangguk lemah, kedua tangannya mengepal. Namun, sebelum bisa menenangkan pikirannya, suara nyaring dan tajam terdengar di belakangnya.

"Adrian! Apa yang terjadi pada Anjani?"

Bu Rina datang dengan ekspresi panik, tapi matanya masih dipenuhi tatapan menyelidik. Dita berdiri di sampingnya, menutup mulutnya seolah terkejut, tapi ada kilatan aneh di matanya.

"Astaga, jangan-jangan ini gara-gara dia sendiri?!" Dita tiba-tiba bersuara, sengaja menambahkan drama. "Bukankah dia memang selalu ceroboh?"

Adrian menoleh tajam. "Dita, jaga bicaramu!"

Namun, Bu Rina justru menambahkan minyak ke dalam api. "Sudah kubilang dari awal, perempuan itu hanya membawa sial! Baru juga menikah, sekarang malah bikin masalah!"

Adrian memijit pelipisnya, berusaha menahan emosi. Tapi di dalam ruang gawat darurat, Anjani masih berjuang antara hidup dan mati, tanpa mengetahui bahwa keluarganya sendiri malah memperburuk keadaan.

Waktu terasa berjalan begitu lambat. Adrian mondar-mandir di depan ruang gawat darurat, wajahnya penuh kegelisahan. Bu Rina dan Dita duduk di bangku tunggu, tapi bukan dengan ekspresi khawatir, melainkan penuh ketidaksabaran.

Setelah sekian lama, pintu ruang gawat darurat akhirnya terbuka. Seorang dokter keluar dengan wajah serius. Adrian langsung menghampiri.

"Dok, bagaimana keadaan istri saya?"

Dokter menghela napas. "Kami berhasil menghentikan pendarahannya, tapi…" Dokter ragu sejenak sebelum melanjutkan, "Kami tidak bisa menyelamatkan kandungannya. Istri Anda mengalami keguguran."

Seolah dunia runtuh di depan matanya, Adrian terdiam. "A-apa?" suaranya bergetar.

"Saya turut berduka, Pak Adrian. Saat ini, kondisi istri Anda masih lemah, dia butuh banyak istirahat."

Adrian mengepalkan tangan, mencoba menahan emosinya. Namun sebelum bisa berkata apapun, suara ketus Bu Rina langsung memotong.

"Berapa biaya rumah sakitnya, Dok?"

Dokter sedikit mengernyit, tak menyangka pertanyaan pertama yang keluar bukan soal kesehatan pasien, melainkan uang. "Biaya bisa dibicarakan nanti, yang terpenting sekarang adalah pemulihan pasien."

Bu Rina mendengus. "Huh! Jadi bukan hanya menyusahkan, tapi juga kehilangan bayi? Sudah kubilang dari awal perempuan itu hanya membawa sial!"

Adrian menoleh tajam ke arah ibunya. "Ma! Anjani baru saja kehilangan anak kami, dan itu yang mama pikirkan?!"

Dita justru menimpali dengan nada menyebalkan. "Tapi Mama ada benarnya juga, Mas. Uang yang seharusnya bisa kita gunakan untuk hal lain, malah terbuang sia-sia untuk Anjani. Lagipula, kalau dia lebih berhati-hati, ini semua nggak akan terjadi."

Adrian mengepalkan tinjunya, matanya merah menahan marah. "Cukup! Kalau kalian hanya mau menyalahkan Anjani dan membicarakan uang, lebih baik kalian pulang saja!"

Bu Rina menyipitkan matanya, tak terima dengan ucapan anaknya. "Adrian! Kau membentak mama mu demi perempuan itu?!"

Adrian menatap ibunya penuh ketegasan. "Aku membela istriku karena dia tidak bersalah! Kalau kalian tidak bisa menunjukkan sedikit kepedulian, lebih baik jangan ada di sini!"

Bu Rina mendesis marah, sementara Dita hanya bisa memelototi Adrian. Namun sebelum mereka sempat membalas, seorang perawat keluar dari ruang perawatan.

"Suami pasien Anjani, silakan masuk. Istri Anda sudah sadar."

Mendengar itu, Adrian segera bergegas masuk. Namun, di mata Bu Rina, ada kilatan penuh rencana licik.

"Kita lihat saja, Anjani. Kau mungkin bisa bertahan hari ini, tapi kau tidak akan menang selamanya."

Adrian segera masuk ke kamar rawat Anjani. Hatinya mencelos saat melihat istrinya terbujur lemah di atas ranjang pasien. Wajahnya pucat, tubuhnya penuh luka lebam, selang infus tertancap di lengannya.

