"*Hallo...."
"Hallo, An,"
"Mas, maafkan aku, sungguh mas, kumohon maafkan aku*," begitu mengetahui Ardian menghubunginya seketika itu juga Ana meminta maaf.
"*Hentikan An, cukup!"
"Tidak mas, aku akan terus meminta maaf sampai kau memaafkanku. Sampai kau mengurungkan niatmu untuk membatalkan rencana pernikahan kita, mas*," Ana merengek. Bulir bening mulai menetes membasahi pipinya.
"Aku tidak akan membatalkan pernikahan ini," ucapan Ardi seketika membungkam Ana.
Ana menutup mulutnya, ia mengernyitkan dahinya. Benarkah dengan apa yang aku dengar tadi, pikirnya. Ana bingung sekaligus bahagia.
"*An, Ana?"
"Eh, iya mas*," panggilan Ardian kembali menyadarkan Ana.
"*Kau mendengarku?"
"Iya, mas. Aku mendengarmu. Mas?"
"Apa*?" sahut Ardian ketus.
"Benarkah ucapanmu tadi? Benarkah kau akan melanjutkan rencana pernikahan kita, mas? Apa aku tidak salah dengar, mas?" Ana melempar pertanyaan bertubi-tubi pada Ardian.
"Heem," sahutnya singkat.
"Terima kasih mas, terima kasih banyak. Aku sangat bahagia mendengarnya. Aku berjanji padamu, mas. Aku akan selalu menuruti segala perintahmu, aku akan selalu setia mendampingimu, bahkan aku rela jika kau memperlakukanku seperti seorang budak bagimu, mas," Ana berucap panjang lebar diiringi cucuran air mata yang semakin deras.
"Aku akan menemuimu, mas. Kau ada dirumah, kan?" sambungnya.
"Tidak perlu," sahut Ardian cepat.
"Tapi...." ucapannya terputus karena Ardian memotongnya.
"Aku hanya ingin menyampaikan hal itu," ucapnya. "Tidak usah datang menemuiku," sambung Ardian.
Ardian lalu menutup panggilannya tiba-tiba tanpa mengucapkan kalimat perpisahan seperti biasa.
Ana terkejut dengan sikap Ardian yang tak seperti biasanya. Ana yakin Ardian masih belum memaafkannya. Ana sangat menyesali perbuatannya yang telah menyakiti hati pria yang selama dua tahun ini mengisi hidupnya, mewarnai hari-harinya.
Disisi lain Ana merasa bahagia, ia sangat bersyukur Ardian mau mengurungkan niatnya dan memilih melanjutkan rencana pernikahan mereka.
Sementara Ardian masih berdiri di balkon kamarnya. Ada sedikit keraguan dihatinya saat ia menghubungi Ana tadi. Ia sangat frustasi dihadapkan pada pilihan sulit ini.
Ardian terpaksa melanjutkan rencana pernikahan mereka, walaupun hatinya sangat terluka. Ia melakukan ini semata-mata demi keluarganya. Demi kedua orang tuanya.
Ia menengadahkan kepalanya, menghirup aroma khas udara malam hari. Ia menutup matanya, menikmati semilir angin yang berhembus menerpa wajahnya. Perlahan air matanya menetes.
Sudah benarkah keputusan yang kuambil ini? Bahagiakah hidupku nanti?
Ibu Marissa baru saja membaringkan tubuhnya diranjang saat Pak Haris menghubunginya. Beliau bangun dan segera meraih ponsel di atas nakas tersebut. Setelah mengakhiri perbincangannya dengan Pak Haris, Ibu Marissa melangkah mendekati Ayah yang saat ini sedang duduk disofa kamar sambil menghadapi sebuah laptop.
"Yah," ibu duduk disamping ayah.
"Ada apa, istriku?" ayah segera menutup laptopnya dan menatap wajah wanita disampingnya ini.
"Tadi Pak Haris menghubungi ibu,"
"Oh, ya? Ada apa Pak Haris menghubungi ibu malam-malam seperti ini?" tanya Ayah.
"Beliau mengatakan Ardian akan kembali melanjutkan pernikahan ini. Ardian langsung yang menghubungi Ana tadi," Ibu menjelaskan pada Ayah.
