Sebulan lagi pernikahanku dan Ana akan berlangsung. Persiapan sudah mencapai sembilan puluh persen. Aku sudah tak sabar, ingin rasanya waktu satu bulan ini berlalu dengan cepat. Aku membayangkan kami berdua akan menjadi orang yang paling membahagiakan pada hari itu.
"Sayang, malam ini mau ikut gak?" tanyaku pada Ana saat ia mengunjungiku di hotel.
"Kemana?" tanyanya.
"Ke caffe temanku, sudah lama aku gak kumpul bareng mereka," ucapku.
"Emm, boleh deh. Tapi pulangnya jangan kemaleman ya," jawabnya sambil tersenyum menatapku.
"Tumben banget, biasanya kalo kita jalan kamu maunya pulang tengah malem, biar bisa lama-lama nempel aku," godaku sambil menoel hidungnya.
"Apaan sih mas," ujar Ana cemberut.
"Hehe, aku suka kalo liat kamu cemberut gitu, tambah manis," godaku lagi.
Ana hanya diam, ia menunduk. Entah hanya perasaanku saja atau memang sikap Ana padaku mulai berubah.
Biasanya pipinya akan merona saat kugoda. Tapi tidak saat ini. Perubahan sikap Ana padaku pun mulai terjadi sejak dua minggu yang lalu.
"Kenapa sayang, kok diam sih?" tanyaku. Kugenggam erat jemarinya.
"Hmm, gak apa-apa kok mas," ia tersenyum. Aku merasa ada yang disembunyikan Ana dariku.
"Mas mau tanya, boleh gak?" tanyaku.
"Ck, mau tanya apa sih mas," ujarnya.
"Sudah dua minggu ini kamu kayanya ketus banget sama mas. Mas ada salah kah sama kamu?" tanyaku, semakin kueratkan genggamanku pada jemarinya.
"Perasaan mas aja kali," jawabnya, pandangannya kini dialihkan ke jendela ruang kerjaku. Ana menghindari tatapanku.
"Yasudah, maafin mas ya," ujarku.
Ana kembali menatapku, ia tersenyum.
"Nanti malam jam berapa kita ke caffe temennya mas?" tanya Ana padaku.
"Jam tujuh, nanti mas jemput kamu sekitar jam tujuh kurang 15 menit,"
Kriiing... Kriiinggg
(Anggap aja itu dering ponsel ya gengs, maklum setting kan masih tahun 2005)
Ponsel Ana berdering. Ia segera meraih ponsel yang ada dalam tasnya. Ana tersenyum saat menatap isi pesan di ponselnya.
"Siapa?" tanyaku.
"Oh, ini temen sekolah," jawabnya. Tatapannya tak beralih dari ponselnya. Ana terlihat bahagia sekali.
"Ciyeeee, yang dapat SMS dari mantan," aku mencubit pipinya.
"Apaan sih mas, aku gak punya mantan, pacarku kan cuma kamu," jawabnya, jarinya sibuk mengetik pesan balasan untuk temannya.
"Iya..iya, aku percaya deh," sahutku.
Ana berdiri dari duduknya. Ia memakai tas yang tadi dibawanya.
"Mas, aku pulang ya," ujarnya.
"Kok cepet banget sih, baru juga sampai, mas masih kangen sama kamu," aku menggenggam jemari tangannya.
"Temenku mau kerumah, semenjak lulus SMA dia kan kuliah di luar daerah, jadi gak pernah ketemu lagi," terangnya.
Aku pun berdiri, kuraih tubuhnya untuk masuk dalam pelukanku. Kupeluk dengan erat. Kutatap wajahnya, tanganku menyelipkan anak rambut ke telinganya.
"Mau dianterin gak?" tanyaku
Ana tersenyum, ia menggelengkan kepalanya, lalu membalas pelukanku.
"Ya sudah, kamu hati-hati ya," ucapku.
"Iya masku," lalu beranjak keluar ruangan kantorku. Ada perasaan tidak nyaman saat melihatnya keluar dari ruangan ini.
*****
Malam ini aku pergi ke caffe seorang diri. Ana batal menemaniku, ia menghubungiku tadi saat aku akan menjemputnya. Kepalanya tiba-tiba sakit.
Aku ingin membatalkan pertemuanku dengan sahabatku di caffe dan pergi mengunjungi Ana dirumahnya. Tapi Ana melarangnya dan mengatakan ia hanya ingin beristirahat. Aku pun mengiyakan.
Aku memasuki caffe, suasana di dalam sungguh menenangkan. Nuansa traditional terasa kental disini, meja dan kursi terbuat dari kayu jati. Beberapa lukisan pemandangan kebun kopi tergantung di spot yang tepat.
Pot-pot berisi tanaman hias berjejer indah di sudut-sudut caffe, membuat ruangan menjadi lebih asri.
