Positive mind and positive thoughts. Itulah yang menjadi prinsip Amber pagi ini. Jika dia tidak mungkin menghindar dari tugas, dia hanya perlu banyak-banyak berdoa supaya dia tidak bertemu dengan siapa pun dari masa lalunya di Cakrawala Hospital.
Dia hanya perlu sangat sibuk di hari pertamanya agar dia tidak punya waktu untuk bersantai memikirkan ketakutannya. Ya, dia hanya dokter umum biasa. Tidak mungkin keberadaannya akan diketahui si empunya perusahaan kan?
Amber turun dari mobilnya yang sudah terparkir di area parkir umum. Dia menatap gedung megah tinggi di hadapannya. Kemegahan itu mengingatkannya kembali pada mantan mertuanya yang sangat kaya. Fransisco Ellordi adalah pengusaha yang cukup terkenal di kota besar ini. Kekayaannya itu membuat anak sematawayangnya, Chris Ellordi menjadi salah satu anak pengusaha blasteran Indo-Amerika yang banyak diidolakan masyarakat awam. Kebayang nggak sih punya suami kayak bule gitu, trus kaya raya?
Tapi sayangnya para fans-nya itu tidak tau bagaimana childish-nya pria bernama panjang Christofan Ellordi itu. Dia sama sekali tidak pantas disebut sebagai pria. Amber sangat beruntung bisa terlepas darinya setelah tiga tahun menjalani rumahtangga yang kacau karena sikap kekanak-kanakan pria itu.
Ah, sudahlah... Amber tidak ingin mengingatnya lagi. Dia berharap tidak akan pernah bertemu pria itu lagi.
*****
Kedatangan Amber tidak terlalu menarik perhatian. Dia hanya mendapat sejumlah sapaan selamat datang dan selamat bergabung dari rekan-rekan kerjanya. Berhubung dia adah dokter umum, dia ditempatkan di lantai dasar bersama dokter dan perawat umum lainnya. Ruangannya juga berada di lantai yang sama dan honestly dia takjub dengan ruang kerjanya.
Ini sih lux banget. Nggak salah gue dapat fasilitas ruangan begini? Dia bergumam memuji dalam hati. Sempat ingin bertanya kepada kepala dokter yang tadi menyambutnya, tapi pria berambut putih itu sudah pergi entah kemana.
Dia meletakkan tasnya dan duduk di kursi empuk yang dia taksir pasti brand mahal punya, dengan kualitas terbaik. Ah, mantan mertuanya itu kan memang kaya raya, wajar saja semua fasilitas kelas satu seperti ini. Kalau pakai yang biasa-biasa aja kan bisa dipertanyakan kekayaannya.
"Hmm..." dia memejamkan kedua matanya sebentar. Aroma ruangan itu pun berhasil membuatnya rileks. Lumayan baik untuk membangun mood positif sebelum lima belas menit lagi dia mulai patroli, menyapa pasien-pasien yang akan menjadi tanggung jawabnya.
Setelah puas dengan ruangannya, Amber pun beranjak menuju ruangan kepala dokter umum yang tadi. Dia akan diantar berkenalan ke pasien yang menjadi tanggungjawabnya dalam waktu dekat. Amber kembali membangun afirmasi positif dalam dirinya bahwa dia pasti bisa bonding dengan pasiennya dan bisa menjadi dokter yang akan menolong mereka menuju kesembuhan.
"Nona Amber, pasien anda ada di lantai delapan, kamar VVIP. Mari saya antar ke sana."
Hah?? Kok bisa? Pasiennya adalah pasien VVIP? Nggak salah? Dia kan dokter baru, masak langsung dikasih pegang pasien high class??
"Maaf, Dok. Saya nggak salah dengar, Dok? Pasien VVIP?" tanyanya memastikan.
"Iya. Kenapa? Anda nggak mau tangani?" Dokter bernama Wicaksono itu melirik sebentar sambil membereskan meja kerjanya.
"Bukan begitu, Dok. Saya hanya takut ada kekeliruan. Saya kan masih dokter baru, belum pantas menangani pasien yang ada di kelas VVIP. Tapi jika kebijakan Rumah Sakit sudah demikian, saya akan melakukan tugas dan tanggung jawab saya dengan baik," Amber segera menjelaskan maksudnya sebelum Dokter Wicaksono menilainya tidak profesional.
"Good. Ikut saya sekarang."
Amber mengikuti Dokter Wicaksono keluar dari ruangan, lalu masuk ke lift yang akan membawa mereka ke lantai delapan gedung ini.
"Kalau boleh tau, pasiennya sakit apa ya, Dok?" Amber bertanya sambil menunggu lift sampai di lantai delapan.
