Langkah Pertama di Medan Perang

“Eh,” bisik seorang dayang yang baringnya tak jauh dari ranjang pojok, “besok subuh jam ayam ketiga sudah harus bangun. Jangan sampai telat, nanti dicatat.”

Yu Zhen menoleh sedikit. “Untuk apa?”

“Pembagian tugas,” jawab gadis itu, menopang dagu di atas bantal tipisnya. “Pengawas bakal keliling langsung. Semua harus kumpul di halaman barak.”

Yu Zhen mengangguk kecil. “Setiap hari seperti itu?”

“Nggak juga. Tapi besok agak penting. Sudah dua bulan ini belum ada penempatan tetap. Kita semua masih acak tugas. Masih dianggap tahap awal.”

“Termasuk yang masuk duluan?”

“Termasuk Shuang Mei,” jawabnya pelan. “Dia memang lebih dulu datang, tapi tetap belum dapat posisi tetap. Tapi ya... karena dia cepat akrab sama pengawas, banyak juga yang dengar omongannya.”

Yu Zhen tidak menjawab. Hanya mendengarkan sambil menarik selimutnya sedikit lebih rapat.

“Aku Qin’er, ya,” lanjut gadis itu. “Kalau kamu… Yu Zhen, kan? Namamu tadi disebut waktu pendaftaran.”

Yu Zhen mengangguk. “Iya.”

Qin’er tersenyum kecil, meski samar karena pencahayaan. “Nanti kalau kamu bingung, tinggal tanya aku aja. Di barak ini... banyak yang senyum manis, tapi nggak semua mau bantu.”

Yu Zhen menoleh perlahan. Tatapan matanya tidak curiga, hanya datar dan jernih. Ia mengangguk pelan, tanda mengerti.

“Besok pasti melelahkan,” gumam Qin’er. “Tapi... ya beginilah hari-hari kita mulai.”

Suara-suara di tengah ruangan mulai mereda. Satu per satu lampu minyak ditiup perlahan, menyisakan cahaya redup dari sudut terjauh. Angin dari celah jendela menyusup pelan, membawa bau kayu basah dan debu tipis khas bangunan tua yang terlalu bersih untuk jujur.

Malam itu, Yu Zhen hanya berbaring diam.

Bukan tidur… hanya memejamkan mata sambil mendengarkan napas orang lain dan bunyi waktu yang merayap pelan di dinding-dinding istana.

Ia tahu, besok pagi bukan sekadar hari pertama bekerja.

Tapi mungkin—langkah pertama menuju medan yang lebih besar dari dirinya.

Fajar belum benar-benar menyingsing ketika suara langkah cepat terdengar dari lorong depan. Lalu… suara ketukan keras pada pintu utama barak.

“Bangun! Semuanya bangun!” teriak suara dari luar. “Jam ayam ketiga sudah lewat!”

Terdengar erangan panjang dari berbagai sisi ruangan.

“Astaga… aku baru merem…” gumam salah satu dayang dari ranjang tengah, menyelimuti wajahnya dengan bantal.

“Eh! Jangan ketiduran lagi! Nanti namamu dicatat!” bisik tajam dari ranjang atasnya, sambil menyikut kaki si pemalas.

Di dekat dinding barat, suara kain tergesek cepat terdengar. Seseorang menabrak tiang ranjang sambil menyambar ikat pinggang dari gantungan bambu.

“Aduh! Siapa naruh sepatu di tengah jalan!” omel pelan yang lain, nyaris jatuh karena kesandung.

Qin’er bangun lebih tenang. Ia duduk di atas tikar, membenarkan sanggul kasarnya sambil menoleh ke arah Yu Zhen.

“Zhen? Sudah bangun?” bisiknya pelan.

Yu Zhen sudah duduk tegak di ranjang. Rambutnya belum ditata, tapi wajahnya sudah bersih, dan matanya tidak menunjukkan kantuk sama sekali.

“Iya,” jawabnya pendek.

Qin’er tersenyum kecil, lalu bangkit mengambil seragam kerja—kain abu pucat dengan pinggiran biru kelabu yang seragam untuk semua dayang.

Sementara itu, di sisi lain, satu dayang sibuk menekan wajahnya dengan tangan.

“Duh... bekas bantalnya masih nempel di pipi... kelihatan nggak?”

Yang lain menatapnya datar. “Kau kira kita ini mau tampil di hadapan kaisar?”

“Siapa tahu! Siapa tahu nanti dikirim ke dapur selir Xuan! Katanya pengawasnya perfeksionis!”

Yu Zhen berdiri, membuka buntalan kecil berisi sabun kayu dan sisir. Tangannya cekatan. Ia tidak terlihat terburu-buru, tapi jelas tidak ingin ketinggalan.

“Kalau kamu butuh bantu ngancingin belakangnya, sini,” tawar Qin’er sambil mengenakan sabuk kainnya.

Yu Zhen mengangguk, membalikkan badan.

