KE KOTA

Apa artinya hadirku ketika tidak bisa menjadi tempatmu bersandar

POV Ibu

Hidup pas-pasan bukan sesuatu yang baru, hidup susah pun demikian. Sejak suaminya meninggal beberapa tahun lalu, penyakit asma yang dideritanya sejak kecil sering sekali kambuh. Dan guncangan kepergian suami yang begitu mendadak menambah satu koleksi penyakit, penyakit jantung. Ibu tidak bisa bekerja keras lagi. Cape sedikit penyakit sesak dan jantungnya akan kumat. Bukannya tak mau ambil resiko, tapi itu akan menambah beban karena harus berobat ke dokter yang artinya butuh uang untuk biaya pemeriksaan dan membeli obat.

Untuk menghindari itu, sebisa mungkin ibu menghindari aktivitas yang memungkinkan penyakitnya kambuh lagi. Dan sejak itulah, beban mencari nafkah berada di pundak Ninu anak sulungnya, bukan tidak kasihan. Hampir setiap malam ibu menangis dalam doa bagaimana dia melihat wajah lelah Ninu sepulang bekerja, dan bagaimana kasih sayang Ninu untuknya dan Ima. Mengambil alih peran sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup keluarganya. Ninu anak yang baik, kuat, dan tidak pernah mengeluh. Ibu tahu dia lelah tapi dia tidak pernah menunjukkan itu.

Ketika Ninu meminta ijin untuk pergi ke kota, seperti ada yang mengiris-ngiris hati ibu. Sangat pedih. Tak terbayangkan bagaimana hidup Ninu di sana tanpa dia bisa melihatnya langsung. walau tak banyak yang bisa ibu lakukan untuk meringankan beban Ninu, tapi ibu masih bisa mengusapnya, menghiburnya dengan kata-kata dan memberi senyuman penenang ketika Ninu lelah atau sedih. Dan itu membuat hati ibu tenang. Tapi kalau Ninu jauh darinya, ibu tidak akan tahu apa yang terjadi padanya dan bagaimana dia bisa menghibur Ninu. Hati ibu gelisah.

Ibu tahu, Ninu tidak seperti anak lainnya di desa ini. Dia punya keinginan yang kuat untuk berubah. Ninu punya cita-cita yang ingin diraih. Itulah sebabnya mengapa Ninu mau kerja serabutan dari pagi hingga sore, agar dia dan keluarganya dapat hidup lebih baik. Namun, berapa sih uang yang bisa dikumpulkan Ninu dengan bekerja kasar seperti itu apalagi di desa kecil seperti tempat tinggal mereka ini. Memang sangat tidak sepadan antara tenaga yang dikeluarkan dengan uang yang didapat. Jika Ninu ingin pergi untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik sebenarnya ibu bisa mengerti. Hanya hatinya belum bisa melepas.

POV Ima

Teh Ninu akan pergi, gumam Ima dalam hatinya.

Kakak satu-satunya yang sangat dia sayangi akan pergi meninggalkannya dan ibu. Walau kepergiannya untuk bekerja mencari penghidupan yang lebih baik, bagaimana Ima bisa hidup tanpa kakaknya. Sejak dulu Ninu adalah tempatnya bersandar. Tidak ada seorangpun yang Ima kagumi selain kakaknya. Dia sosok yang kuat dan penyayang. Seringkali Ninu mengorbankan keinginan hanya agar bisa memenuhi kebutuhan ibu dan dirinya. Ima sangat menyayanginya. Itulah sebabnya dia tidak pernah membantah sekalipun apa yang Ninu katakan.

Sebenarnya Ima ingin membantu Ninu bekerja tapi selalu dilarang. “Kamu harus sekolah yang bener, biar bisa jadi kebanggaan ibu dan teteh” itu yang kerap diucapkan Ninu padanya ketika dia mengungkapkan keinginannya untuk ikut bekerja mencari uang.