Ia duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Anjani yang terasa dingin. Matanya memerah menahan emosi—antara rasa bersalah, sedih, dan marah. "Maaf, Sayang… Aku nggak ada disampingmu saat kau butuh aku."

Di belakangnya, Bu Rina hanya berdiri dengan wajah datar. Alih-alih menunjukkan simpati, wanita itu malah mendecakkan lidah.

"Coba kalau dia nggak kabur dari rumah, semua ini nggak akan terjadi. Dasar pembawa sial."

Adrian menoleh tajam. "Ma! Bisa nggak berhenti menyalahkan Anjani?! Dia baru saja kehilangan anak kami!"

Bu Rina melipat tangan di dada, ekspresinya sinis. "Anakmu? Yang bahkan belum lahir? Jangan sok dramatis, Adrian. Justru ini lebih baik. Kau bisa mencari istri baru yang lebih pantas."

Jantung Adrian seperti dihantam keras. Rahangnya mengeras, menahan amarah yang nyaris meledak. "Keluar, ma."

Bu Rina mengerutkan kening. "Apa?"

"Keluar dari sini! Kalau mama tidak bisa menunjukkan sedikit rasa iba, aku tidak butuh mama disini!" suara Adrian bergetar, matanya berkilat marah.

Dita yang sejak tadi diam, akhirnya ikut bicara. "Mas, Mama cuma bilang yang sebenarnya. Anjani itu cuma beban buatmu!"

Adrian berdiri, nafasnya berat. "Aku nggak peduli apa yang kalian pikirkan! Aku hanya ingin kalian keluar sekarang!"

Bu Rina mendengus, tetapi akhirnya berbalik dengan langkah kasar. Dita mengikuti di belakangnya dengan mendengus kesal.

Adrian menghela napas panjang, lalu kembali duduk di samping Anjani. Ia menggenggam tangan istrinya lebih erat.

"Kumohon, Anjani… Bangunlah."

Bu Rina melangkah pergi dengan wajah merah padam, menahan amarah karena Adrian berani membentaknya. Dita mengekor di belakang, tapi sebelum keluar dari rumah sakit, Bu Rina berhenti dan menghela napas panjang, berusaha meredam emosinya.

"Kurang ajar! Berani sekali anak itu membela perempuan miskin itu di depanku!" geramnya, mengepalkan tangan.

Dita mendesah, lalu menyahut dengan nada menyindir. "Bang Adrian sudah berubah, Ma. Sejak menikah dengan Anjani, dia jadi berani melawan Mama terus. Coba kalau dia menikah dengan Anggun, pasti semua lebih mudah."

Bu Rina mengangguk setuju. Sejak awal, ia tidak pernah merestui pernikahan Adrian dan Anjani.

Baginya, Anjani hanya gadis miskin yang tidak pantas bersanding dengan anaknya. Ia jauh lebih ingin Adrian menikah dengan Anggun, putri seorang pejabat kaya yang selama ini selalu mengejar-ngejar Adrian.

"Aku tidak akan membiarkan Anjani menang. Dia harus menyerah dan pergi dari kehidupan Adrian." Bu Rina berkata penuh tekad.

Dita tersenyum licik. "Kalau begitu, kita harus bikin rencana baru, Ma. Biar Bang Adrian sadar kalau Anjani cuma beban!"

Bu Rina menatap Dita dengan mata penuh rencana. "Kali ini, kita pastikan dia tidak punya pilihan selain menyerah."

Di lain kamar, Pak Robert terbangun dari pengaruh obat tidur yang diberikan dokter. Kepalanya masih terasa berat, tetapi kesadarannya mulai pulih sepenuhnya. Dengan sedikit usaha, ia mengangkat tangannya dan menekan tombol pemanggil perawat.

Tak lama, seorang perawat masuk ke kamar rawatnya. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyanya sopan.

"Saya ingin menghubungi keluarga saya segera," suara Pak Robert terdengar lemah tetapi penuh urgensi.

Perawat itu segera memberikan ponselnya. Dengan tangan gemetar, Pak Robert mengetik nomor yang sudah dihafalnya di luar kepala. Setelah beberapa kali nada sambung, panggilannya akhirnya dijawab.

Tak butuh waktu lama, seorang wanita asing berambut pirang berlari panik memasuki kamar. Nafasnya memburu saat melihat keadaan suaminya. "Oh my God, Robet! Apa yang terjadi padamu?"

Matanya membesar saat melihat kaki dan tangan Pak Robert penuh dengan gips. Ia buru-buru mendekat, menggenggam tangan suaminya dengan mata berkaca-kaca. "Siapa yang melakukan ini padamu? Apa ini kecelakaan?!"