"Bagaimana kalau nanti Dokter Amber saja yang lihat langsung kondisi pasiennya dan memberitahu saya?"
Amber mengerutkan keningnya. Apa dia sedang diuji???
"Oh, begitu. Siap Dok," Amber tidak bisa mengelak dengan kata-kata apapun. Kredibilitasnya sebagai Dokter sedang dipertaruhkan. Dia harus banyak berdoa supaya pasiennya tidak rewel, sehingga dia bisa melihat gejala-gejalanya dengan baik.
Tingg!!!
Suara berdenting itu membuat jantung Sarah tiba-tiba berdegup kencang. Pasien VVIP itu biasanya orang dari kalangan pejabat, pengusaha, pokoknya orang kaya raya. Biasanya sebagian besar dari mereka punya karakter jutek, keras kepala dan apa-apa pasti mengandalkan uang. Ingin cepat sembuh tapi suka bandel kalau dilarang ini itu, dengan alasan harusnya dokter bisa lakuin apa saja karena sudah dibayar mahal. Huffttt...
Seumur-umur menjadi dokter umum, Amber jarang sekali berhubungan dengan pasien high class. Lebih tepatnya dia yang menolak meskipun lahannya cukup basah, alias banyak duitnya. Dia lebih mementingkan kesehatan jantungnya daripada kesehatan kantongnya. Karena pada dasarnya tujuannya ingin menjadi seorang dokter adalah bisa bermanfaat untuk semua orang, bukan hanya demi uang semata.
"Silahkan masuk, Dokter..." Dokter Wicaksono membuka pintu kamar tersebut setelah ketukannya mendapat sahutan dari dalam.
Amber pun melangkah masuk, tapi hanya tiga langkah. Setelah itu dia menunggu Dokter Wicaksono untuk masuk juga dan menutup pintu kamar.
Amber sempat melihat calon pasiennya sekilas. Orang itu sedang duduk di atas brankar sambil membaca koran yang menutupi seluruh wajah dan tubuhnya jika dilihat dari tempat wanita itu berdiri. Dari bentuk otot tangannya, orang itu adalah laki-laki.
"Selamat pagi Tuan, Dokter Amber sudah di sini..."
"Baik, Dokter. Anda bisa keluar. Biarkan Dokter Amber tinggal di sini."
"Baik. Permisi, Tuan," Dokter Wicaksono memberi hormat lalu melempar senyum kecilnya pada Amber. Amber yang kebingungan karena disuruh tinggal, sementara Dokter itu disuruh keluar.
Sepeninggal Dokter Wicaksono, Amber masih belum punya firasat apa-apa. Pria di atas kasur itu malah masih asyik dengan korannya. Amber merasa benar-benar sedang diuji dan dia memutuskan untuk bersabar. Cakrawala Hospital adalah rumah sakit bergengsi. Pasien umumnya saja mungkin sudah dari kalangan menengah ke atas, apalagi yang VVIP. Dia harus menjaga sikap agar tidak dipecat di hari pertama kerjanya.
"Apa kabar, Dokter Amber?" tanya suara itu dari balik korannya. Dia menanyakan kabar? Memangnya mereka pernah bertemu sebelumnya??
"Kabar saya baik, Pak. Oh iya, Pak, saya harus segera memeriksa Bapak. Apa bisa kita lakukan sekarang?"
"Oke, come here..."
Amber sama sekali tidak takut. Dia melangkahkan kakinya dengan percaya diri mendekati brankar itu. Tangannya sudah bersiap dengan stetoskop yang menggantung di lehernya sebelum tiba-tiba pria itu menurunkan korannya dan membuat Amber terkejut setengah mati.
Seperti gerakan slow motion, pria itu melipat koran yang sedari tadi ia pegang, lalu melemparkan pandangannya pada Amber yang kini sudah berdiri di dekat kasurnya.
"Kau??!!!!!" Amber membulatkan matanya seakan tidak percaya. Bagaimana mungkin dia tidak mengenali suara itu sejak tadi??
"Halo, mantan istriku?" pria yang tidak lain adalah Chris itu tersenyum penuh kemenangan melihat wajah pucat Amber. Kedua bola mata wanita itu bahkan hampir keluar saking terkejut melihatnya.
"Kau?! Jangan bilang ini semua sabotasemu??!" tanya Amber dengan sedikit penekanan. Benar kan firasatnya? Mutasinya kali ini sepertinya ada sabotase. Mana pernah dia dipindahkan ke RS Swasta.
"Kalau iya kenapa? Kau tidak suka?" Chris meletakkan koran tersebut di atas nakas lalu mengambil posisi tidur dengan kedua tangan dijadikan bantal kepalanya. Amber yakin seratus persen pria itu tidak sedang sakit.