“Seragam dayang ini selalu sempit di bagian punggung,” gumam Qin’er sambil memasangkan kancing terakhir. “Nggak tahu siapa yang desain.”

“Supaya nggak kabur cepat kali,” sahut salah satu yang mendengar, setengah bercanda.

“Pintunya aja dijaga tiga lapis. Siapa yang bisa kabur?”

“Makanya jangan telat, daripada ‘kabur’ ke halaman hukum.”

Beberapa tertawa kecil. Pelan, tertahan. Tapi cukup untuk menghangatkan ruangan yang semula hanya berisi desahan malas dan suara air di baskom.

Akhirnya, satu per satu, mereka keluar dari barak—berderet rapi, berjalan cepat namun sunyi, hanya terdengar suara kain yang bergesekan dengan sandal kayu.

Langit masih berwarna kelabu tua. Embun belum turun, tapi udara pagi membawa dingin yang menggigit. Di halaman barak barat, puluhan dayang sudah berdiri membentuk formasi memanjang, menunggu aba-aba dari pengawas.

Yu Zhen berdiri di barisan belakang. Qin’er di sampingnya.

Suasana mendadak menjadi tegang saat sosok pengawas muncul dari balik gerbang kayu.

Kaki mereka berhenti serempak.

Wajah Yu Zhen tampak tetap tenang, tidak terlihat cemas. Tapi di balik semua itu, hatinya belum benar-benar bisa menerima dunia barunya ini.

Tempat ini dingin. Bukan karena suhu pagi, tapi karena atmosfernya terasa… tajam. Sunyi seperti tebing tinggi—siapa pun bisa jatuh sewaktu-waktu.

Langkah-langkah dari arah barat terdengar. Suara sandal resmi menghantam batu bata dengan irama lambat dan mantap. Pengawas dayang utama muncul, diikuti dua pelayan dan seorang pengawal bertubuh besar.

Suasana mendadak membeku.

“Su Ping,” panggil pengawas dengan nada yang tak menyisakan ruang keraguan.

Di barisan tengah, seorang gadis gemetar melangkah maju. Wajahnya masih belum sepenuhnya sadar dari kantuk, matanya sembab, rambutnya sedikit miring dari sanggul.

“Hamba…”

“Baru seminggu bertugas, sudah membuat pelayan dapur menunggu setengah jam?”

“Hamba hanya... saat itu ada tugas dari—”

“Diam.” Suara pengawas tak naik satu oktaf pun, tapi mampu mematikan semua suara lain.

Yu Zhen menatap ke depan. Tidak berekspresi. Tapi di dalam, hatinya seperti ikut tercekat.

Su Ping terlihat terlalu muda. Masih tampak seperti gadis desa yang belum sempat belajar menyembunyikan rasa panik.

“Hukuman: tiga puluh kali menyikat tangga belakang istana utama. Dan tugas luar ruangan selama seminggu. Mulai hari ini.”

Su Ping membungkuk dalam-dalam. Tidak menangis, tapi tubuhnya gemetar.

Sebelah kanan Yu Zhen, Qin’er berbisik, “Itu hanya karena telat antar bahan dapur. Beneran cuma telat…”

Yu Zhen tak menjawab. Matanya menatap lurus, tapi jantungnya menegang. Ia tidak kenal Su Ping, tapi melihatnya berdiri seperti itu—sendirian, gemetar, dicatat namanya di depan semua orang—ada sesuatu di dalam dirinya yang berdenyut.

Ia pernah merasa begitu. Saat keluarganya dihina karena miskin. Saat ibunya dicibir karena terlalu lembut. Saat ayahnya dicap bodoh karena terlalu jujur.

Ia tahu betul: rasa malu tak bersuara itu... bisa mengguncang siapa pun.

Namun ia tidak boleh menunjukkan simpati. Bukan di tempat ini secara langsung.

Kalau ia memeluk yang luka, maka ia pun akan ditarik masuk.

Dan ia belum siap jatuh.

Suara daftar tugas mulai dibacakan. Satu demi satu nama disebut. Yu Zhen mendengarkan, tapi tidak menyimak. Ia sedang menenangkan dirinya sendiri. Menegakkan pertahanannya kembali. Menyembunyikan kelembutan yang nyaris retak barusan.

Lalu namanya disebut.

“Yu Zhen, jalur luar kandang kuda. Dari gerbang timur sampai pagar belakang.”

Ia melangkah ke depan. “Baik.”

Tidak ada keraguan di suaranya. Tidak ada perubahan pada wajahnya.

Namun di belakang sana, Qin’er nyaris membelalak.

“Kandang kuda… di hari pertama? Untuk orang sekurus dia?”

Yu Zhen mendengarnya. Tapi ia tidak menoleh. Wajahnya tetap datar. Kalau pun itu bentuk ketidakadilan, ia tak akan langsung mengeluh.

Tapi seseorang di barisan tengah justru tersenyum tipis. Shuang Mei—dengan tangan terlipat rapi di depan perut dan dagu sedikit miring ke kiri.

Senyumnya tampak manis.