Ima tahu keinginan dan cita-cita kakaknya. Oleh karenanya, dia akan berusaha mendukung apa yang dilakukan Ninu. Dia akan menunjukkan bahwa dirinya bisa diandalkan. Dia sudah besar, bisa menjaga ibu dan mengurus rumah. Dia tidak akan terus menerus menjadi beban kakaknya. Kakaknya harus pergi bekerja dengan hati tenang. Itulah tekad Ima. Walau sedih karena harus berpisah, Ima bangga dengan apa yang dilakukan kakaknya. Dan Ima berjanji tidak akan membuat kakaknya kecewa.

“Bu… Ninu berangkat ya” Ninu mencium tangan ibunya dengan berurai air mata, “Ninu janji, Ninu akan kerja dengan baik di kota. Ninu akan kirim uang buat biaya ibu dan Ima di sini”

Ibu menangis, merengkuh tubuh anak sulungnya dan memeluknya erat. “Maafkan ibu nak, ibu sungguh berdosa membiarkanmu pergi jauh untuk menghidupi kami di sini” suara ibu terbata-bata.

Mereka bertiga berpelukan erat seakan enggan berpisah.

“Ima, jaga ibu ya dan jaga diri kamu baik-baik. Teteh mengandalkan kamu” suara Ninu masih dalam tangis.

Ima hanya mengangguk. dia tak mampu bicara. Tenggorokannya penuh dengan kesedihan, wajahnya sudah basah dengan air mata.

“Baik-baiklah kamu di sana nak. Kalau bisa seringlah kabari kami di sini” pinta ibu, “Jaga diri baik-baik. Kalau tidak betah jangan memaksakan diri. Pulanglah” lanjut ibu.

“Iya bu, Ninu akan ingat kata-kata ibu”

“Ibu doakan semoga keselamatan dan keberuntungan selalu bersamamu Nak. Ibu akan selalu berdoa untukmu” tangis ibu sudah tak terbendung lagi.

“Teteh hati-hati di sana” isak Ima.

Kini Ninu sedang duduk bersender pada jok di dalam bus dengan pandangan tertuju ke luar jendela. Dia menghela napas panjang. Matanya enggan terpejam walau lelah. Tempat yang baru akan segera dia tapaki. Hidup yang sama sekali belum pernah dia rasakan sebelumnya akan segera dia geluti. Entah apa yang akan terjadi ke depannya, Ninu tidak tahu. Sebenarnya hatinya tidak seberani itu, tapi keadaan yang memaksa. Harapannya untuk dapat hidup lebih baik, untuk dapat membahagiakan ibu dan adiknya mendorongnya untuk berani keluar dari zona nyaman, mencoba menggeluti dan menaklukkan kerasnya kehidupan di kota. Satu keyakinannya, yang dia lakukan bukan suatu kesalahan. Dia sedang berjuang meraih mimpinya.

Setelah tadi naik ojeg dari kampungnya ke jalan raya, kemudian Ninu melanjutkan perjalanan dengan naik angkutan kota ke terminal dan naik bus menuju ke kota. Kata Agis nanti dia akan menjemput Ninu di terminal di kota. Perjalanan membutuhkan waktu kurang lebih lima jam dan itu cukup melelahkan. Tapi tidak buat Ninu, ini pengalaman pertamanya pergi ke kota besar, dan matanya terus menatap pemandangan yang dilaluinya. Segala rasa memenuhi hatinya.

Tiba di terminal, Ninu turun sambal celingukan mencari temannya itu. Tapi tidak terlihat.

“Neng… ojeg neng. ayo mamang antar. Mau kemana neng?” tanya seorang pria berjaket hijau.

Ninu hanya menggelengkan kepala. Matanya masih terus mencari.

“Haiii… Ninuuu…. Ini di siniii…!” teriak seseorang melambaikan tangannya.

Ninu melihatnya dan seketika senyumnya terukir. Itu Agis. Segera dia menghampiri.

“Kamu gak mabok Nin?” tanya Agis.

“Mabok apa?” tanya Ninu dengan senyum masih terukir di bibirnya.

“Mabok perjalananlah, masak mabok duren” jawab Agis terkekeh.

“Ga, aku biasa aja”

“Wah kamu kuat ya, padahal ini pertama kalinya kamu naik bus jarak jauh kan?”