"Jelas. Kau merusak citraku sebagai seorang Dokter. Aku tidak bersedia ditempatkan di sini, asal kau tau," jawaban ketus Amber jelas-jelas menunjukkan kekesalannya karena Chris dan mungkin keluarganya sudah seenak hati mengatur karirnya sebagai Dokter. Bagaimana mungkin mereka tega melakukan itu? Tujuannya apa?
"Tapi kau di sini sekarang dan kontrak kerjamu sudah diperpanjang selama lima tahun ke depan. Mau kabur?"
Amber tidak bersedia membalas tatapan Chris yang diakuinya sedikit berbeda dari Chris yang dulu. Pria itu sudah menjadi lebih dewasa dari wujud dan penampilannya. Tapi sifatnya masih tetap kekanak-kanakan bukan?
"Terserahlah. Yang pasti aku tidak bersedia bekerja di lantai ini. Aku akan menangani lantai satu saja."
"Sayangnya keputusan itu ada di tanganku, Nona. Aku direkturnya. Oh iya, Nona atau Nyonya? Secara hukum kau masih istri sah ku."
"Bodoh amat. Aku keluar."
Pergelangan tangannya tahu-tahu dicekal oleh pria bertubuh kekar itu. Amber tidak bisa menghindari sekarang dia sudah berada di atas tubuh Chris.
"Apaan sih?! Lepas!!!"
"Masih keras kepala seperti dulu?" Chris menekan tubuh Amber lebih kuat lagi.
"Apa urusanmu, ba*gsat! Lepas!"
"Wow, delapan tahun melanglang buana ternyata membuatmu sedikit lebih berani. Good girl."
"Lepas!!" Amber memberontak. Sekarang pria itu memeluknya dengan intens dan mulai mencium puncak kepalanya. Darah Amber mendidih dan ingin marah. Dia seperti mendapat pelecehan seksual.
"Iya, sebentar lagi dilepas. Tapi ingat, tugasmu di kamar ini. Kalau kau tidak datang sesuai prosedur jam kerjamu, aku akan memecatmu," setelah itu Chris benar-benar melepaskan Amber. Tidak ada berapa detik wanita itu langsung melesat kabur dari ruangan sialan itu.
*****
Amber menghempas pintu ruangannya dan menguncinya sebanyak dua kali. Dia harus menenangkan diri dan dia khawatir Chris akan mengikutinya.
"Sialan! Kenapa bisa ketemu lagi?? Oh Tuhan! Bagaimana caranya aku bisa profesional jika pasiennya adalah dia??" nafas Amber naik turun tidak beraturan. Tangannya gemetar, juga kakinya bahkan sekujur tubuhnya.
Chris Ellordi. Entah bagaimana sekarang pria itu menjadi pemegang kekuasaan di Cakrawala Hospital. Entah bagaimana pula dia bisa mengatur pemindahan Amber ke rumah sakit itu. Jelas sekali semuanya sudah di setting sedemikian rupa. Amber saja yang tidak sadar.
Amber bergidik saat dia tiba-tiba membayangkan kalau selama ini ternyata Chris masih memantaunya. Buktinya pria itu tahu dia sudah delapan tahun menjadi dokter dan pindah tugas ke sana sini. Jangan-jangan Chris selalu memata-matainya? Tapi untuk apa? Bukannya si kunyuk itu setuju-setuju saja saat Amber minta cerai dulu??
"God God God, help me! Aku harus bagaimana?" Amber menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Mencoba mengatur pernapasan agar paniknya berkurang.
Amber perlu teman curhat! Sekarang!
Dia mengambil ponsel dan men-dial nomor Karen. Entah memang kebetulan sedang santai, teleponnya langsung tersambung dan Karen mengangkatnya.
"Gimana, Beb? Udah mulai kerja?"
"Ren, gawat!!!!!"
"Apa? Kenapa? Lo ketemu mantan mertua lo???"
"Enggak, Ren. Lebih gawat dari itu. Gue ketemu Chris. Dia dirut Cakrawala Reeennnnnn!!!! Mati gueeeeeeeeee..."
******
Jangan lupa like, comment dan vote-nya ya readers... love you 🥰🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Anies
pas baca MPSD aku penasaran banget sama cerita Mama Amber dan papa chris nya Brandon dan chalondra.. ternyata di awalpun udah semenarik ini loh...
2023-06-15
0
JandaQueen
amber, otor ada bbrp ketukar nulisnya jadi sarah
2023-04-03
0
dhapz H
semuanya tanpa di sadari sarah
2021-07-08
1