Netraku menyisir ruangan caffe, mencari keberadaan Andi dan Roli, dua orang sahabatku yang lebih dulu tiba disini.
Senyumku mengembang saat menemukan keberadaan dua orang itu. Roli melambaikan tangan ke arahku, memintaku untuk segera mendekat.
"Sudah lama kalian disini?" tanyaku pada mereka.
"Gak, baru aja kami duduk, gak lama kamu datang," ujar Andi.
"Riko mana?" tanyaku, Riko juga sahabatku sekaligus pemilik kafe ini.
"Katanya sih mau ambil minuman sama cemilan buat kita," kali ini Roli yang menjawab. Aku segera mengambil kursi dan duduk disampingnya.
"Di, Ana tumben gak ikut, biasanya nempel terus kaya kertas dikasih lem kayu hahaha," Andi tertawa dan menatapku.
"Apaan sih gak jelas, masa iya lem kayu sama kertas," sahutku, tanganku kulipat di depan dada.
"Tapi Di, kemana memang si Ana, biasanya kan dia gak mau kalo kamu tinggal ketemu sama kita, takut kamunya selingkuh," kali ini Roli bertanya.
"Sakit kepala, tadi aku mau batal kesini, tapi Ana yang ngelarang, gak enak sama kalian katanya. Makanya aku tetap datang," jelasku.
"Jadi ceritanya kamu terpaksa nih buat datang kesini?" suara Riko mengagetkanku, ia datang membawa nampan berisi empat gelas minuman. Dibelakangnya seorang pelayan berseragam kemeja putih membawa nampan yang berisi dua piring makanan, satu piring berisi kentang goreng, piring lainnya berisi martabak telur.
"Ya enggaklah Ko, masa iya aku terpaksa datang kesini, apalagi bentar lagi aku nikah, bisa susah mau kumpul kalian nanti," jawabku.
Riko meletakkan empat gelas minuman yang ia bawa di meja, setelah itu ia meletakkan dua piring berisi martabak telur dan kentang goreng lalu menyerahkan nampannya pada pelayan yang tadi berdiri dibelakangnya.
Setelah pelayan itu pergi kami pun memulai obrolan. Kami saling bertukar cerita kegiatan masing-masing. Mengingat masa-masa SMA yang penuh dengan drama.
Tanpa kami sadari ternyata waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Kami memutuskan untuk menyudahi pertemuan ini, dan pertemuan selanjutnya adalah saat pesta pernikahanku dan Ana di hotel tempatku bekerja saat ini, Hotel Marissa, hotel ayahku dengan nama ibuku.
Saat ini aku berada di perempatan jalan. Lampu lalu lintas berwarna merah, aku pun menghentikan laju kendaraanku. Sembari menunggu lampu hijau menyala aku meraih ponsel dan berniat menghubungi Ana untuk menanyakan kabarnya.
Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan.
Suara seorang wanita menyambutku saat aku mencoba menghubungi Ana. Aku mengela nafasku. Mungkin dia sudah tidur,pikirku.
Lampu berganti menjadi hijau, aku kembali melajukan mobilku. Mataku tak sengaja mendapati keberadaan Ana dipinggir jalan.
Ana berdiri disamping sebuah motor besar, ia mengenakan jaket berwarna ungu pemberianku. Aku bertanya dalam hati apa yang dilakukannya disini, malam hari pula.
Aku menghentikan mobilku dipinggir jalan tak jauh dari tempat Ana. Aku pun keluar berniat mendatanginya.
Aku menghentikan langkahku saat kulihat seorang pria mendekati Ana. Mereka berdua terlihat tertawa bersama. Sepertinya mereka akrab sekali, pikirku.
Pria itu memasangkan helm ke kepala Ana, lalu mereka berdua menaiki motor besar berwarna hijau itu dan segera meninggalkan tempat itu. Aku masih berdiri didepanku, bingung apa yang harus kulakukan. Apalagi tadi Ana memeluk erat pria itu dari belakang.
*****
Siang ini aku berniat menemui Ana. Aku ingin menanyakan tentang apa yang kulihat tadi malam.
Mobilku kuhentikan di depan kampusnya, tak berselang lama Ana keluar dan segera menuju mobilku.
"Makan dulu yuk," ajakku saat ia sudah masuk dan duduk disampingku.
"Heem," sahutnya, segera ia memasang seatbelt. Setelah itu aku segera melajukan mobilku menuju rumah makan langganan kami.
Aku memesan dua porsi ayam bakar lengkap dengan lalapan, nasi dan sambalnya. Sementara untuk minumnya aku hanya memesan es teh untukku dan es jeruk untuk Ana.
"Masih sakit kepala gak," tanyaku mencoba memecah keheningan diantara kami.
"Enggak lagi," sahutnya, tapi matanya fokus ke layar ponselnya, sementara jemarinya sibuk menari di atas keypad.
