...****************...
Langkah pria itu sempat terhenti ketika menyadari ada dua wanita di meja yang sama. Matanya menatap ibunya dengan bingung, lalu beralih pada Aresya… dengan keterkejutan samar.
Daria berdiri sambil tersenyum tenang, seolah semuanya terjadi begitu alami.
“Arion…” panggilnya lembut.
“Perkenalkan, ini Aresya. Wanita yang sempat Mama ceritakan kemarin.”
Aresya ikut bangkit dari duduknya, senyum manis dan lembut mengembang di wajahnya yang anggun.
Gaun pastel yang membalut tubuhnya seolah menegaskan kesan suci dan penuh kelembutan.
Tangannya terulur ke depan.
“Hai…” suaranya pelan namun bergetar halus.
“Aku Aresya.”
Dan saat tatapan mereka bertemu—untuk pertama kalinya,
Aresya tahu… potongan terakhir dari puzzle itu baru saja muncul di hadapannya dan segala rencana dalam kepala Aresya… mulai bergerak.
“Silakan duduk, Nak,” ucap Daria sambil menepuk kursi di sampingnya.
Arion hanya menatap kosong pada Aresya beberapa detik sebelum akhirnya menarik kursi perlahan dan duduk tanpa berkata apa pun.
Aresya mengalihkan pandangannya, lalu tersenyum tipis.
“Sebenarnya aku juga gak nyangka bakal ketemu kamu di sini,” katanya dengan suara ringan namun lembut.
“Hm,” gumam Arion singkat, tanpa menatapnya.
Daria menghela napas kecil.
“Aresya ini baru kutemui kemarin di rumah sakit, dia begitu perhatian dan sopan. Mama pikir, gak ada salahnya kalau kamu kenal dia sedikit lebih dekat.”
“Aku... juga kaget waktu Ibu tiba-tiba ngajak ketemu,” ujar Aresya pelan, tangannya melipat rapi di pangkuan. “Tapi aku senang, bisa ngobrol lagi sama Ibu, dan… sekarang bertemu kamu.”
Arion masih menatap kosong ke depan.
“Aku datang ke sini karena disuruh. Bukan karena mau kenalan,” katanya datar.
Aresya hanya tersenyum lembut.
“Oh... aku mengerti. Gak apa-apa. Aku pun nggak suka dipaksa,” suaranya tetap tenang dan halus, seolah benar-benar tak terusik.
Daria tersenyum canggung, mencoba mencairkan suasana.
“Kamu ini, Arion. Sedikit lebih sopan kenapa, sih? Aresya datang jauh-jauh loh.”
“Aku gak suruh dia datang,” sahut Arion ringan, mengambil gelas air mineral dan meneguknya pelan.
Aresya tertawa pelan—sangat pelan, nyaris hanya hembusan napas.
“Kamu memang tipe yang jujur, ya?” tanyanya, memiringkan kepala sedikit.
Akhirnya Arion melirik ke arahnya.
Tatapan tajam, tanpa emosi, menelisik wajah Aresya sejenak.
“Aku cuma gak suka basa-basi.”
Aresya menatap balik, masih dengan senyum lembut yang menipu.
“Tenang aja… aku juga nggak pandai basa-basi. Tapi aku pandai mendengarkan.”
Daria memperhatikan interaksi mereka dengan harapan kecil yang mulai tumbuh.
“Mungkin bisa ngobrol pelan-pelan dulu, kan? Siapa tahu cocok.”
“Aku nggak nyari pasangan,” sahut Arion cepat.
“Tapi aku juga nggak langsung mikir ke arah sana,” balas Aresya pelan.
“Aku cuma... senang bisa ngobrol dengan orang baru.”
Arion tidak menjawab. Dia meneguk minumannya lagi, lalu menatap ke luar jendela restoran.
Sementara itu, Aresya hanya menatap punggung tangannya sendiri, lalu sesekali mencuri pandang ke arah pria itu.
Dalam hati, ia tersenyum licik.
“Kamu masih seperti yang kuingat. Mata dingin yang sama... Tapi sekarang, aku jauh lebih siap.”
...****************...
