Seorang pemuda tampan sedang termenung di depan kolam di rumahnya. Ia melihat bayangannya sendiri di atas air. Lalu, tak lama kemudian datang seorang pria setengah baya menghampiri pria tersebut dan menepuk pelan bahunya.
"Kamu kenapa bengong di sini?" tanya Ayah Haris.
Haris yang sedang terdiam, ikut menoleh ke arah ayahnya. "ah nggak apa-apa, Yah ... hanya ingin menenangkan diri aja."
"Nanti malam, keluarga besar akan datang ... ingin melihatmu sambil makan bersama, ada kakek sama Nenek kamu juga dari pihak Ayah. kamu harus mau ikut ya." Kenapa ayah berkata seperti itu? Karena Haris selalu menolak jika ada acara keluarga. Ia tidak mau kejadian masa lalunya terulang kembali. Ia tak ingin mood nya hancur karena omongan dari keluarga besarnya itu.
"Gimana nanti deh, Yah." ujar Haris sekenanya.
"Kerjaan kamu gimana?"
"Kaya biasa aja."
Ayah ikut duduk di samping anaknya itu "kamu gak berencana buat rumah sakit di sini gitu?"
"Kalo buat bangun rumah sakit atau klinik, Haris udah punya rencana yang matang, Yah. walaupun bukan di sini, tapi Haris ingin agar orang-orang yang dari tempat terpencil bisa merasakan fasilitas yang layak." ujar Haris yang sangat bijak. Mendengar itu ayah tersenyum bangga atas sikap dewasa anaknya itu. Walaupun Haris bisa saja menduduki jabatan yang tinggi dengan instan, tapi ia malah ingin berjuang sendiri dan membantu masyarakat dengan gajinya yang tak seberapa. Walaupun di lain sisi, Haris juga mulai mengikuti jejak ayahnya sebagai pengusaha dan investor saham di beberapa perusahaan.
"Ayah bangga sama kamu, teruskan ya ... ya sudah, ayah masuk ke dalam dulu."
"Iya, Yah."
Kemudian, ayahnya itu berdiri dan mulai meninggalkan Haris sendirian. Haris pun menghela nafas panjang dan mulai merenungkan kembali. Harinya seperti biasa sunyi dan tidak bersinar seperti awal belum bertemu dengan pujaan hatinya. Saat asik termenung, tiba-tiba telpon Haris berbunyi dan menampilkan nama Fahri di sana.
"Halo, Ri?"
"Halo, Ris ... sehat lu, Bro? lu udah balik ke rumah?"
"Sehat dong ... lu juga?"
"Sama ... besok gue mau terbang ke Surabaya, ada rapat penugasan katanya."
"Oh ya? kok gue belum tahu, ya?"
"Belum dikasih tahu kali ... nanti juga ada kabarnya kok. eh iya, gue tutup dulu ya, cuma mau ngabarin itu doang hehe ... jumpa lagi di Surabaya ya."
"Iyeee ... hati-hati dah,"
Telponnya terputus. Kemudian, ponselnya berdering kembali. Tapi, itu bukan dari Fahri melainkan dari panglima yang merupakan atasan Haris.
"Selamat siang, Pak."
"Siang, Pak Haris. oh iya, Pak Haris ... sore ini ada waktu kosong?"
"Ada sih, Pak .. Kenapa ya kira-kira?"
"Nanti sore, ada pemeriksaan kesehatan penyakit campak. kami kekurangan tenaga medis untuk membantu menyuntikkan vaksin ke masyarakat, kira-kira Pak Haris bersedia bantu kami?"
Mendengar itu, Haris segera mengiyakannya. "boleh, Pak. lokasinya di mana?"
"Lokasinya di kodim, Pak. Baik, Pak Haris. terima kasih sudah bersedia bantu kami, saya tunggu kehadirannya."
"Baik, Pak."
Haris pun menutup telponnya itu. Kemudian ia melihat arah jam ditangannya sudah menunjukkan pukul 2 siang. Sebentar lagi, ia akan berangkat ke sana. Haris pun mulai berdiri dan meninggalkan kolam renang untuk segera bersiap-siap. Saat melangkah menuju kamarnya, ia mendengar suara yang sedikit berisik dari arah kamar adiknya itu. Karena penasaran Haris melihatnya di celah pintu kamar adiknya yang terbuka. Ternyata adiknya Hamzar sedang bermain game dengan Nara.
