Perjalanan Sang Pesilat

Perjalanan Sang Pesilat

cita cita

Di sebuah ruang kelas sekolah dasar yang sederhana, cahaya matahari masuk melalui jendela kayu yang catnya mulai terkelupas. Suara burung di luar sesekali terdengar, bercampur dengan hiruk-pikuk tawa anak-anak.

Ibu Guru, seorang wanita paruh baya dengan rambut diikat rapi dan senyum hangat, berdiri di depan papan tulis. Tangannya memegang kapur, sementara matanya mengamati murid-murid yang duduk di bangku kayu yang sudah mulai kusam.

“Anak-anak,” ucapnya sambil tersenyum, “kalau kalian sudah besar nanti, mau jadi apa?”

Kelas langsung riuh. Beberapa murid mengangkat tangan tinggi-tinggi, tak sabar untuk menjawab.

“Aku mau jadi tentara, Bu!” kata seorang anak laki-laki di barisan depan, suaranya lantang seperti hendak memberi komando.

“Aku mau jadi pilot!” seru yang lain, matanya berbinar membayangkan terbang di langit.

“Aku mau jadi polisi!” tambah seorang anak di pojok sambil memukul-mukul mejanya seperti sedang menirukan sirene patroli.

Tawa kecil memenuhi ruangan.

Ibu Guru mengangguk sambil tersenyum, lalu pandangannya beralih ke bangku paling belakang. Di sana duduk Alvarok. Bajunya sederhana, warnanya sudah sedikit pudar karena sering dipakai. Sepatunya tampak sobek di ujung, tapi ia duduk tegak, menatap ke depan dengan mata yang penuh keyakinan.

Sambil menarik napas, ia berkata, “Aku ingin menjadi atlet silat, Bu.”

Nada suaranya tidak keras, tapi jelas—penuh tekad.

Suasana kelas sempat hening beberapa detik. Namun, tiba-tiba seorang anak di bangku tengah menoleh dan berkata dengan nada meremehkan,

“Orang miskin kayak kamu mana mungkin bisa.”

Beberapa murid lain tertawa kecil.

Dada Alvarok terasa sesak, tapi ia menatap meja dan tidak membalas.

Ibu Guru segera menoleh ke arah anak yang mengejek itu. Tatapannya tegas, suaranya sedikit meninggi.

“Kamu tidak boleh berkata seperti itu. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Siapa tahu, suatu hari nanti, justru Alvarok yang membuat kita bangga.”

Mata Alvarok sedikit berbinar mendengar itu. Ibu Guru lalu tersenyum hangat kepadanya, seolah memberi pesan: jangan pernah berhenti percaya.

Bel pulang berbunyi. Anak-anak berhamburan keluar kelas. Di luar, saat berjalan pulang, Alvarok kembali mendengar suara ejekan.

“Kamu dengar nggak? Ada orang mau jadi atlet silat, padahal orang tuanya cuma petani,” kata seorang murid pada temannya sambil tertawa.

Kata-kata itu menusuk, tapi di dalam hati Alvarok, ada suara lain yang lebih kuat:

Suatu hari nanti… aku akan membuktikan semuanya.

---

Sampai di rumah, Alvarok langsung bersiap berjualan kue. Ia mengambil kue titipan dari warung dekat rumah. Matahari siang terasa terik, membuat kulitnya sedikit perih, tapi ia tetap melangkah mantap.

“Kue…! Kue…!” teriaknya berulang-ulang sambil berjalan melewati gang-gang kecil. Keringat mengalir di dahinya, ia mengelapnya dengan punggung tangan.

Di salah satu rumah, seorang ibu memanggilnya.

“Dek!”

“Iya, Bu,” jawabnya sambil menghampiri dengan sopan.

“Kamu jual apa?”

“Kue, Bu.”

“Harganya?”

“Seribu satu, Bu.”

“Kalau gitu, Ibu beli sepuluh, ya.”

“Baik, Bu.”

Ia mengeluarkan kantong kresek, memasukkan kue satu per satu, lalu menyerahkannya. Sang ibu tersenyum sambil membayar, dan Alvarok mengucapkan terima kasih dengan menundukkan kepala.

Begitulah ia terus berkeliling sampai kue habis terjual. Langit mulai berubah warna jingga ketika ia kembali ke warung.

“Ini hasil jualan hari ini, Bu,” ucapnya sambil menyerahkan uang.

“Terima kasih, ya. Ini gaji kamu,” jawab pemilik warung sambil memberikan selembar uang tiga puluh ribu.

“Terima kasih, Bu,” kata Alvarok, senyumnya lebar meski badannya terasa lelah.

---

Sore itu, ia pulang dan mendapati kedua orang tuanya sedang makan singkong rebus di meja kecil di ruang tengah.

“Assalamualaikum,” sapanya.

“Waalaikumsalam,” jawab mereka serempak.

“Kamu sudah pulang, Nak?” tanya ibunya.

“Iya, Ma.”

Alvarok memberikan uang hasil jualannya, tapi ibunya menolak.

“Simpan saja, Nak. Tabung untuk masa depanmu,” ucap ibunya sambil mengelus kepalanya.

---

Keesokan paginya, Alvarok berjalan kaki ke sekolah. Udara masih segar, embun tipis menempel di dedaunan. Ia tiba tepat saat bel masuk berbunyi.

Ibu Guru masuk ke kelas, diikuti seorang anak berkulit putih, rambutnya rapi, mengenakan seragam yang tampak baru.

“Anak-anak, perkenalkan. Ini murid baru kita, namanya Akbar. Dia pindahan dari luar negeri,” kata Ibu Guru.

“Halo semua, aku Akbar,” ucapnya dengan senyum ramah.

“Salam kenal, Akbar!” jawab seluruh kelas serempak.

“Kamu duduk di sebelah Alvarok, ya,” ujar Ibu Guru sambil menunjuk kursi kosong di sebelahnya.

Akbar berjalan ke arahnya, lalu duduk.

“Halo, namaku Akbar. Nama kamu siapa?”

“Namaku Alvarok,” jawabnya dengan senyum kecil.

“Oh, salam kenal,” balas Akbar, menatapnya dengan ketertarikan seolah ingin tahu lebih banyak.

Di dalam hati, Alvarok belum tahu bahwa pertemuan hari itu akan menjadi awal dari sesuatu yang mengubah jalan hidupnya.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Scorpion Monarch

Scorpion Monarch

hmm memang perlu penyesuaian/ perbaikan.

kalau mau aku bantu bisa chat priv, aq bakal kasih contoh untuk pembukaan awal.

2025-08-13

0

Drezzlle

Drezzlle

Ayo, Pumpung masih bab 1, setelah tanda petik terakhir jangan lupa spasi.

"Tolong spasinya!" ucapku dalam hati.

2025-06-16

0

Bulanbintang

Bulanbintang

Ini jadinya, ibu atau tante, Thor? 🤔

2025-06-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!