Tapi bukan senyum orang yang terkejut.

Melainkan… senyum orang yang menunggu hasil.

Terpopuler

Comments

Arix Zhufa

Arix Zhufa

semangat thor

2025-04-28

0

lihat semua
Episodes
1 Padahal Baru Hari Pertama
2 Langkah Pertama di Medan Perang
3 Jejak di Kandang Kuda
4 Pertamakalinya Dilindungi Seorang ... Pria
5 Sabotase Dibalik Parade
6 Yang Dipeluk Bukan Kuda
7 Kepolosan Yang Mengguncang
8 Rencana C Pangeran Pertama
9 Dijagai Pangeran Keempat
10 Asap Sup Mengepuli Rasa Cemburu
11 Untaian Senyum Sekilas
12 Panggilan dari Langit Kekaisaran
13 Dekrit Kaisar di Malam Hari
14 Proyek Pembangunan Pos Lembah Utara
15 Bunga Liar Mekar dalam Dua Hari
16 Langkah Pertama di Istana Harem
17 Phoenix Dalam Guci
18 100 Cambukan? Pembunuhan!
19 Jaga Dia Untukku
20 Harus Jadi Teman Nyonya
21 Kalau Minum Ini Besok Masih Hidup Ga?
22 Cinta Masa Muda Ibunda
23 Malam Milik Dua Orang Tua
24 Kuasa Bukan Berarti Kekuatan
25 Mengkhianati Pusat, Menjual Tanah Air
26 Kemana Arus Kas Dengan Pemasukan Sebesar Ini Hilang?
27 Bumerang Dua Skandal Wanita
28 Hukuman Berat
29 Ide Gila Yu Zhen Di Tengah Kepanikan
30 Perhitungan Dingin, Tumbal Ji'an
31 Festival Kue Bulan Yang Gagal
32 Jebakan Pangeran Keempat
33 Bukti dan Saksi Kunci Yang Lengkap
34 Tahta Untuk Melindungi, Bukan Menundukkan
35 Kejutan Keadilan Untuk Lembah Utara
36 Saling Merindukan
37 Kepulangan Putra Keempat
38 Senyuman dan Tatapan Rindu
39 Penyebaran Yang Tak Terduga
40 Cinta Atau Politik, Politik Atau Cinta
41 Apakah Ini Patah Hati
42 Kau Tak Apa?
43 Rival Untuk Menebali Perasaan Yang Kabur
44 Jadi Apa Maumu Tuan?
45 Ling Xi Si Cerdik
46 Pengakuan Jing Rui
47 Janji Manis Rong Jing Rui
48 Hiatus Sampai Mood
Episodes

Updated 48 Episodes

1
Padahal Baru Hari Pertama
2
Langkah Pertama di Medan Perang
3
Jejak di Kandang Kuda
4
Pertamakalinya Dilindungi Seorang ... Pria
5
Sabotase Dibalik Parade
6
Yang Dipeluk Bukan Kuda
7
Kepolosan Yang Mengguncang
8
Rencana C Pangeran Pertama
9
Dijagai Pangeran Keempat
10
Asap Sup Mengepuli Rasa Cemburu
11
Untaian Senyum Sekilas
12
Panggilan dari Langit Kekaisaran
13
Dekrit Kaisar di Malam Hari
14
Proyek Pembangunan Pos Lembah Utara
15
Bunga Liar Mekar dalam Dua Hari
16
Langkah Pertama di Istana Harem
17
Phoenix Dalam Guci
18
100 Cambukan? Pembunuhan!
19
Jaga Dia Untukku
20
Harus Jadi Teman Nyonya
21
Kalau Minum Ini Besok Masih Hidup Ga?
22
Cinta Masa Muda Ibunda
23
Malam Milik Dua Orang Tua
24
Kuasa Bukan Berarti Kekuatan
25
Mengkhianati Pusat, Menjual Tanah Air
26
Kemana Arus Kas Dengan Pemasukan Sebesar Ini Hilang?
27
Bumerang Dua Skandal Wanita
28
Hukuman Berat
29
Ide Gila Yu Zhen Di Tengah Kepanikan
30
Perhitungan Dingin, Tumbal Ji'an
31
Festival Kue Bulan Yang Gagal
32
Jebakan Pangeran Keempat
33
Bukti dan Saksi Kunci Yang Lengkap
34
Tahta Untuk Melindungi, Bukan Menundukkan
35
Kejutan Keadilan Untuk Lembah Utara
36
Saling Merindukan
37
Kepulangan Putra Keempat
38
Senyuman dan Tatapan Rindu
39
Penyebaran Yang Tak Terduga
40
Cinta Atau Politik, Politik Atau Cinta
41
Apakah Ini Patah Hati
42
Kau Tak Apa?
43
Rival Untuk Menebali Perasaan Yang Kabur
44
Jadi Apa Maumu Tuan?
45
Ling Xi Si Cerdik
46
Pengakuan Jing Rui
47
Janji Manis Rong Jing Rui
48
Hiatus Sampai Mood

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!