Open Marriage

Sesuai janjinya semalam, Deva datang ke apartemen Selly pada Minggu siang. Ia memang kerap mengunjungi tempat tinggal Selly, terutama saat mereka malas bepergian ke luar.

Ting tong... ting tong...

Bel apartemen Selly berbunyi. Ia segera mengecek melalui layar monitor. Terlihat Deva berdiri sambil tersenyum dan melambaikan tangan ke arahnya. Tanpa menunggu lama, Selly membuka pintu dan menyambut kedatangannya.

“Aku bawakan kue kesukaanmu,” ucap Deva sambil menunjukkan kotak roti dari merek ternama.

Selly langsung semringah melihat kue favoritnya.

“Wah, kamu tahu aja aku lagi butuh yang manis-manis. Entah kenapa, beberapa hari ini suasana hatiku kacau. Kayaknya kamu bisa baca isi hati aku,” kata Selly sambil membawa kotak kue ke meja makan.

Ia mengeluarkan piring kecil dan garpu, lalu memotong kue tersebut. Potongan pertama diletakkannya di piring, kemudian diserahkan kepada Deva. Sambil menikmati kue yang lembut dan manis, mereka mulai mengobrol santai.

Deva tampak tak banyak bicara sejak datang.

“Kamu kenapa? Masih kepikiran soal perjodohan semalam?” tanya Selly sambil menatapnya penuh perhatian.

“Iya. Suasana hatiku benar-benar nggak enak. Makanya aku ke sini. Kupikir, kalau ketemu kamu, dalam satu jam ke depan suasana hatiku bisa membaik,” jawab Deva sambil menyendok sepotong kue ke mulutnya.

Selly mengangguk pelan. “Hmm… Aku juga bisa bayangkan gimana rasanya kalau aku di posisimu. Kamu masih cinta sama aku, tapi terpaksa harus kenalan sama perempuan lain.” Ucapan Selly sengaja disusun agar Deva makin yakin bahwa dialah wanita yang benar-benar ia cintai.

Deva mendengus kesal. “Bahkan mengingat momen pertemuan semalam saja sudah bikin mood-ku makin jelek.”

Selly menimpali, “Memangnya perempuan itu gimana? Nggak secantik aku? Bukan tipe kamu?”

Pertanyaan Selly makin memancing emosi Deva.

“Ah, sial! Kenapa Ibu harus menjodohkanku dengan perempuan bernama Nindy itu? Padahal Ibu tahu, aku ingin menikah dengan kamu. Semalam aku membayangkan bagaimana hidup bersamamu—menikah, punya anak, jadi keluarga bahagia.”

Selly tersenyum tipis. Ia tahu, Deva sudah jatuh terlalu dalam padanya.

“Kamu benar-benar nggak ada bayangan menikah sama dia? Siapa tadi namanya? Nindy, ya?” tanya Selly lagi.

“Iya, Nindy. Aku sama sekali nggak punya niat untuk menikahinya. Bahkan buat melanjutkan proses perkenalan pun aku sudah malas,” keluh Deva.

Selly merasa seperti ratu. Ia tahu, hatinya sudah begitu dalam menguasai Deva. Semakin mudah baginya untuk mengatur langkah selanjutnya.

“Tenang aja, Deva. Jalani saja dulu proses perkenalanmu. Sekarang ini banyak kok orang yang menjalani open marriage,” ucap Selly sambil tersenyum menggoda.

“Hah? Open marriage? Apa itu? Aku baru dengar istilah itu sekarang,” tanya Deva penasaran.

Selly menjelaskan santai, “Open marriage itu pernikahan di mana pasangan suami istri sepakat boleh menjalin hubungan dengan orang lain.”

“Hah? Emang ada ya yang kayak gitu?” Deva tampak kaget.

“Jelas ada. Dan nanti, kalau kamu sampai menikah sama Nindy, kamu bisa menjalaninya seperti itu,” kata Selly sambil menunjuk dada Deva dengan telunjuknya.

“Kalau istriku nggak izinkan aku berhubungan sama kamu, masih bisa disebut open marriage?” tanya Deva polos.