Pak Robert menghela nafas panjang, menatap istrinya dengan mata lelah. "Aku tidak tahu pasti… Tapi aku akan mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas semua ini."

Tak berselang lama, seorang pria tampan dan gagah datang dengan langkah tergesa. Wajahnya penuh kekhawatiran, dan tanpa ragu, ia membuka pintu kamar dengan cepat.

"Papi! Mami!" suaranya tegas saat melihat kedua orang tuanya di sana. Matanya langsung tertuju pada tubuh Pak Robert yang terbaring dengan gips di kaki dan tangannya.

Ia segera mendekat, menatap wajah lelah sang ayah. "Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana kecelakaan ini bisa terjadi?"

Wanita asing yang sejak tadi menemani Pak Robert menghela nafas panjang, masih terlihat panik. "Kami juga belum tahu detailnya, sayang. Papi-mu baru saja sadar."

Pria itu mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Siapa pun yang menyebabkan ini, aku tidak akan tinggal diam."

"Tenang, William. Kita harus cari tahu dulu semuanya," ujar Pak Robert dengan suara lemah namun tegas.

William berusaha menahan emosinya, lalu duduk di samping ranjang ayahnya. "Papi, apa yang sebenarnya terjadi?"

Pak Robert menghela nafas berat. "Papi menabrak seorang perempuan muda. Sampai sekarang, papi belum tahu bagaimana keadaannya. Papi ingin kalian mencari tahu dan meminta maaf padanya."

Mami William langsung menatap suaminya dengan khawatir. "Ya Tuhan… Bagaimana kalau dia terluka parah?"

William mengepalkan tangan, berusaha tetap tenang. "Jangan khawatir, Papi. Aku akan mencari tahu keadaannya. Aku janji akan menyelesaikan ini."

Rose, mami William, segera mencari tahu tentang korban kecelakaan yang dibawa bersamaan dengan suaminya. Begitu mendapat informasi, ia langsung menuju ruang rawat korban.

Setibanya disana, betapa terkejutnya ia saat melihat kondisi perempuan muda itu begitu lemah dengan perban di beberapa bagian tubuhnya. Lebih dari itu, ia juga mendapat kabar bahwa perempuan itu mengalami keguguran akibat kecelakaan tersebut.

Dengan hati penuh rasa bersalah, Rose melangkah mendekati seorang pria yang berdiri di samping ranjang pasien dengan ekspresi dingin dan penuh kemarahan—Adrian.

"Tuan, saya benar-benar minta maaf atas kejadian ini," ujar Rose dengan nada tulus. "Saya tidak tahu harus berkata apa… tapi saya berjanji akan bertanggung jawab atas semua biaya perawatan istri Anda."

Adrian menatap Rose tajam, matanya penuh emosi yang sulit dibaca. "Apapun yang Anda lakukan tidak akan mengembalikan anak kami," ucapnya dingin.

Rose terdiam, merasa semakin bersalah. "Saya mengerti… Tapi tolong, izinkan kami membantu sebisa mungkin. Saya benar-benar menyesal."

Adrian menghela napas panjang, menoleh ke arah Anjani yang masih terbaring lemah. Luka di tubuh istrinya mungkin akan sembuh, tetapi luka di hatinya tidak semudah itu.

Dengan hati terpaksa, Adrian menerima tawaran Rose. Ia tak punya pilihan lain dan memilih untuk tidak memperpanjang masalah. Bagaimanapun juga, tak ada yang bisa mengembalikan keadaan seperti semula.

Ia menatap wajah pucat Anjani yang masih terbaring lemah. Ada sesak di dadanya, perasaan bersalah yang tak bisa ia abaikan. Ini bukan hanya kesalahan orang lain—ia sadar bahwa dirinya juga ikut bertanggung jawab. Jika saja ia tidak membiarkan Anjani keluar dari rumah dalam keadaan emosi, mungkin semua ini tak akan terjadi.

Menghela napas panjang, Adrian akhirnya berkata dengan suara dingin, "Baiklah, saya terima bantuan Anda. Tapi jangan berpikir ini bisa mengganti apapun yang telah terjadi."

Rose mengangguk dengan wajah penuh penyesalan. "Saya mengerti… Saya benar-benar minta maaf."

Adrian tidak menjawab. Matanya kembali tertuju pada Anjani, berharap istrinya segera sadar dan kuat menghadapi kenyataan pahit ini.