"Baguslah, itu berarti Ardian sudah memaafkan Ana," sahut Ayah sembari tersenyum.
Ibu hanya diam, beliau tak menanggapi ucapan suaminya tadi. Keningnya berkerut seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Ibu kenapa diam?"
Ibu segera tersadar dari lamunannya, sembari menatap wajah suaminya beliau tersenyum paksa.
"Semoga saja, yah," jawab ibu.
"Ibu sepertinya tidak suka mereka kembali melanjutkan pernikahan ini?" tanya Ayah, beliau menatap tajam istrinya.
"Bukan tidak suka, yah," ibu menghela nafas kasar. "Hanya saja,"
"Hanya saja apa, bu?" tatapan Ayah semakin tajam.
"Ibu hanya takut Ardian terpaksa menjalani keputusan yang ia ambil ini," jawab ibu, Ayah menatap ibu dengan heran.
"Ibu tahu bagaimana sifat Ardi, bila diberi pilihan, maka ia akan memilih kebahagiaan keluarga walaupun ia sendiri tidak merasakan kebahagiaan itu," sambung ibu.
Perlahan air matanya menetes. Isakannya mulai terdengar di telinga ayah. Ayah segera meraih tubuh ibu dan memeluknya.
" Ardian sudah dewasa, bu. Ayah yakin ia tidak akan gegabah dalam mengambil keputusan, karena dia adalah putra kita," bisik Ayah ditelinga ibu, Ayah menepuk-nepuk bahu ibu, mencoba meredakan tangisnya.
"Ibu harap ayah benar," jawabnya.
******
Sudah empat hari ini sikap Ardian berubah. Ia tidak lagi humoris seperti biasanya. Sikapnya dingin, tidak sehangat hari-hari biasanya.
Setiap pagi Ardi akan selalu menjahili adiknya, entah memercikkan air dingin kewajahnya, melemparkan ular mainan kedalam selimutnya, atau kebiasaan yang sering adalah mengganti jam alarmny.
Ibu semakin heran saat Ardian tak lagi mengucapkan kata-kata penyemangat di pagi hari. Seperti selamat pagi ibuku tersayang, wahai makhluk Tuhan yang terindah, atau sekedar tersenyum pun tidak.
Malam ini ibu berniat mengajak Ardian berbicara dari hati ke hati.
Tok tok tok
Ibu mengetuk pintu kamar Ardian. Ardian yang saat ini hampir memejamkan matanya pun terbangun.
Krreeett
Pintu terbuka menampilkan sesosok pria berusia 25 tahun yang sangat tampan.
"Boleh ibu masuk?" tanya ibu.
"Masuk saja, bu," sahutnya sembari menampilkan seulas senyum.
"Kamu belum tidur?" tanya ibu.
"Belum, ini buktinya Ardi masih bisa membukakan pintu untuk ibu," sahutnya.
Mereka duduk di sofa kamar itu. Ibu tersenyum, beliau kemudian menepuk pahanya. Ardian yang paham maksud ibu segera merebahkan tubuhnya dan meletakkan kepalanya dipaha ibu.
Ibu mengusap rambut putranya itu dengan lembut. Dicurahkannya segala kasih sayangnya saat ini. Mata Ardian terpejam merasakan belaian lembut tangan ibu dirambutnya.
"Kamu ingat tidak, kapan terakhir kali kita seperti ini?" tanya ibu, tangannya masih setia mengusap rambut Ardian sementara matanya menatap wajah sang anak.
Ardian tampak berpikir, dahinya berkerut.
"Eeemm, seingat Ardi waktu SMA deh, bu," jawabnya.
"Kamu benar, waktu itu kamu menangis karena diputusin sama pacar kamu, si Lisa kakak kelas kamu itu, kan?" ibu mengingat momen tersebut.
Ardian terkekeh geli, ia kembali mengingat kenangan saat kekasihnya yang notabene kakak kelasnya itu memutuskan hubungan cinta mereka.
Air mata ibu menetes, jatuh mengenai wajah Ardian. Ardian terkejut dan segera bangun dari posisinya tadi.
Ia menatap wajah ibu, isakan kecil ibu mulai terdengar.
"Bu, ada apa? Mengapa ibu menangis?" tanyanya heran.