"Aduh, Bang! Jangan bantai gue dong, ah! lu gak adil banget!" protesnya pada Nara sebab selalu dikalahkan dalam game yang mereka mainkan.
"Gak adil gimana? lu nya aja gak bisa main." ejek Nara.
Mereka kembali fokus pada kegiatan gamenya. Haris melihat itu tersenyum tipis. Ia merasa senang jika Nara bisa berbaur kembali dengan keluarganya. Bahkan kedua adiknya itu sangat akur. Tak ingin mengganggu, Haris pun langsung pergi ke kamarnya. Ia langsung mengambil handuknya untuk mandi dan membersihkan diri. Setelah selesai mandi, Haris pun mengenakan pakaian biasa seperti kaos pendek dan celana jeans-nya. Serta tak lupa perlengkapan kesehatan dan jas kedokteran. Jam sudah mengarah ke angka 3. Sebagai pemanis, ia mengenakan parfum untuk menyegarkan dirinya. Lalu selepas itu, ia pun turun untuk menemui keluarganya yang ada di bawah. Haris pun mendatangi sang bunda yang sedang asik mengobrol dengan ayahnya. Melihat ayah dan bundanya sangat harmonis membuat Haris tersenyum senang.
"Yah, Bun ... Abang pergi dulu ya," pamitnya.
"Mau ke mana?" tanya Bunda. ia terheran melihat anaknya sudah rapi dengan dibalut jas putih di badannya.
"Mau ke kodim, ada pemeriksaan kesehatan. Haris dimintai tolong untuk jadi dokter di sana."
"Oh gitu ... ya sudah, tapi pulangnya jangan kemaleman ya."
"Iya ... eh Bun, Abang pinjem mobil bunda dong."
Mendengar itu, bunda menatap sang anak dengan tatapan aneh. "loh kenapa emangnya? Kamu kan punya mobil."
"Kebagusan, Bun. pakai mobil bunda yang biasa aja." gimana tidak, mobil yang Haris punya adalah Lamborghini berwarna hitam. Ia tak ingin di cap sebagai orang sombong dengan mengendarai mobil tersebut. Makanya ia meminjam mobil pada bunda agar tidak mengenakan mobilnya itu.
"Aneh kamu ... nih, sekalian isi bensin ya."
"Oke siap ... Abang pergi dulu ya,"
"Iya, hati-hati."
Haris pun berjalan ke luar rumah menuju garasi mobil. Ia memasuki mobil bermerk Innova milik bundanya yang berwarna hitam, lalu ia mengeluarkannya dengan mudah dari garasi. Kemudian, satpam di rumahnya membukakan gerbang untuk ia pergi, setelah itu Haris pun melesat pergi untuk sampai ke tempat tujuan. Setelah menempuh waktu 20 menit, akhirnya Haris telah sampai di kodim yang sudah diinfokan oleh panglima kepadanya. Setelah itu, ia memasuki kodim tersebut tapi sebelum itu ia harus menemui panglima terlebih dulu. Di sana sudah banyak masyarakat yang menunggu giliran untuk diberikan vaksin. Dan ada juga beberapa tentara Babinsa yang sedang menjaga keamanan di sana.
"Pak Haris!" panggil salah satu Babinsa tersebut.
"Eh, Pak Anto ... sehat, Pak?" sapa Haris sembari berjabat tangan.
"Alhamdulillah sehat ... ternyata Bapak udah pulang tugas ya, ke sini ada urusan?"
"Iya, Pak. saya dimintai tolong untuk membantu memberikan vaksin ke masyarakat."
"Oh gitu,"
"Ya sudah, Pak. saya izin bertemu ke panglima dulu ya."
"Iya, Pak Haris."
Haris pun meninggalkan pak Anto dan menuju ke ruang panglima. Setelah sampai, Haris pun mengetuk pintu berulang kali dan mulai memasuki ruangan tersebut.
"Pak Haris, akhirnya datang juga."
"Iya, Pak."
"Ayo, saya antar ... sekalian memberitahu tempat duduk Pak Haris."
"Baik, Pak."
