Menagih Hutang

“Saya Weko, Bu. Sepupu dari Mbak Sintya.” Weko memperkenalkan diri kepada Ibu Ranti saat baru saja sampai mengantarkan Inaya.

“Terima kasih sudah mengantarkan anak saya. Sebaiknya Anda kembali sebelum mengundang penasaran orang lain.” Jawab Ibu Ranti tanpa menyambut uluran tangan Weko.

“Baik, Bu. Saya pamit.” Weko menurunkan tangan dengan tetap tersenyum.

“Aku pulang dulu, Dek!”

“Iya, Mas. Hati-hati di jalan.” Inaya menganggukkan kepalanya dengan sedikit sungkan karena sikap Ibu Ranti.

Setelah Weko tidak terlihat, Inaya masuk ke dalam rumah. Sang ibu yang sudah menunggunya segera mencegahnya masuk ke dalam kamar.

“Siapa laki-laki itu?”

“Mas Weko, Bu. Sepupunya Mbak Sintya.”

“Jangan dekat-dekat dengannya! Lain kali jangan mau diantarkan pulang! Bisa heboh sekampung nanti.”

“Kalau aku bisa nolak, aku akan menolaknya, Bu.”

“Sepupu Sintya, sudah pasti pekerjaan miyang!”

“Memangnya kenapa kalau miyang, Bu?”

“Orang-orang yang berangkat miyang itu rata-rata pemabuk! Mereka suka minum karena hanya itu yang bisa membuat mereka tetap hangat di atas kapal.”

“Ibu tahu dari mana?”

“Banyak pedagang kenalan Ibu di pasar yang cerita.”

“Rata-rata berarti tidak semuanya kan, Bu?”

“Tetap sama saja! Mungkin tidak pemabuk, tetapi kalau di atas kapal minum ya tetap saja Namanya mabuk!” ketus Ibu Ranti yang kemudian meninggalkan Inaya ke dapur.

Inaya tidak tahu mengapa sang ibu bersikap seperti itu. Selama ini memang sikap Ibu Ranti selalu ketus saat ada teman laki-lakinya yang mengantarkan pulang ataupun sekedar berkunjung. tetapi tidak sampai benci seperti saat ini.

Ia mengabaikannya dan masuk ke dalam kamar meletakkan tasnya dan membawa ikan panggang yang dibawakan Ibu Sintya ke dapur.

“Tidak ada kulkas, tidak bisa disimpan lama-lama. Kamu antarkan Sebagian ke rumah Budhemu sana!” kata Ibu Ranti yang melihat banyaknya ikan panggang P yang dibawa Inaya.

“Anif mana, Bu?”

“Tidak tahu. Katanya mau main ke rumah Lala tadi.”

Niat Inaya ingin meminta Anif yang mengantarkan ikan panggang, gagal. Terpaksa ia yang mengantarkannya sendiri.

Sampai di rumah Budhe Inaya, ia melihat beberapa sepupunya berkumpul di teras rumah. Mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu. Tentu saja Inaya bisa menebak apa yang sedang mereka bicarakan, yaitu dirinya.

“Budhe, ini ikan panggangyang saya bawa dari pesisir tadi.” Kata Inaya yang memberikan bungkusan plastic kepada Budhe Rini.

“Terima kasih, Na. Kalau kamu mau nitip simpan di kulkas, bisa kamu bawa kemari!”

“Iya, Budhe.”

Dalam hati Inaya memilih untuk memakannya sampai habis daripada dititipkan di kulkas yang mana akan hilang saat dirinya hendak mengambilnya. Bukan karena tidak ridho, ia hanya tidak suka cara keluarga dari pihak ayahnya itu memanfaatkan keadaan keluarganya.

Bisa saja mereka izin terlebih dahulu kepadanya dan ia tentu saja akan mengizinkannya. Tetapi mereka justru berkilah dengan mengatakan mereka tidak tahu jika barang yang ada di kulkas adalah titipanInaya.

“Siapa tadi, Na?” tanya sepupu Inaya, anak pertama dari Budhe, Idris.

“Teman, Kang.”

“Teman tapi mesra, ya?” timpal sepupu satunya, Rumi.

“Tidak, Mbak. Itu sepupu Mbak Sintya.”

“Owalah! Lain kali kalau ke sana, bisa bawakan cumi kering yang seperti biasanya, tidak?”

“Saya membawa apa yang mereka berikan, Mbak. Maaf saya pamit dulu, masih harus nyetrika.” Inaya buru-buru pergi karena ia tidak mau pembahasan mereka semakin membuatnya muak.

