Tak hanya Githa, seluruh tamu pun tercengang dengan tindakan Fandi barusan. Begitu juga dengan seluruh keluarga besar, baik dari pihak Fandi maupun Hilda. Semuanya tak bersuara, hingga suara tegas Fandi terdengar membuat semua orang seperti tertarik kembali ke kenyataan saat ini.
"Dhadapan kalian semua, saya Fandi Gentala Dierja memutuskan pertunangan dengan Hilda Agustin Miranti. Dan saya memilih melanjutkan pertunangan dengan Diandra Putri Katrina."
Fandi mengeluarkan cincin dari kantong celana, cincin cantik dengan bentuk seperti rantai berwarna silver. Cincin tersebut tampak manis dengan hiasan berlian disetiap sudut rantainya. Sederhana, namun sangat cantik dan elegan.
Tak terima dengan ucapan Fandi, Hilda berdiri dan mencoba menyerang Diandra yang berjarak beberapa meter darinya. Hilda mengambil kursi yang paling dekat dan bersiap melempar kursi tersebut kearah Diandra dan Fandi. Hal tersebut membuat beberapa tamu berteriak kaget, pihak keluarga Hilda pun mencoba menghalangi Hilda. Ayah Hilda maju lalu menampar pipi putrinya dengan keras, membuat Hilda terhuyung dan hampir saja jatuh jika tidak dipegangi oleh sanak saudaranya.
"Lanjutkanlah nak Fandi, jangan perdulikan Hilda."
Ayah Hilda merasa sangat malu dihadapan seluruh keluarga besar Fandi yang ikut memeriahkan acara tersebut. Pria paruh baya itu tak menyangka putri yang dibesarkannya dengan penuh kasih sayang mau menjebak seseorang yang tak bersalah hanya demi mendapatkan apa yang gadis itu mau.
Jujur saja ayah Hilda sendiri merasa gagal membesarkan putrinya. Apa yang diinginkan Hilda pasti selalu diuruti oleh kedua orangtuanya. Hal tersebut bukannya membuat Hilda tumbuh menjadi seorang anak perempuan yang hebat, Hilda berubah menjadi anak manja. Segala hal yang Hilda inginkan harus wanita itu dapatkan bagaimana pun cara. Namun untuk urusan ini, ayah Hilda tidak bisa menuruti keinginan gila putrinya itu.
Fandi benar, yang harusnya bertanggung jawab bukanlah pemuda itu. Yang harus bertanggung jawab adalah pria brengsek yang menghamili putrinya. Oleh karena itu ayah Hilda menyuruh Fandi melanjutkan pertunangan walaupun bukan dengan anaknya, Hilda. Fandi berhak melanjutkan hidup.
Fandi yang mendengar penuturan ayah Hilda kembali menatap Diandra yang terpaku menatap Hilda. Raut wajahnya tak terbaca. Kemuda Fandi memakaikan cincin tersebut dihari manis sebelah kiri Diandra. Ajaib, cincinnya bahkan pas dijari mungil Diandra.
Diandra yang raganya masih terpisah dengan jiwanya hanya menatap kosong jarinya yang kini terpasang cincin itu. Sedangkan Githa kini sudah terduduk di bangku sebelah Diandra dan Githa berdiri tadi, masih membekap mulutnya tak percaya.
"Pah?"
Hilda menatap nanar kearah ayahnya. Hilda tidak terima Fandi memutuskan pertunangan mereka begitu saja. Fandi hanya untuk Hilda, tidak ada orang boleh memiliki Fandi selain dirinya.
"Diam Hilda! Papa tidak akan menuruti kemauan kamu kali ini!"
Mendengar perkataan tegas ayahnya, wanita yang makeup nya sudah luntur akibat air mata yang terus menerus keluar itu kembali memberontak membuat saudara Hilda yang tadi menahannya saat hendak melemparkan kursi semakin kuat memegangi wanita itu.