Malam telah tua. Langit menunduk lesu di balik jendela apartemen kecil itu, menumpahkan rinai hujan yang mengetuk kaca seolah ingin berteduh dalam kehangatan yang tak pernah benar-benar ada.
Aresya membuka pintu perlahan. Suara engsel yang berderit menyambutnya seperti ucapan selamat datang dari kesunyian yang telah lama menjadi teman setia. Gaunnya yang anggun kini terlihat janggal di ruangan sempit itu—terlalu megah untuk tembok lembab dan lantai yang mulai retak di sudut-sudutnya.
Ia menyalakan lampu. Cahaya kuning pucat menyiramkan kelelahan ke seluruh ruangan, memantul di cermin kecil yang menggantung miring di dinding.
“Lembut... hangat... penuh simpati,” gumamnya lirih sambil membuka sepatu dengan satu tangan, “Seperti itulah harusnya aku terlihat.”
Ia tertawa pendek, getir.
“Padahal kalau mereka tahu siapa aku sebenarnya…”
Langkahnya pelan menuju meja kecil di pojok ruangan. Di sanalah buku catatan itu menunggu—saksi bisu segala rencana, luka, dan kepura-puraan yang ia pelihara dengan rapi.
Ia duduk. Menyandarkan tubuhnya sesaat, memejamkan mata sebelum menuliskan kelanjutan skenario yang telah disusunnya sejak lama.
Target: Daria Camaro
Pertemuan kedua berlangsung sukses. Strategi empati membuahkan hasil. Aku bercerita—tentang kematian fiktif orang tuaku, tentang hidup yang katanya tragis. Dan dia percaya. Matanya melembut saat aku menyebut kata 'panti asuhan'.
Arion hadir. Tak disangka. Datar, dingin, seperti es yang tak mengenal matahari. Tapi... justru itu yang membuatnya menarik.
“Wajah itu... seperti tak tersentuh siapa pun. Seolah dunia belum pernah benar-benar menyentuhnya.”
Ia menatap kosong ke arah jendela. Suara hujan masih jatuh, berulang-ulang, seperti kenangan yang enggan pergi.
“Tenang saja, Arion Camaro... cepat atau lambat, aku akan menyentuhmu. Hingga es itu retak.”
Lalu ia menutup catatannya. Rapi. Terencana. Penuh keyakinan.
Di luar, malam terus merangkak perlahan. Tapi bagi Aresya, waktu baru saja mulai berdetak.
...****************...
Di sisi lain, waktu seperti ikut menahan napas.
Langit yang tadi biru mulai keruh, seakan ikut menyerap rasa tak nyaman yang menggumpal di udara rumah keluarga Camaro.
Daria jatuh.
Tanpa suara, tanpa aba-aba. Hanya tubuh yang tiba-tiba lemas di ujung anak tangga, dan mata yang tak lagi bisa berkompromi dengan dunia.
“Ma?”
Arion berlari—dinginnya mencair, paniknya terselip di balik langkah-langkah besar yang tanpa suara. Ia menahan tubuh ibunya, mengguncang pelan bahu yang terasa ringan, terlalu ringan.
“Ma, bangun. Mama dengar suara aku?”
Namun, tak ada jawaban.
Hanya helaan napas pelan yang terdengar seperti bisikan perpisahan.
Detik itu juga, Arion membawa Daria ke rumah sakit. Tangan kirinya memegang setir, tangan kanan menggenggam jemari ibunya yang terkulai lemah.
Di matanya tak ada air mata, tapi sorot itu...
Samar, terguncang, dan jauh lebih menyakitkan daripada tangis.
Di ruang UGD, lampu putih seperti mengupas seluruh kekhawatiran yang selama ini tak pernah ia tunjukkan.
Ia berdiri mematung di balik pintu kaca, menatap dua perawat yang sibuk mempersiapkan alat infus dan selang oksigen.
“Semuanya akan baik-baik saja,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri.
Lalu ia menoleh pada dokter yang keluar membawa catatan medis.
“Kondisinya?”
“Beliau mengalami kelelahan parah dan tekanan darah yang tidak stabil. Kami perlu observasi lebih lanjut. Tapi jujur saja... keadaannya cukup lemah.”
.
.
.
Next 👉🏻
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Semangat
suka bgt 'malam telah tua'
2025-04-25
0