Mereka berdua sekarang berangkat menuju pos kesehatan. Di sana sudah ada banyak dokter yang mulai menangani masyarakat. Tapi mayoritas di sana adalah dokter perempuan yang masih muda. Di sana juga ada beberapa perawat yang mendampingi para dokter. Tapi, haris meminta agar ia sendirian saja tidak ingin di dampingi siapapun, dan itu disetujui oleh panglima.
"Halo ... permisi semuanya! Agar antrian tidak panjang kalian bisa periksa di meja sini ya." ujar panglima pada masyarakat. Masyarakat yang ada di sana seketika antusias apabila melihat Haris yang tampan sudah duduk di meja pemeriksaan tersebut.
"Ih, ganteng banget."
"Di sana yuk,"
"Ayo-ayo."
Semua perempuan berbondong untuk berpindah tempat dan memilih meja Haris untuk diperiksa. Haris yang melihat antusiasme masyarakat hanya bisa tersenyum. "Harap tunggu sebentar ya," ujar Haris ramah. Kemudian, ia memeriksa satu persatu dan menyuntikkan vaksin kepada masing-masing orang.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 6 sore dan hampir Memasuki waktu Maghrib. Semua masyarakat sudah pulang, dikarenakan penyuntikkan vaksin sudah selesai. Tersisa hanya para dokter, perawat dan Babinsa yang sedang beristirahat. Haris pun sibuk dengan membereskan peralatan kedokterannya. Ia bahkan mengumpulkan sampah suntikan agar tidak dibiarkan berantakan dan akan dibuangnya ke tempat khusus.
"Halo, Pak Haris."
Tiba-tiba ada seseorang yang duduk di samping Haris. Dan itu membuat Haris sedikit terkejut "ada apa ke mari?"
"Eumm ... saya ingin temani bapak aja sih, soalnya bapak sendirian terus dari tadi. "
Haris menatap dingin perawat tersebut "saya tidak butuh temani." lalu Haris membawa barang-barangnya dan pergi begitu saja meninggalkan gadis itu. Melihat sikap dinginnya Haris, perawat cantik itu sedikit terkejut. Niat ingin pdkt sama dokter tampan tapi malah gagal total. Setelah izin ke panglima, akhirnya Haris diizinkan untuk pulang ke rumah. Sebelum itu, ia beli jajanan untuk keluarganya terlebih untuk adik-adiknya. Dan ia pun melesat pergi untuk langsung pulang ke rumah.
***
Suasana rumah Haris kian ramai, dikarenakan para anggota keluarga sudah berkumpul. Ini lebih banyak dari biasanya. Tak hanya dari pihak bunda, ternyata dari pihak ayahnya pun ternyata pada hadir dalam acara makan malam tersebut. Di sana juga ramai dengan anak-anak kecil yang bermain di sekitaran rumah.
"Ayman.. anakmu kemana? Jam segini kok belum pulang" ujar pria yang berambut hampir putih seluruhnya.
Nama ayah Haris adalah Ayman Gunawangsa Ahyari. Ia merupakan anak pertama dari 4 bersaudara. Yang bertanya padanya itu adalah ayah Ayman dan merupakan kakeknya Haris yang bernama Hendra Gunawangsa.
"Dia lagi ada urusan diluar pa.. bentar lagi juga dia pulang"
"Oh iya, Haris udah punya calon istri belum? Masa udah umur 28 tahun belum menikah juga." ujar Hendra kakek Haris.
"Eumm ... itu urusan putraku, Pa. aku tidak ingin ikut campur urusan asmara anakku. kalau ingin tahu alasannya, tanya saja sama anaknya sendiri." ujar Ayman yang memang tidak ingin mengurusi urusan pribadi anaknya. Ayman percaya anaknya memiliki keputusannya sendiri untuk melangsungkan hidupnya.
Terlebih Hari mengerti jika Haris belum bisa move on dari kekasihnya di masa lalu. Jadi, ia tak ingin membuat hubungannya retak hanya karena persoalan tentang menikah.
Makan malam pun telah siap dihidangkan, semua anggota keluarga duduk di masing-masing kursi. Banyak wajah baru di sana. Dikarenakan jarang sekali berkumpul sehingga tidak mengenal satu sama lain.