Hilda seperti kesetanan, berteriak, menangis, kemudian berteriak lagi. Tatapannya membuat beberapa tamu ngeri sendiri, sorot mata wanita itu dipenuhi dengan emosi menatap kearah Diandra, dengan bola mata berwarna merah karena sedari tadi menangis tanpa henti.
Fandi terlihat tidak perduli dengan teriakan dan tangisan Hilda. Fandi yang tadi sempat lengah ketika Hilda hendak melemparkan kursi, menarik lembut tangan kanan Diandra dan membawanya berlindung ditubuh atletis lelaki itu. Fandi takut Hilda berhasil melepaskan diri kemudian menyerang Diandra.
Diandra pun hanya pasrah saja ketika Fandi membawanya kebelakang tubuh lelaki itu. Tangan Fandi tidak melepaskan genggamannya ditangan mungil Diandra, seakan belum cukup untuk membalas penghianat yang Hilda lakukan. Fandi sengaja melakukan itu, Hilda bukanlah apa-apa. Fandi sengaja menunjukkan jika hidupnya tanpa Hilda akan baik-baik saja.
"Sekarang saya mengerti Hilda, alasan kamu terus mendesak saya untuk melamar kamu. Sebenarnya saya sudah lama curiga, tapi seorang Hilda yang hidupnya sangat sempurna tidak mungkin berbuat seperti itu. Ternyata saya masih belum mengenal kamu terlalu jauh. Kamu bukan wanita seperti apa yang saya pikirkan selama ini. Saya kecewa dengan kamu Hilda, saya harap kamu mau mengerti jika hubungan kita memang tidak bisa dilanjutkan lagi. Saya permisi."
Fandi menarik tangannya Diandra dengan lembut kemudan membawanya pergi dari sana, tak perduli dengan Hilda yang terus memanggil namanya.
"Kamu nggak bisa seenaknya kayak gitu Fandi! Aku nggak terima, kita lanjutin lagi semuanya! Fandi! Fandi aku mohon!'
Fandi kemudian mengkode salah satu anak buahnya yang masih standby disana untuk meminta kunci mobil miliknya yang tadi dipakai oleh untuk membawa hantaran yang bukan main banyaknya. Hantaran itu semua permintaan Hilda, dan wanita itupun yang memilih sendiri. Fandi hanya menyuruh orang untuk membungkusnya saja.
Setelah sampai di tempat anak buahnya memarkirkan mobil, Fandi membuka pintu penumpang samping kemudi dan memasukan Diandra kedalam mobil, sebelah tangan Fandi berada di atas kepala Diandra menjaga agar gadis manis itu tidak terpentok atap mobil. Melihat Diandra yang pasrah saja dimasukan kedalam mobil membuat Fandi tertawa kecil. Diandra sangat manis.
Setelah itu Fandi memutari mobil dan duduk di kursi kemudi. Tak lupa mengirimi pesan kepada anak buahnya untuk membawa Githa, serta barang barang milik kedua gadis itu yang masih tertinggal.
"Seat belt Diandra. Kamu mau pasang sendiri atau saya yang pasang kan?"
Diandra segera memasang sendiri seat belt sebelum Fandi yang memasangkannya. Sebelum menjalankan mobil Fortuner hitamnya, Fandi kembali melirik Diandra yang masih diam kemudian tatapan pria itu turun ke jari manis Diandra yang sudah terpasang cincin. Entah kenapa Fandi ingin sekali membawa cincin itu ketika berangkat tadi.
Cincin itu sengaja dirinya beli terpisah ketika Fandi dan Hilda pergi ke toko perhiasan beberapa Minggu lalu. Katakanlah Fandi brengsek masih memikirkan gadis lain ketika memilih cincin tunangan dengan kekasihnya sendiri. Namun ketika melihat cincin itu Fandi langsung teringat kepada gadis yang dulu pernah melemparnya dengan adonan tepung yang lebih mirio adonan pizza versi gagal kalau menurut Fandi.
