"Lily ... nama yang cantik," gumam Brian tanpa sadar. Bibirnya tersenyum ketika teringat kelakuan Lily tadi. Sungguh menjadi hiburan tersendiri untuknya.
Sementara itu, Yosep yang melihat senyuman sang atasan dari kaca kecil, ikut merasa bahagia. Lima tahun setelah kematian Nyonya Besar, Brian menjadi lelaki yang dingin dan jarang sekali tersenyum. Lelaki itu hanya tersenyum di depan para klien itu pun hanyalah senyum penuh kepalsuan. Namun, kini Yosep melihat sendiri senyuman tanpa beban itu lagi.
"Yosep, tolong aku. Cari tahu data tentang Lily," perintah Brian.
"Anda menyukainya, Tuan?" tanya Yosep sembari mengulas senyum. Tidak ada jawaban. Brian hanya melayangkan lirikan maut. "Maaf, saya hanya memastikan perasaan Anda saja, Tuan."
"Kamu yang lancang, ya. Mana mungkin aku jatuh cinta dengan gadis menyebalkan seperti itu. Aku hanya ingin memastikan kalau dia tidak kabur dari tanggung jawab," Brian menyanggah. Tidak berani menatap asistennya itu.
"Sepertinya Nona Lily bukanlah gadis yang suka lari dari tanggung jawab. Bukankah Anda sudah mencatat nomor Nona Lily di ponsel pribadi Anda, Tuan? Kenapa Anda tidak mencoba menghubungi?" Yosep berusaha mengompori.
"Diamlah. Lebih baik kamu kemudikan mobil dengan benar. Aku sudah tidak sabar ingin segera sampai di rumah." Brian duduk bersandar sambil memejamkan mata.
"Tuan, Anda harus ingat satu hal bahwa cinta bisa datang dari sebuah pertengkaran yang menghadirkan rindu."
"Yosepppp ...."
"Baik, Tuan. Saya diam sekarang."
Suasana di dalam mobil pun mendadak hening. Hampir setengah jam, akhirnya mobil tersebut masuk ke halaman yang luas. Rumah megah nampak jelas. Brian segera turun dari mobil dan bergegas masuk. Tidak peduli pada sang papa yang sedang duduk di ruang tamu. Ia tidak mengacuhkan pria paruh baya itu. Langsung naik ke lantai tiga di mana kamarnya berada.
Setelah membersihkan diri, Brian segera merebahkan tubuhnya di atas ranjang king size miliknya. Bibirnya lagi-lagi tersenyum ketika teringat Lily.
Ah! Sial! Jangan sampai aku jatuh cinta padanya.
Brian menepuk pipi untuk menyadarkan dirinya. Ia tidak boleh membayangkan gadis itu. Namun, lain di bibir lain di hati. Brian justru mengambil ponsel dan menekan nomor Lily. Menghubungi gadis tersebut. Akan tetapi, sebelum panggilan itu diterima, Brian langsung mematikan.
"Apa yang aku lakukan?" gumam Brian sambil menaruh ponselnya kembali. "Sepertinya aku harus segera tidur."
Lelaki itu berusaha memejamkan mata dan tidur. Tidak mau lagi mengingat Lily. Tidak akan! Tidak akan lagi!
Eittsss!!
Tapi boong ( emoticon menjulurkan lidah) hahaha.
***
Lily menyandarkan sepedanya di tembok. Lalu masuk ke rumah sederhana. Ia bukanlah gadis kaya raya atau gadis miliader yang berpura-pura menjadi anak orang miskin seperti dalam drama. Saat ini ia memang hidup dalam keluarga yang sederhana. Ayahnya dulu adalah seorang pengusaha cukup ternama di desa. Banyak orang yang menyanjung dan memuji mereka. Namun, semua berubah total sejak delapan tahun yang lalu.
Ibunya Lily menderita penyakit akut dan biaya pengobatan tidaklah murah. Harta benda habis untuk berobat. Ya, walaupun pada akhirnya sang ibu harus kembali pada Sang Pencipta, tetapi Lily dan sang ayah tidak menyesal kehilangan harta. Setidaknya mereka sudah berusaha.
"Ayah, Lily pulang."
Gadis itu membuka pintu. Saat melihat sang ayah duduk di ruang tamu, seketika senyum Lily nampak melebar. Gadis itu merangkul lengan sang ayah. Membenamkan ciuman di pipi lelaki paruh baya tersebut.
"Bagaimana dengan hari ini? Apa ada masalah?"
"Tidak ada, Yah. Semua baik-baik saja. Seperti biasa, ada satu dua orang yang rewel," keluh Lily.
"Syukurlah. Lebih baik sekarang kamu mandi dan kita makan bersama. Bibi Imah sudah memasak," perintah Pak Faiz, ayahnya Lily.