"Haris di mana, San? Kok, belum datang juga?" tanya seorang wanita tua yang diketahui ibu dari Ayman. Ia bertanya pada bunda yg merupakan menantunya. Nama bunda adalah Santi Amalia.
"Nanti juga datang, oh itu dia anaknya, Abang! Sini sayang!"
Semua mata tertuju pada seorang pemuda yang baru saja memasuki rumah dengan membawa beberapa bingkisan dari luar.
"Halo semua," sapa Haris yang harus ramah. Sebenarnya ia malas bertemu dengan keluarga besarnya, tapi ini adalah permintaan keluarganya jadi mau tidak mau ia harus ikut.
"Halo, Bro." ujar Haris saat memeluk tubuh sepupu-sepupunya yang cowok. Rata-rata mereka sudah pada menikah dan memiliki anak. Hanya tinggal Haris seorang diantara mereka yang belum menikah.
"Bang! Duduk di sini deket gue." ujar Nara. Ternyata Nara pun ikut memeriahkan acara tersebut dan membuat Haris sedikit senang.
"Ayo, semuanya dimakan." makan malam pun dimulai dengan sangat baik. Mereka membahas tentang yang mereka alami, dan bertukar cerita. Sementara Haris hanya terdiam dan banyak mendengarkan mereka.
Setelah selesai makan malam, semua keluarga berkumpul di ruang tengah. Semua orang-orang dewasa tengah mengobrol satu sama lain, sementara untuk mengawasi anak-anak ada para ibu muda yang tengah mengajak anak-anak tersebut bermain bersama.
"Haris ... kakek mau nanya serius sama kamu."
Jantung Haris seketika berdetak kencang "soal apa?"
"Kamu sekarang sudah berumur 28 tahun, kapan kamu berencana untuk menikah?"
Mendengar itu, semua anggota keluarga terdiam. Terutama bunda Haris yang syok akan pertanyaan dari ayah mertuanya.
"Kenapa emangnya?"
"Lihat itu sepupu-sepupu kamu sudah memiliki istri, sedangkan kamu masih sendiri ... mau sampai kapan begini?"
Haris menatap kakeknya dengan tatapan tidak suka. Akhirnya hal yang ia tak ingin dengar, kemudian diungkit kembali "bukannya kakek sudah tahu jawabanku, ya? aku tidak ingin menikah!" Ujar Haris dengan tegas. Semuanya syok terutama kakek dan neneknya. Tapi, neneknya masih bisa menerima keputusannya. Sementara kakek menatap tajam cucunya ini.
"Apa yang kamu maksudkan ini? Otakmu di mana?! Jika kamu tidak menikah, gimana kamu bisa dapat keturunan, hah?!" seru kakeknya marah.
Haris menatap kakeknya dengan santai, "menikah itu bukan hanya untuk mendapatkan keturunan ... tapi juga kenyamanan batin, siap hidup bersama dengan kendala apapun. aku belum siap dengan semua itu."
Nara yang mengetahui maksud Haris tidak ingin menikah hanya tertunduk sendu. Hendra menggeram marah akan melakukan Haris "kalau begitu kelakuanmu, kakek akan menjodohkan kamu dengan teman ayah kamu!" paksa kakek dengan secara tiba-tiba.
Lagi-lagi Haris terlihat marah pada kakeknya tersebut "atas dasar apa kakek ingin menjodohkanku? Aku punya kehidupan pribadi ... mau menikah kek, nggak kek, itu semua urusanku!"
"Sudahlah! Ini yang aku tidak suka dengan adanya perkumpulan keluarga bodoh ini ... Membahas yang tidak penting! Diingatkan kembali, aku tidak ingin dijodohkan dengan siapapun!!" geram Haris marah dan ia pun langsung pergi meninggalkan perkumpulan keluarga tersebut. Haris dan kakeknya sama-sama keras kepala, Jika berbeda pendapat, seperti inilah jadinya.
"Haris!!!" Panggil kakeknya marah.
"Kurang ajar anak itu ... lihat anak kamu itu, Gak ada sopan-santunnya sama orang tua."
Ayman sebagai ayah dari Haris tak terima anaknya diperlakukan seperti itu, "cukup, Pa!! Haris seperti itu juga karena papa yang terlalu memaksakan dia! Coba papa lebih mengerti anakku."