"Ibu merindukan suara tawamu, ibu merindukan keceriaanmu, bahkan adikmu merindukan kejahilanmu," tutur ibu.
"Melihat perubahan sikapmu selama beberapa hari ini sungguh melukai hati ibu, Di," sambung ibu, tangisnya masih setia menemani.
Ardian meraih tangan ibunya, diletakkannya telapak tangan ibu di pipinya. Dirasakannya kehangatan telapak tangan wanita yang telah melahirkannya tersebut.
Perlahan Ardian terisak, air mata mengalir membasahi pipinya. Ia merasa berdosa dan menyesal karena telah membuat hati ibunya terluka.
"Maafkan Ardi, bu," pintanya. "Maafkan Ardi jika melukai hatimu, bu," lanjutnya.
Ibu mengusap air mata Ardian dengan ibu jarinya. Tangisnya mulai reda.
"Apakah kau bahagia dengan keputusanmu?" tanya ibu.
"Aku tidak tahu bu,"
"Apakah kau masih mencintainya?" tanya ibu lagi.
"Aku juga tidak tahu, bu,"
"Kalau kau ragu, maka batalkan pernikahan ini," ucap ibu.
"Aku tidak bisa, bu," ucap Ardian lirih.
"Mengapa tidak bisa?" tanya ibu. Ardian hanya terdiam tak mampu menjawab.
"Katakan mengapa kau tidak bisa membatalkannya?" tanya ibu memaksa.
Ardian tertunduk, ia hanya menggelengkan kepala. Ia sungguh tak mampu menjawab pertanyaan ibunya.
"Di, dengarkan ibu,"
Ardian mendongakkan kepala, kembali menatap wajah ibunya.
"Pernikahan adalah hal yang sangat sakral. Ibu tidak ingin melihatmu menjadi sosok suami jahat yang mengabaikan istrinya karena kesalahan di masa lalunya. Ibu tidak ingin kau berdosa karena menyakiti hati istrimu. Ibu ingin melihatmu bahagia dengan pilihanmu. Apapun keputusanmu ibu dan ayah akan mendukungnya asal itu bisa membuatmu bahagia. Jangan mengambil keputusan yang hanya bisa membahagiakan orang lain tapi kau malah terluka. Ibu akan sangat bersedih bila melihatmu seperti ini, kau seperti kehilangan cahaya hidupmu. Jadi ibu mohon padamu, berbahagialah, selama kau bahagia kami pun sama bahagianya denganmu," sambil berurai air mata ibu mengucapkan kalimat tersebut.
Ardian semakin terisak. Ibu benar, keputusan yang diambilnya saat ini hanya menyakiti dirinya. Tapi ia sudah bertekad akan tetap melanjutkan pernikahan ini.
******
Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Ana. Beberapa hari ini Ana selalu menghubunginya, mencoba untuk kembali menarik perhatiannya, mencoba untuk kembali memperbaiki hubungan yang sudah retak, bahkan sebenarnya hancur.
Selama beberapa hari itu pula Ardian tak pernah menanggapinya dengan serius. Ia hanya menganggapnya angin lalu. Melihat perubahan sikap Ardian tentunya membuat Ana kecewa.
Tapi Ana yakin, selama Ardian mau menikah dengannya maka ia pasti bisa mendapatkan hatinya lagi. Entah kapan.
Ardian bersiap didalam kamar hotel tempat pernikahannya akan berlangsung nanti. Seorang penata busana membawakan busana pengantin pria. Ardian sekarang terlihat tampan mengenakan jas berwarna krem dan celana berwarna senada.
Kak Hendri masuk dan menemui Ardian. Ia tersenyum melihat penampilan adiknya sekarang.
"Kamu yakin sama pilihanmu, Di?"
"Iya, Ardi yakin, kak," ucap Ardian.
"Yakin gak bakal nyesal?" tanya Kak Hendri lagi.
Ardian yang sedang mematut dirinya didepan cermin pun segera menoleh.
"Maksudnya, kak?"
"Kakak mau minta maaf atas ucapan kakak seminggu lalu, kakak waktu itu belum tau permasalahan yang terjadi," tutur Kak Hendri.
"Sudahlah, kak. Lupakan yang sudah berlalu," ucapnya sembari tersenyum getir.