“Ya jelas nggak. Tapi jatuhnya… aku jadi wanita simpananmu,” jawab Selly sambil tersenyum menggoda.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Pak Danu tengah membersihkan halaman rumah yang mulai dipenuhi rumput liar. Ia tidak sendirian. Nindy membantunya mencabuti dan memangkas rumput-rumput tersebut.

Di tengah kegiatan mereka, Pak Danu membuka pembicaraan.

“Gimana pertemuan semalam? Kamu merasa cocok sama Deva?” tanyanya tanpa menoleh.

Nindy tersipu malu tanpa sadar. Senyum-senyum kecil menghiasi wajahnya.

Pak Danu langsung menggoda, “Wah, Ayah tebak… kamu suka, ya, sama Deva?”

Refleks, ekspresi Nindy langsung berubah. “Ah, Ayah… apaan, sih,” ucapnya malu-malu.

“Lho, jangan ngambek. Kalau kamu memang suka, Ayah justru senang. Ingat, ya, Nindy… Ayah nggak mungkin menjodohkan kamu dengan laki-laki sembarangan. Kamu itu satu-satunya putri Ayah. Sangat berharga.”

Ucapan itu menembus hati Nindy. Kata-kata kamu sangat berharga begitu menyentuhnya. Ia mulai yakin bahwa Deva mungkin memang jodoh terbaik untuknya. Tentu saja Ayahnya tidak akan memilihkan lelaki sembarangan untuk masa depannya.

“Kalau aku merasa cocok, untuk kelanjutannya gimana? Apa Ayah yang harus atur pertemuan kedua?” tanya Nindy pelan.

Pak Danu menjawab, “Kamu bisa atur sendiri, sesuai kesepakatan kalian. Tadi malam kamu sudah tukar nomor sama Deva, kan?”

Nindy mengangguk. “Iya, sudah, Yah. Tapi… apa nggak apa-apa kalau aku yang hubungi duluan?”

“Nggak masalah. Mungkin Deva juga malu buat menghubungi kamu lebih dulu. Kalau kalian saling tunggu, gimana bisa kenal lebih jauh?”

Jawaban Ayahnya membuat Nindy semakin mantap membuka hati. Bertahun-tahun ia menutup diri dari cinta. Tapi semalam, ia kembali merasakan debar yang sudah lama tak ia rasakan. Dan kini, dorongan Ayahnya membuat keyakinannya tumbuh.

Malam harinya, Nindy memberanikan diri menghubungi Deva lebih dulu. Ia membuka daftar kontak, mencari nama Deva, lalu mulai mengetik pesan:

[Nindy: Assalamualaikum, Deva. Ini aku, Nindy. Maaf mengganggu waktumu. Aku ingin bertanya, apakah kita bisa melanjutkan proses perkenalan ini?]

Setelah menekan tombol kirim, Nindy menyelipkan ponselnya di balik bantal. Hatinya gelisah. Ia takut pesannya diabaikan.

Namun, ia berharap... semoga Deva memberikan jawaban yang baik.

Nindy merasa malu sesaat setelah mengirimkan pesan kepada Deva. Namun di balik rasa malunya, ia sadar jika tak ada yang memulai, sampai kapan kejelasan itu akan datang? Lagipula, Nindy memang sudah tertarik pada Deva sejak pandangan pertama.

Tiba-tiba, pikirannya melayang ke malam sebelumnya—saat pertama kali ia melihat Deva. Senyuman lelaki itu membuatnya terpesona. Ada ketulusan di sana, dan entah mengapa, tatapan matanya mampu mengguncang hati Nindy. Debaran di dadanya pun tak lagi bisa ia bendung.

Nindy menghela napas panjang. Jatuh cinta di usia dua puluh delapan tahun tidak semudah saat ia masih remaja. Cinta, kini harus disertai dengan usaha dan keberanian untuk menurunkan gengsi demi masa depan yang lebih pasti.

Seperti yang sedang ia lakukan saat ini—berusaha keras, menekan ego, dan mencoba memastikan apakah hubungan ini akan terus berjalan atau hanya berhenti di tempat.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!