"Siapa yang kirim pesan?" tanyaku lagi.
"Oh, ini temen kampus," jawabnya. Matanya masih menatap layar ponselnya.
Aku menghela nafas kasar. Tak lama pesanan kami datang. Kami makan dalam diam. Tak ada obrolan ringan seperti yang biasa kami lakukan.
Sesekali Ana membalas pesan singkat yang entah dari siapa.
"Makanannya dihabiskan dulu An," titahku.
"Heem," sahutnya.
Setelah selesai aku kekasir dan membayar semua hidangan tadi. Sementara Ana langsung keluar dan menuju parkiran mobil.
Hening
Hening
Hening
Hanya itu yang terjadi di mobil ini. Ana lebih banyak diam hari ini. Sesekali ia membalas pesan singkat dari seseorang, sementara aku fokus menyetir.
"Gimana pertemuan kamu sama temen kamu itu?" aku mulai mencoba bertanya padanya.
"Oh, biasa aja," sahutnya.
"Tadi malam jalan sama siapa?" tanyaku to the point.
Ana mengernyitkan dahi. Ia menatapku, aku menangkap ada rasa terkejut dari raut wajahnya.
"Ekhhm," ia berdeham. "Kapan aku jalan tadi malam, aku tuh istirahat mas, kepalaku sakit banget," sambungnya lagi.
"Oh, berarti aku salah lihat," sahutku.
Aku menghentikan mobilku didepan pagar rumahnya, Ana langsung keluar setelah mengucapkan terima kasih.
Hari-hari berikutnya kami lalui tanpa ada masalah dalam hubungan kami. Hanya saja, Ana tidak semesra dulu, biasanya ia akan lebih dulu menanyakan kabarku. Ia selalu mengucapkan kata-kata penyemangat setiap pagi saat menghubungiku.
Semua sudah berbeda. Ana seakan terpaksa menjalani hubungan ini. Aku selalu mencoba berpikiran positif, mungkin ia gugup karena sebentar lagi akan menjadi seorang istri. Atau mungkin tugas kuliahnya sedang banyak.
Seminggu lagi kami menikah, undangan pun sudah tersebar. Tapi aku malah semakin ragu ingin melanjutkan rencana pernikahan ini, entah mengapa.
Malam ini aku pulang dari hotel berboncengan dengan Roli. Ah iya aku lupa menjelaskan, Roli sahabatku sudah seminggu ini bekerja sebagai sekretaris pribadi kakakku.
Mobil yang biasa kupakai tiba-tiba mogok, padahal aku rajin membawa ke bengkel untuk di servis. Hingga aku terpaksa ikut Roli berboncengan sepeda motor.
Ditengah jalan tanpa sengaja aku melihat Ana. Ia berboncengan dengan pria yang kulihat pada malam itu. Motornya pun sama.
Aku meminta Roli untuk mengikuti motor besar tersebut. Roli pun mengiyakan tanpa banyak bertanya.
Kami memasuki kawasan taman yang terletak di sudut kota ini. Suasana sangat sepi, hanya ada beberapa pasangan sedang memadu kasih, mereka duduk dikursi taman atau sekedar berjalan bergandengan tangan.
Mataku menyisir taman tersebut, hingga akhirnya netraku melihat motor besar berwarna hijau itu terparkir di sudut taman. Tapi dimana pengendara dan penumpangnya.
Aku mencari keberadaan mereka. Roli mengikuti langkahku tanpa banyak bicara. Hingga langkahku terhenti. Mataku membulat melihat sepasang anak manusia yang sedang memadu kasih, mereka berciuman dengan sangat mesra.
Mereka berada disudut taman yang agak tersembunyi dan tak terkena cahaya lampu taman. Tapi aku masih bisa melihat apa yang mereka lakukan.
Sang wanita mengalungkan tangnnya ke leher sang pria. Sementara tangan pria itu masuk kedalam pakaian sang wanita. Aku tahu apa yang tangan nakal itu lakukan didalam sana. Sementara bibir mereka saling berpagut.
Dasar pasangan tak tahu malu, pikirku.
Tanpa sengaja aku melihat wajah wanita itu, kuperhatikan dengan lekat.
Deg... Jantungku seakan berhenti berdetak, tubuhku seketika menegang.
"Ana!!"
*******
Nah loh...
Keciduk si Ana 🤭🤭
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
IntanhayadiPutri
Aku mampir nih kak, udah 5 like dan 5 rate juga.. jangan lupa mampir ya ke ceritaku
TERJEBAK PERNIKAHAN SMA
makasih 🙏🙏
2021-01-13
0
Jay Jayanti
wah...ketahuan lo....🤔
bubyarkan....!
2021-01-04
0
Indah050
ah gak bisa membayangkan aku di posisimu ga..sudah ku cakar habis
2020-10-16
1