Fandi saat itu tidak berharap untuk bertemu kembali dengan Diandra. Dirinya sadar bahwa semuanya sudah berubah. Fandi sudah akan bertunangan dengan kekasih yang sudah berpacaran selama kurang lebih setahun dengan dirinya. Cincin sederhana yang tak terlalu mewah namun terkesan manis itu mengingat dirinya kepada Diandra, gadis manis yang sederhana namun mampu memikatnya ketika pertama kali menatap gadis itu.
'Cincinnya manis, sama seperti Diandra'. Itulah yang membuat Fandi nekat kembali ketoko perhiasan setelah mengantarkan Hilda pulang kerumahnya. Cincin itu sengaja Fandi sembunyikan dan lelaki letakan didalam kotak kecil di tempat tersembunyi dikamarnya. Ternyata perasaan Fandi yang sangat ingin membawa cincin itu hari ini ternyata bukanlah tanpa alasan. Dirinya bertemu Diandra 'nya kembali, duduk berdua didalam mobil yang sedang Fandi kendarai dengan kecepatan sedang itu.
Mobil Fortuner hitam membelah jalanan ramai pusat kota. Fandi mengendarai mobilnya menuju rumah sakit terdekat tempat ibunya dirawat. Lingga tadi sempat mengabari jika Bu Gina sudah ditangani dokter membuat Fandi bisa membawa mobilnya sedikit santai.
Suasana di dalam mobil masih sepi, Diandra masih setia menutup mulutnya. Bahkan gadis itu seperti tak Sudi menatap kearah Fandi. Diandra lebih memilih menatap jalanan disampingnya yang dipenuhi kendaraan lain, wajar saja sekarang malam minggu. Dapat dipastikan banyak kaum muda yang keluar dengan pacarnya ataupun sedang ingin nongkrong bersama temannya.
Mobil yang dikendarai Fandi akhirnya berbelok menuju kompleks rumah sakit. Kini Diandra tau Fandi membawanya kemana. Gadis itu tadinya mau bertanya, namun mengingat Fandi yang tanpa rasa berdosa menciuminya seenak jidat dihadapan banyak orang membuat Diandra malas menatap lelaki tampan disebelahnya itu.
Setelah Fandi selesai memarkirkan mobilnya, Diandra segera melepas seat belt dan turun dengan tergesa membuat Fandi terkekeh sendiri. Fandi menggelengkan kepala, lalu menyusul gadis manis itu turun.
Diandra mengusap lengannya yang terasa dingin. Cuaca malam ini mendadak kurang bersahabat padahal tadi masih cerah.
"Kayaknya bentar lagi turun hujan deh."
Diandra menengah keatas menatap langit yang mungkin seperti mewakili perasaan Fandi saat ini. Hembusan angin dingin membuat Diandra merinding dan memeluk dirinya sendiri. Fandi yang melihat itupun melepaskan kemeja batik yang dipakainya dan menyampirkannya dibahu Diandra. Sedangkan dirinya hanya memakai dalaman kaos berwarna hitam.
"Pakai, saya nggak mau kamu masuk angin."
Setelah itu Fandi berjalan meninggal Hilda yang memandangnya dengan tatapan sebal. Tak ingin sendirian ditempat parkir yang terasa seram itu, Diandra buru buru mengikuti langkah lebar Fandi dengan sedikit berlari.
Kemeja Fandi sempat hampir jatuh membuat Diandra terpaksa memegang kemeja Fandi dengan erat, bahkan Diandra saat ini merasa seperti sedang dipeluk oleh Fandi karena wangi parfum yang tertinggal di kemeja lelaki itu.
'Parfumnya masih sama. Nggak mungkin dia masih pakai parfum kayak yang aku kasi waktu itu.' Hilda berbicara dalam tadi menebak apa kira-kira parfum yang Fandi pakai ini. Hilda menggelengkan kepalanya menyangkal semua kemungkinan yang keluar dibenaknya sendiri. Mungkin wanginya hanya mirip, lagian sudah lama Diandra agak lupa-lupa ingat wangi parfum yang dulu dirinya berikan sebagai hadiah valentine kepada Fandi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Mas Sigit
diandra bkn hilda thor
2025-06-12
1