Ini adalah alasan kedua Inaya tidak begitu dekat dengan keluarga pihak sang ayah. Mereka hanya bisa iri dengan apa yang keluarga Inayah punya, sehingga seringkali memojokkan keluarganya saat mereka sedang dalam kesusahan.

Sampai di rumah, Inaya langsung masuk ke dalam kamar dan menyetrika pakaian yang akan ia gunakan bekerja besok.

Malam harinya, Inaya mendapatkan pesan dari nomor baru yang mengatakan jika dirinya adalah Weko yang meminta nomor dari Sintya. Inaya tidak membalasnya dan pergi untuk tidur.

Keesokan paginya, Inaya kembali mendapatkan pesan dari Weko yang menawarkan diri untuk menjemputnya. Tapi lagi-lagi Inaya mengabaikannya dan segera bersiappergi bekerja.

“Na, hari ini Pak Anto izin. Tolong kamu gantikan dia untuk penagihan!” kata Nuri

“Penagihan? Daerah mana, Mbak?”

“Daerah Gegunung. Apa kamu tahu?”

“Gegunung, aku hanya tahu sedikit. Apakah tidak ada yang lain?” tanya Inaya ragu.

Selama bekerja setengah tahun ini, ia hanya sebagai admin yang merekap penagihan. Ia tidak pernah keluar kantor untuk melakukan penagihan langsung. Ia bahkan tidak tahu seluk beluk kota tempat tinggalnya karena ia jarang sekali pergi ke mana-mana. Tempat-tempat yang ia tahu hanyalah tempat yang pernah ia kunjungi saat ada kegiatan ataupun karena ada saudara yang tinggal di sana.

“Tidak ada lagi. Tolong ya, Na?”

“Baiklah.”

Inaya terpaksa menerimanya karena hanya ada dua admin di cabang yang ia tempati. Tidak mungkin ia meminta Nuri yang saat ini sedang hamil, sehingga dirinya pergi ke daerah Gegunung dengan menggunakan motor kantor.

Ada 5 orang yang perlu ia tagih di daerah ini. Berhubung Sintya juga tinggal di daerah Gegunung, Inaya menanyakan nama-nama tersebut kepadanya sebelum berangkat.

“Mali dan Nandar ada di ujung jalur gang masuk ke rumahku, Dek. Kalau 3 lainnya, sebaiknya kamu diantarkan Dek Weko. Aku takut kamu nyasar.”

“Aku tidak mau merepotkan, Mbak. Kasih tahu arahnya, aku akan menghafalkan jalannya.”

“Tidak perlu sungkan, Dek. Anggap saja Dek Weko itu penunjuk jalan, kamu tidak merepotkannya!”

“Tap..”

“Sudah, tidak usah menolak! Dek Weko akan menunggumu di depan gang.” Mau tak mau, Inaya tidak lagi mendebat.

Ia menjalankan motornya menuju daerah Gegunung yang menuju ke arah barat. Beberapa menit kemudian, Inaya sampai di depan gang dan menemukan Weko sudah menunggunya di dduduk di atas motor.

Tanpa berkata apapun, Weko mendahului Inaya. Inaya mengikutinya dari belakang dan mereka sampai di sebuah rumah yang ada di paling ujung gang. Ia melakukan penagihan, lalu lanjut ke rumah selanjutnya yang berjarak 10 meter. Setelah itu, barulah Inaya mengikuti Weko yang menjalankan motornya keluar dari gang dan berbelok kanan.

Lurus beberapa meter, kemudian belok kiri masuk gang. Belok kanan, belok kiri sampai ujung dan belok kanan lagi, barulah mereka sampai di rumah orang ketiga.

“3 deret ini adalah rumah yang kamu perlu tagih. Aku akan menunggumu di sini.” Kata Weko.

“Terima kasih, Mas.” Inaya menganggukkan kepalanya.

Weko tersenyum melihat Inaya yang terlihat menghargainya. Ia memperhatikan setiap gerak-gerik Inaya yang menagih dan mencatat uang yang dibayarkan. Sampai di rumah ketiga, Inaya mendapat bentakan dari pemilik rumah. Weko segera mendekat untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.

“Bug!”