Terpopuler

Comments

Petir Luhur

Petir Luhur

lanjut.. seru

2025-04-23

1

lihat semua
Episodes
1 bab 1
2 bab 2
3 bab 3
4 bab 4
5 bab 5
6 bab 6
7 bab 7
8 bab 8
9 bab 9
10 bab 10
11 bab 11
12 bab 12
13 bab 13
14 bab 14
15 bab 15
16 bab 16
17 bab 17
18 bab 18
19 bab 19
20 bab 20
21 bab 21
22 bab 22
23 bab 23
24 bab 24
25 bab 25
26 bab 26
27 bab 27
28 bab 28
29 bab 29
30 bab 30
31 31
32 bab 32
33 bab 33
34 bab 34
35 bab 35
36 bab 36
37 bab 37
38 bab 38
39 bab 39
40 bab 40
41 bab 41
42 bab 42
43 bab 43
44 bab 44
45 bab 45
46 bab 46
47 bab 47
48 bab 48
49 bab 49
50 bab50
51 bab 51
52 bab 52
53 bab 53
54 bab 54
55 bab 55
56 bab 56
57 bab 57
58 bab 58
59 bab 59
60 bab 60
61 bab 61
62 bab 62
63 bab 63
64 bab 64
65 bab 65
66 bab 66
67 bab 67
68 bab 68
69 bab 69
70 bab 70
71 bab 71
72 bab 72
73 bab 73
74 bab 74
75 bab 75
76 bab 76
77 bab 77
78 bab 78
79 bab 79
80 bab 80
81 bab 81
82 bab 82
83 bab 83
84 bab 84
85 bab 85
86 bab 86
87 bab 87
88 bab 88
89 bab 89
90 bab 90
91 bab 91
92 bab 92
93 bab 93
94 bab 94
95 bab 95
96 bab 96
97 bab 97
98 bab 98
99 bab 99
100 bab 100
101 bab 101
102 bab 102
103 bab 103
104 bab 104
105 bab 105
106 bab 106
107 bab 107
108 108
109 bab 109
110 bab 110
111 bab 111
112 bab 112
113 bab 113
114 bab 114
115 bab 115
116 bab 116
117 bab 117
118 bab 118
119 bab 119
120 120
121 bab 121
122 bab 122
123 bab 123
124 bab 124
125 bab 125
126 bab 126
127 bab 127
128 128
129 bab 129
130 bab 130
131 bab131
132 bab 132
133 bab 133
134 Bab 134
135 bab135
136 bab 136
Episodes

Updated 136 Episodes

1
bab 1
2
bab 2
3
bab 3
4
bab 4
5
bab 5
6
bab 6
7
bab 7
8
bab 8
9
bab 9
10
bab 10
11
bab 11
12
bab 12
13
bab 13
14
bab 14
15
bab 15
16
bab 16
17
bab 17
18
bab 18
19
bab 19
20
bab 20
21
bab 21
22
bab 22
23
bab 23
24
bab 24
25
bab 25
26
bab 26
27
bab 27
28
bab 28
29
bab 29
30
bab 30
31
31
32
bab 32
33
bab 33
34
bab 34
35
bab 35
36
bab 36
37
bab 37
38
bab 38
39
bab 39
40
bab 40
41
bab 41
42
bab 42
43
bab 43
44
bab 44
45
bab 45
46
bab 46
47
bab 47
48
bab 48
49
bab 49
50
bab50
51
bab 51
52
bab 52
53
bab 53
54
bab 54
55
bab 55
56
bab 56
57
bab 57
58
bab 58
59
bab 59
60
bab 60
61
bab 61
62
bab 62
63
bab 63
64
bab 64
65
bab 65
66
bab 66
67
bab 67
68
bab 68
69
bab 69
70
bab 70
71
bab 71
72
bab 72
73
bab 73
74
bab 74
75
bab 75
76
bab 76
77
bab 77
78
bab 78
79
bab 79
80
bab 80
81
bab 81
82
bab 82
83
bab 83
84
bab 84
85
bab 85
86
bab 86
87
bab 87
88
bab 88
89
bab 89
90
bab 90
91
bab 91
92
bab 92
93
bab 93
94
bab 94
95
bab 95
96
bab 96
97
bab 97
98
bab 98
99
bab 99
100
bab 100
101
bab 101
102
bab 102
103
bab 103
104
bab 104
105
bab 105
106
bab 106
107
bab 107
108
108
109
bab 109
110
bab 110
111
bab 111
112
bab 112
113
bab 113
114
bab 114
115
bab 115
116
bab 116
117
bab 117
118
bab 118
119
bab 119
120
120
121
bab 121
122
bab 122
123
bab 123
124
bab 124
125
bab 125
126
bab 126
127
bab 127
128
128
129
bab 129
130
bab 130
131
bab131
132
bab 132
133
bab 133
134
Bab 134
135
bab135
136
bab 136

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!