“Iya, tapi aku gak mabok”

“Syukurlah. Ayo!” ajak Agis menuntun temannya itu keluar dari terminal. “Aku bawa motor, jadi kita naik motor ke rumahku ya. gak jauh kok, paling 15 menit dari sini” jelas Agis sambil berjalan mendahului Ninu. Ninu hanya mengangguk sambil matanya terus memperhatikan suasana di terminal itu.

“Ayo Nin masuk” ajak Agis begitu mereka tiba di depan rumahnya.

“Terima kasih” jawab Ninu.

“Bu.. ini ada tamu” seru Agis. Tak lama bu Syarif, ibunya Agis muncul dari dapur.

“Eh.. ini Ninu ya anaknya almarhum Mang Ayi” sapa bu Syarif.

“Iya bu” sahut Ninu lalu menyalaminya.

“Ayo duduk Nin, pasti kamu cape kan abis perjalanan jauh” perintah bu Syarif.

“Iya bu, terima kasih”

“Gis, ambilkan air teh buat Ninu, kasian dia pasti haus dan kecapean. Iya kan Nin?” ucap bu Syarif lagi.

“Ga apa-apa kok bu. Ninu bekal air kok, jadi gak haus” jawab Ninu.

“Udah gak apa-apa, nih aku buatkan es sirop. Enak lho dingin. Ayo diminum” kata Agis yang muncul dari dapur sambil membawa segelas sirop yang diberi es batu dan menyerahkannya ke Ninu.

“Kamu tinggallah di sini dulu sebelum dapat kamar kontrakan ya, walaupun sederhana anggap saja rumah sendiri, ya Nin” ucap bu Agis sambil mengusap punggung Ninu. “Kita kan satu kampung jadi gak usah sungkan-sungkan” lanjutnya.

“Iya bu, terima kasih. Maaf jadi merepotkan” jawab Ninu senang.

“Merepotkan apa, tidak ada yang direpotkan” balas bu Syarif tersenyum.

“Nin besok aku antar kamu ke toko. Jangan lupa surat lamarannya dibawa” seru Agis.

“Emang besok kamu gak kerja Gis?” tanya Ninu.

“Besok aku shift siang, jadi bisa antar kamu dulu pagi-pagi” jawab Agis.

“Aku pake baju apa ya Gis besok?” tanya Ninu. Dia merasa tidak punya baju yang layak untuk dipakai melamar pekerjaan besok.

“Kamu punya span sama kemeja gak?” tanya Agis mengerutkan dahinya.

“Ga ada”

“Celana panjang? Tapi bukan jean?”

Ga ada juga”

“Waah… jadi apa yang kamu bawa dalam tas itu?” tanya Agis.

“Baju biasa yang aku punya. Aku kan gak pernah kerja formal Gis, jadi ya bajuku baju biasa aja” jawab Ninu pelan. Dia baru tersadar bagaimana dia akan berangkat bekerja nantinya.

“Ya sudah, aku kasih pinjam, nanti kamu bisa pake bajuku” jawab Agis tersenyum melihat wajah Ninu yang kebingungan.

“Ternyata kamu manis ya Nin pake baju itu” ucap Agis memperhatikan Ninu yang sudah siap dengan baju yang dipinjaminya. Kemeja warna putih tulang dan span biru selutut. Ninu hanya tersipu mendengarnya.

“Kita berangkat sekarang?” tanyanya sudah tak sabar.

“Iya ayo. Jangan lupa surat lamarannya, gak lucu kalau kita balik lagi karena ketinggalan itu” ucap Agis.

⚘⚘⚘⚘

Ninu baru akan memasuki perjuangan yang sebenarnya. bergulat antara kuatnya keinginan dan kencangnya godaan yang menerpa.

Terpopuler

Comments

@♕🍾⃝𝙾ͩʟᷞıͧvᷠεͣᵉᶜw⃠❣️

@♕🍾⃝𝙾ͩʟᷞıͧvᷠεͣᵉᶜw⃠❣️

semangat kerja deh buat kamu ninu ..kasian dia

2022-09-27

1

R. Yani aja

R. Yani aja

semoga diterima kerja ya, Ninu...

2022-09-13

0

☠☀💦Adnda🌽💫

☠☀💦Adnda🌽💫

semangag menggapai cita "nu💪💪

2021-06-29

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!