"Baiklah."
Sebelum masuk kamar, Lily melihat Bibi Imah sedang menata makanan. Wanita paruh baya yang sudah bekerja dengan keluarganya sejak Lily lahir ke dunia. Mereka sudah menganggap Bibi Imah seperti keluarga sendiri. Seterpuruk apa pun, Bibi Imah selalu setia kepada mereka.
"Bi, gaji bulan ini ...."
"Neng, jangan dipikirin. Bibi tidak minta gaji. Bibi senang sekali bisa tinggal di sini. Neng Lily 'kan tahu kalau bibi ini sekarang sebatang kara," kata Bibi Imah. Berjalan mendekati Lily dan merangkul gadis itu dengan lembut.
"Tapi, Bi—"
"Neng, bibi sudah bilang jangan dipikirkan. Tanpa digaji pun Bibi akan tetap tinggal di sini. Bibi justru senang sekali, bisa berada di keluarga ini yang begitu hangat," timpal Bibi Imah.
"Makasih banyak ya, Bi."
"Sudah, sudah. Lebih baik sekarang Neng Lily mandi dulu. Setelah itu kita makan malam bersama," perintah Bibi Imah. Lily mengangguk mengiyakan lalu berjalan menuju ke kamarnya.
Sebelum mandi, Lily terlebih dahulu mengecek ponselnya. Kening gadis tersebut mengerut dalam ketika melihat ada satu panggilan tidak terjawab. Nomor asing. Mencoba berpikir siapakah gerangan pemilik nomor tersebut. Tidak ada foto profil, tidak ada nickname.
Huuuh. Sungguh misterius.
Lily hendak menaruh kembali ponselnya. Namun, ia terdiam seketika saat mengingat sesuatu. Tadi pagi ia baru saja memberikan nomor ponselnya kepada Brian. Apakah pria itu yang menelepon dirinya?
Mampus gue kalau beneran itu nomor Om Tampan. Gue belum ada uang. Batinnya gelisah.
Walaupun Yosep belum mengirimkan nominal datanya, tetapi Lily yakin kalau biayanya sudah pasti tidak murah. Ia harus memikirkan cara untuk mendapatkan uang.
Lily menekan nomor sahabatnya, mencoba menghubungi Ines. Akan tetapi, tidak ada sahutan dari seberang. Membuat gadis tersebut menggeram kesal. Padahal ia sudah berusaha menghubungi sebanyak lima kali.
Sekarang, jalan terakhir adalah Pak Rama. Dengan wajah serius, Lily berusaha mencari kontak bosnya itu. Untuk meminta bantuan pastinya. Namun, belum juga icon panggil ditekan. Ada satu nomor baru memanggil. Nomor yang berbeda dari tadi.
Gadis itu pun mengembuskan napas kasar. Mencoba menghiraukan sampai dering itu berhenti sendiri. Akan tetapi, seolah tidak menyerah, panggilan dari nomor tersebut kembali masuk. Dengan terpaksa Lily pun menerima.
"Nona Lily?"
"I-iya." Lily mendadak gugup ketika mendengar suara Yosep dari seberang.
Benar 'kan? Ia harus segera mengganti rugi.
"A-Ada apa, Tuan?"
"Jadi begini, data ganti rugi sudah saya akumulasikan. Total keseluruhan ganti rugi yang harus Anda bayar sekaligus biaya sarapan tadi pagi adalah tiga puluh juta."
"Apa?! Kalian gila?!" sentak Lily tanpa sadar. Namun, saat menyadari bahwa ia di rumah tidak sendiri, Lily pun segera menutup mulut. Khawatir sang ayah dan Bibi Imah akan mendengar lengkingan suaranya. "Jangan mencoba memer*sku!"
"Tidak ada yang memer*s siapa pun di sini, Nona. Semua ada nota nya. Jika Anda tidak percaya, silakan datang ke kantor."
"Baiklah, besok gue ke kantor!" ujar Lily berani.
"Tapi, jika Anda mau ke kantor, usahakan memakai baju yang cantik dan feminim, Nona. Karena Tuan Brian tidak suka kedatangan tamu yang—"
"Baiklah, diam. Gue udah paham."
Panggilan itu pun terputus sepihak. Dari seberang sana, Yosep sedang tertawa sendiri. Tidak sabar melihat pertunjukan besok.
Tuan ... saya sungguh tidak sabar melihat Anda bertemu Nona Lily.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Rahma Inayah
lanjutkn
2025-04-19
1
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar🌻
Aku mendukungmu Yosep 🤭😃
2025-04-11
1
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar🌻
waduh,ada biaya sarapan 🤣🤣🤣
2025-04-11
1