Episodes
1 Inaya
2 Sepupu Sintya
3 Menagih Hutang
4 Merasa Hutang Budi
5 Dijodohkan
6 Reuni
7 Mengantar Pulang
8 Apa Dia Bisa Menerima?
9 Masalah Keluarga Inaya
10 Merasakan Ketulusan
11 Memperbaiki Diri
12 Mengetuk Pintu
13 Lamaran
14 Membalas Lamaran
15 Sebelum Menikah
16 Sah!
17 Sepasar
18 Kehidupan Berdua
19 Membuat Candu
20 Ibu Mertua
21 Antar Jemput
22 Ke Rumah Inaya
23 Kembali Melaut
24 Kabar Gembira
25 Salah Paham
26 Marahnya Inaya
27 Tidak Boleh Melaut
28 Kejutan
29 Masih Tidak Rela
30 Menunggu Kabar
31 Menabrak Karang
32 Kabar Buruk
33 Hilang
34 Dinyatakan Meninggal
35 Memperhatikan Keluarga Suami
36 Beban Berkurang
37 Observasi
38 Mengikhlaskan
39 Satu Tahun
40 Memintanya Menggugat
41 Fatah
42 Janda Inaya
43 Memantapkan Hati
44 Merasa Iri
45 Mengikuti Inaya
46 Diwarnai Pertengkaran
47 Aku Akan Menunggumu
48 Menginap
49 Melewati Malam
50 Kehidupan Pernikahan Kedua
51 Mengganti Panggilan
52 Anggap Sebagai Ujian
53 Jalan-jalan
54 Silahkan datang ke Rumah
55 Periksa ke Dokter
56 Pandangan Berbeda
57 Fatah yang Overprotektif
58 Weko
59 Mantan Istri
60 Menjalani Jalan Masing-masing
61 Menjadi Mekanik
62 7 Bulanan
63 Ketakutan Inaya
64 Bertanya
65 Melahirkan
66 Selapanan
67 Promo Novel Baru
68 Kepergian Fatah
69 Kecelakaan
70 Mengantarkannya
71 Ruwat
72 Tidak Perlu Menggurui
73 Menginap
74 Biarkan Saja
75 Puncak Kesabaran Inaya
76 Menuai Apa yang Ditanam
77 Masih Tidak Sadar
78 Maksud Tersembunyi
79 Siapa Dia?
80 Weko yang Gelisah
81 Deni
82 Apa Aku Pembawa Sial?
83 Tidak Akan Kembali
Episodes

Updated 83 Episodes

1
Inaya
2
Sepupu Sintya
3
Menagih Hutang
4
Merasa Hutang Budi
5
Dijodohkan
6
Reuni
7
Mengantar Pulang
8
Apa Dia Bisa Menerima?
9
Masalah Keluarga Inaya
10
Merasakan Ketulusan
11
Memperbaiki Diri
12
Mengetuk Pintu
13
Lamaran
14
Membalas Lamaran
15
Sebelum Menikah
16
Sah!
17
Sepasar
18
Kehidupan Berdua
19
Membuat Candu
20
Ibu Mertua
21
Antar Jemput
22
Ke Rumah Inaya
23
Kembali Melaut
24
Kabar Gembira
25
Salah Paham
26
Marahnya Inaya
27
Tidak Boleh Melaut
28
Kejutan
29
Masih Tidak Rela
30
Menunggu Kabar
31
Menabrak Karang
32
Kabar Buruk
33
Hilang
34
Dinyatakan Meninggal
35
Memperhatikan Keluarga Suami
36
Beban Berkurang
37
Observasi
38
Mengikhlaskan
39
Satu Tahun
40
Memintanya Menggugat
41
Fatah
42
Janda Inaya
43
Memantapkan Hati
44
Merasa Iri
45
Mengikuti Inaya
46
Diwarnai Pertengkaran
47
Aku Akan Menunggumu
48
Menginap
49
Melewati Malam
50
Kehidupan Pernikahan Kedua
51
Mengganti Panggilan
52
Anggap Sebagai Ujian
53
Jalan-jalan
54
Silahkan datang ke Rumah
55
Periksa ke Dokter
56
Pandangan Berbeda
57
Fatah yang Overprotektif
58
Weko
59
Mantan Istri
60
Menjalani Jalan Masing-masing
61
Menjadi Mekanik
62
7 Bulanan
63
Ketakutan Inaya
64
Bertanya
65
Melahirkan
66
Selapanan
67
Promo Novel Baru
68
Kepergian Fatah
69
Kecelakaan
70
Mengantarkannya
71
Ruwat
72
Tidak Perlu Menggurui
73
Menginap
74
Biarkan Saja
75
Puncak Kesabaran Inaya
76
Menuai Apa yang Ditanam
77
Masih Tidak Sadar
78
Maksud Tersembunyi
79
Siapa Dia?
80
Weko yang Gelisah
81
Deni
82
Apa Aku Pembawa Sial?
83
Tidak Akan Kembali

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!