"Tapi kakak cuma mau kasih saran, apapun pilihanmu akan kakak dukung, selama kamu bahagia. Kakak akan sangat terluka bila melihatmu tertawa untuk menutupi penderitaanmu sendiri. Sebelum semuanya terlambat," Kak Hendri lalu menepuk pundak Ardian dan segera keluar dari kamar itu.
Ardian duduk diranjang, ia memikirkan ucapan kakaknya. Semua sudah terlambat, kak.
Ardian berjalan keluar kamar menuju aula tempat pernikahannya akan berlangsung didampingi kakaknya. Saat ia tiba aula tersebut sudah ramai dengan para tamu undangan yang hadir.
Mereka duduk di kursi yang telah disediakan. Seorang pelayan mendatangi Ardian dan menyerahkan sebuah kunci mobil dan dompet.
Ardian menyadari bahwa kedua barang ini adalah miliknya. Ia mencari pelayan yang telah menyelipkan kedua barang itu di tangannya tapi pelayan itu sudah pergi.
Dibukanya dompet itu dan terselip secarik kertas.
SEBELUM SEMUANYA TERLAMBAT
Itulah tulisan yang tertera di kertas tersebut. Ardian tersenyum tipis, ia menduga ini pasti ulah kakaknya.
Ardian mendesah, ia menghela nafas kasar. Ana tak lama tiba, ia mengenakan kebaya brokat berwarna krem, senada dengan jas yang digunakan Ardian.
Ana mengulas senyum saat mendapati Ardian menatapnya. Ardian meraba dadanya.
Aneh, pikirnya. Ardian tak lagi merasakan desiran yang biasa ia rasakan saat menatap Ana.
"Baiklah, apa semuanya sudah siap?" Penghulu membuka suara.
"Siap," sahut beberapa orang disekitarnya.
"Saksi apakah sudah siap?" tanyanya lagi.
"Siap pak," sahut saksi dari pihak Ardian.
Mereka saat ini duduk menghadap seorang penghulu, disampingnya terdapat pak Haris mengenakan batik berwarna biru langit.
Ardian menjabat tangan Penghulu didepannya.
"Saya nikahkan engkau, Ardian Sanjaya bin Hendra Sanjaya, dengan Anandita wijaya binti Haris Wijaya dengan mas kawin cincin berlian seberat 10 karat dibayar tunai," ucap penghulu tersebut.
Ardian tercekat, nafasnya serasa sesak, jantungnya pun berdetak tak karuan. Keringat bercucuran di pelipisnya, wajahnya memucat.
Ia menatap satu persatu wajah Ayah, Ibu, dan kakaknya. Lalu ia menatap wajah penghulu kemudian wajah Pak Haris yang sudah lebih dulu menatapnya dengan tatapan mematikan.
Ditatapnya lagi wajah ibunya, wanita paruh baya tersebut tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
Ardian melepaskan jabatan tangannya dengan penghulu. Bisik-bisik para tamu undangan mulai terdengar penasaran dengan apa yang sedang terjadi.
Ardian mere*** jemari Ana, ia menatap wajah gadis itu.
"Maaf,"
Satu kata itu langsung menghantam jantung Ana, tubuhnya kaku, lidahnya kelu, air mata mulai menetes, isakannya perlahan terdengar.
Ardian berdiri, lalu membalikkan tubuhnya. Dengan langkah mantap ia bergegas keluar ruangan tersebut.
Meninggalkan Ana yang saat ini berteriak histeris, meninggalkan suara gaduh dari dalam aula tersebut.
Ardian berjalan keluar dari hotel dan segera menuju ke parkiran. Ia melajukan mobilnya entah kemana, yang pasti ia ingin pergi dari sini.
Selamat Tinggal Anandita Wijaya.
******
Hai genggsss, penasaran gimana dengan kehidupan Ardian selanjutnya. Bisa gak Ardian menemukan cinta sejati?
Jangan lupa like dan komennya ya, supaya mbak tika tau respon kalian sama novel ini tu gimana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Jay Jayanti
kabuuuuuuuur.....🤭
2021-01-04
0
Indah Rahmawati
bagus di wanita kayak ana ma banyak gk beda jauh ama jalang
2020-11-05
0
Sofiah Sofiah
ah setuju bngt sngt puas tinggalin ja wanita bgtu mu
2020-10-16
2