"Kamu sebagai ayah seharusnya tegas sama anakmu sendiri." ujar salah satu adiknya.
Mendengar ucapan adiknya itu, Ayman mulai meradang. "Seharusnya ucapanmu itu hanya untukmu sendiri, Bodoh. Anakmu juga terjerat kasus narboka, jadi apakah itu mencerminkan ayah yg baik?" ujar Ayman menohok. Sang adik tiba-tiba terdiam saat kakaknya membalas dengan tajam.
Suasana kian memanas, sementara anak-anak muda seperti Hamzar dan Nara lebih baik mengundurkan diri dan meninggalkan perkumpulan tersebut.
"Gimana nih, Bang?" tanya Hamzar berbisik.
"Gue juga gak tahu ... kita ke Bang Haris aja,"
"Ayo ..."
Di dalam kamar, Haris hanya bisa terdiam sembari mengatur nafasnya agar ia tak kehilangan kendali. Sembari memegangi sebuah foto album kecil dan menempelkannya ke dada.
"Sampai kapanpun aku tak ingin menikahi gadis manapun!" tegas Haris marah.
"Bang,"
Haris menoleh pada sumber suara, ternyata itu adalah Nara dan adiknya Hamzar. Hamzar dengan cepat duduk di dekat abangnya itu.
"Abang ... Hamzar tahu kok, Abang marah sama kakek, aku juga gak suka kalo kakek ngomong gitu soal Abang." lirih adik kecilnya itu.
Haris tersenyum tipis dan mengacak rambut adiknya itu. Hamzar melihat sebuah foto yang Haris pegang lalu ia mengambilnya. Itu merupakan foto Nahda saat ia masih SMA.
"Kenapa kak Na, ninggalin kita ya, Bang? aku juga sayang sama kak Na. aku gak mau kalo Abang menikah selain sama kak Na." ujar adiknya dengan mata yang berkaca-kaca.
Mereka berdua saling memeluk satu sama lain. Melihat itu Nara semakin tidak enak hati atas apa yang terjadi.
"Bang, maafin gue ya..."
Seketika itu, Haris dan Hamzar terkejut.
"Minta maaf soal apa?"
"Andai lu gak punya hubungan dengan kakak gue, pasti lu gak bakal kena masalah seperti ini. gue tahu lu belum move on dari dia. dan itu pasti penyebab masalah dalam hidup lu, kan?gue minta maaf, Bang." ujar Nara yang merasa bersalah.
Haris menghela nafasnya. Lalu ia pun berdiri di hadapan adik kekasihnya itu. "Ini bukan salah lu, atau salah dia ... ini salah gue sendiri. keluarga gue emang gitu, terlalu memaksa ... makanya, gue menghindar dari acara keluarga tuh gitu. dan keputusan gue gak mau menikah memang sudah gw pikirkan matang-matang bahkan sebelum gue ketemu sama Nahda. tapi, semua itu berubah saat gue ketemu sama dia dan gue bermimpi supaya gue bisa menikah sama dia. tapi takdir berkata lain, jadi gue kembali ke keputusan gue yang awal." jelas Haris panjang lebar pada Nara. Mendengar itu Nara hanya terdiam. Lalu Haris menenangkan Nara agar tidak berpikiran buruk tentang dirinya sendiri.
"Udahlah ... dari pada berlarut, ayo kita main game."
"Aku gak mau ah ... apaan, Bang Nara yang menang terus." keluh Hamzar sembari memicingkan matanya ke arah Nara.
Nara tersenyum mengejek, "itu karena lu gak jago main game,"
"Ish ..."
"Yaudah.. Ra, kita tanding bola."
"Woke, Bang ..."
Mereka pun akhirnya bermain game bersama. Mungkin di bawah masih berdebat, tapi itu tak membuat Haris pusing. Justru mereka bertiga melakukan kegiatan agar tidak menghancurkan mood mereka masing-masing. Mereka juga memakan makanan yang Haris beli dari luar tadi, jadi tidak usah kebawah lagi hanya untuk mengambil cemilan dan minuman. Semuanya telah tersedia.
"Ye, menang ... huuuoo!! Akhirnya gue bisa menang dari lu, Bang!"
Sementara Hamzar menatap kesal abangnya "huh, payah!" ejeknya. Sementara Haris menoyor kepala adiknya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments