Dua minggu sudah berlalu semenjak pertemuanku dengan Ana. Semenjak saat itu pula chef Haris meminta cuti. Alasannya tentu saja untuk mengurus istrinya dirumah sakit. Sementara Ana yang kutahu ternyata masih duduk dikelas XII tidak bisa menemani ibunya karena ia harus belajar untuk persiapan ujian nasional.
Dan semenjak saat itu pula aku mulai merindukan Ana. Entahlah apa yang membuatku merindukannya, yang pasti aku sangat rindu. Oh Tuhan, apakah ini yang dinamakan jatuh cinta.
Dua minggu ini tidurku tak nyenyak, makan tak nyaman, kerja tak tenang, semua terasa hambar.
"Tandanya kakak lagi sakit malarindu," ejek Ica, adikku yang manja tapi juga atlet pencak silat.
Pipiku pun merona karena malu, iya, aku malu ketahuan merindukan seseorang yang bahkan belum tentu merindukanku. Kenalan juga mendadak.
"Tuh kan, pipi kakak merah," ejeknya lagi.
Dasar adik gak ada akhlak, batinku pun meronta memakinya. Apalagi selain mengejekku gadis itu pun berteriak memanggil ibu lalu mengadukanku seolah aku ini anak kecil yang melakukan kesalahan.
*****
Cuaca hari ini sangat cerah, berbeda dengan hatiku yang mendung kelabu. Kulangkahkan kakiku menuju pintu hotel dengan malas, ingin rasanya aku bersantai dirumah. Entah mengapa aku sangat malas bekerja hari ini.
Sampai di depan pintu hotel aku terkejut. Ana, gadis yang kurindukan memandangku dan tersenyum padaku. Sepertinya aku harus pergi ke dokter memeriksakan mataku. Bagaimana aku bisa seperti ini hanya karena RINDU.
"Selamat pagi mas,"
Astaga, apakah aku bermimpi. Kupukul wajahku. Plaak. Sakit.
"Mas.. Mas.. Itu pipinya kenapa di pukul sih," Ana menatapku dengan tatapan yang susah untuk diartikan.
"Eh, ka..kamu Ana... kan?" tanyaku terbata dan agak ragu juga sebenarnya.
"Iya mas, ini Ana," ucapnya seraya tersenyum manis.
"Kamu ngapain kesini?" tanyaku.
"Oh, itu loh, aku habis ngantar ayah. Mau langsung pulang, tapi taman di depan hotel ini cantik. Akhirnya ya gini, aku pengen menikmati indahnya ciptaan Tuhan," masih dengan senyum manisnya.
"Tapi kamu lebih indah," gumamku.
"Ehh, mas ngomong apa tadi?" Ana terkejut , rupanya ia mendengarkan gumamanku tadi.
"Enggak, enggak ada ngomong apa-apa," jawabku sambil menggaruk tengkukku yang sebenarnya tidak gatal.
Duuhh, kok jadi kikuk gini sih. Kalau Ana tahu yang kuucapkan tadi tentang dirinya bagaimana ini. Kami baru bertemu lagi setelah perkenalan mendadak dua minggu yang lalu. Bisa-bisa Ana illfeel dan mengaggapku aneh, lalu dia tidak mau lagi kudekati. Gawat, aku harus bisa mengendalikan diriku.
"Bagaimana kabar ibumu?" tanyaku, susah payah aku mengendalikan rasa kikukku didepannya, belum lagi jantungku yang rasanya ingin lompat kesana kemari.
"Ibu sudah mendingan, sudah pulang dari rumah sakit dua hari yang lalu, sekarang tinggal rawat jalan saja mas," terang Ana.
"Maaf ya gak bisa jenguk, aku sibuk banget," alasanku, padahal aku yang bingung kalau menjenguknya, karena dengan chef Haris pun aku kurang akrab.
"Kenapa mas minta maaf, ibu kan bukan siapa-siapa buat mas," ujarnya.
"Kata siapa ibu kamu bukan siapa-siapa, beliau kan istri chef Haris, koki andalan di restoran hotel, tentu saja aku merasa bersalah tidak bisa menjenguknya," jelasku asal. Entahlah dia menganggapku aneh atau tidak.
"Apa mas selalu berbuat seperti ini pada semua pegawaimu?" Ana menatapku serius.
Aku yang ditatap mendadak kikuk dan salah tingkah. Astaga, kenapa matamu itu seperti ingin menghipnotisku, batinku.
"Chef Haris kenapa minta diantar, biasanya berangkat sendiri?" aku berusaha mengalihkan pertanyaannya tadi.
"Aku kan sudah selesai ujian, berhubung ibu masih harus rawat jalan jadi mobilnya aku yang pakai buat ngantar ibu, gak mungkin kan kalo ayah libur lagi," ujarnya.
"Jadi kamu tiap hari yang bakalan antar jemput chef Haris?" tanyaku penuh harap.
"Cuma ngantar aja mas, kalo yang jemput nanti ada kakakku, karena dia kuliah di kota S jadi berangkat pagi banget, pulangnya sekalian jemput ayah," jelas Ana panjang lebar.
Yess!! Aku bersorak dalam hati. Walaupun hanya tiap pagi tapi tak apalah, asal aku masih bisa memandangi makhluk ciptaan Tuhan satu ini.
"Mas, aku balik dulu ya, kasihan ibu sendirian di rumah,"
"Heem, hati-hati ya," aku menyunggingkan senyum, dan Ana pun membalas dengan senyuman termanisnya.
Baru beberapa langkah Ana berhenti dan berbalik lagi.
"Terima kasih mas," ucapnya.
"Untuk apa?" jelas aku heran untuk apa dia berterima kasih.
"Karena sudah bersikap ramah padaku, karena sudah membantuku waktu itu, dan untuk dikemudian hari," jelasnya.
Aku hanya bisa tersenyum, sedangkan pikiranku sudah kesana kemari memikirkan maksud dari kalimat terakhir Ana.
*****
Selama tiga minggu ini pertemuanku dengan Ana terjadi cukup intens, kami semakin dekat walaupun hanya berbincang sebentar di taman hotel setiap paginya. Hanya saja sampai sekarang aku masih belum bisa mengungkapkan isi hatiku, aku masih menunggu waktu yang tepat. Nomor telepon selulernya saja aku belum punya.
Sama seperti pagi ini. Kami kembali bertemu di taman hotel, sekedar menyapa dan berbicara sebentar. Tapi perbincangan kami kali ini berbeda, Ana seperti seorang reporter yang menggali informasi dari narasumbernya.
"Mas sudah punya pacar belum?" pertanyaan pertama cukup mengejutkanku.
"Belum," singkatku
"Kalo gebetan?"
"Gak ada," jawabku lagi.
"Tipe cewek idaman mas yang seperti apa?"
"Yang seperti kamu," jawabanku membuat pipinya bersemu.
"Kenapa? Gak suka kalo tipe cewek idaman aku itu kaya kamu?" hanya dijawab dengan gelengan kepalanya, sementara pipinya makin merona.
"Mas, ini," Ana memberiku sebuah amplop berwarna merah muda.
"Apa ini?" tanyaku, tanganku terulur mengambil amplop dari tangannya.
"Jangan dibuka sekarang mas, nanti aja tunggu aku pulang," jawabnya.
Setelah itu Ana pergi meninggalkanku ditaman, sambil memegang kedua pipinya Ana berjalan cepat tak seperti biasanya. Aku hanya menatap amplop itu dengan heran.
Malam harinya setelah menyelesaikan makan malam aku bergegas kekamar. Aku sungguh penasaran dengan isi amplop pemberian Ana tadi pagi. Perlahan ku buka, didalamnya ada selembar kertas berwarna senada, dan wangi. Kubuka lipatan kertas itu, senyumku mengembang saat membaca tulisan di kertas tersebut.
Dear Mas Ardi
Saat pertama kali bertemu denganmu entah mengapa jantung ini selalu berdetak tak menentu.
Hatiku terasa gembira saat berada disampingmu. Kegembiraan itu bahkan sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.
Saat belajarpun bayanganmu selalu menggangguku, untung saja aku masih bisa fokus dalam ujian kemarin.
Sepertinya aku sudah jatuh hati padamu, Mas Ardi.
Apakah Mas juga merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan?
Entah mengapa hatiku sangat yakin bahwa kau pun memiliki rasa yang sama sepertiku.
Kalau iya tolong hubungi aku
Dari gadis yang sangat mencintaimu
Anandita Wijaya
088765******
Tanpa berpikir dua kali segera kuraih ponselku yang tergeletak di atas nakas. Kutekan nomor yang tertera disurat itu. Betapa bahagianya diriku saat ini, ternyata Ana memiliki perasaan yang sama sepertiku. Bahkan ia lebih berani mengungkapkannya, tidak sepertiku yang seakan mengulur waktu.
Tuuutt
Tuuutt
"Hallo...," terdengar suara merdu Ana dari seberang sana.
"Hallo Ana, ini aku Ardian,"
Ana terdiam, seakan menungguku mengatakan sesuatu.
"Hallo Ana, kamu masih disitu kan?" tanyaku memecah kesunyian.
"Iya mas," jawabnya.
"Tentang surat itu, apakah kamu serius dengan perasaanmu?" tanyaku lagi, untuk memastikan.
"Iya mas, aku serius,"
Yessssssss!!! Aku bersorak dalam hati, tanpa kusadari aku sudah melompat kegirangan diatas kasur. Aku mengatur nafasku lagi.
"Eehhhmmm Ana," aku memanggilnya.
"Iya mas,"
"Mau gak jadi pacarku?"
"Iya mas, aku mau," jawabnya.
Yeeeesssss, akhirnya perasaanku terbalaskan. cintaku tak bertepuk sebelah tangan.
BERSAMBUNG LAGI YA GENGGSS
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Siti Syarifah Aulia
ceritanya makin seruh... saya suka 🤗❤️
2020-10-19
1
Sofiah Sofiah
itu gadis yng LG di kbun singkong apkbrbya jdi bingung sy
2020-10-16
2
yuli efa yanti
kyk jaman dulu sja thor pakek surat😀tapi lucu semangattt thoorr 💪💪
2020-10-16
1