Bab 02

Perusahaan Anggara Group. 

Lily melongo ketika melihat gedung yang menjulang tinggi di depannya. Bukan hanya satu dua, tapi puluhan lantai. Ini adalah pertama kalinya ia datang ke tempat itu. Rasanya sungguh sangat gugup. 

Sepeda butut Lily terparkir di sebelah mobil mewah. Ia mengamati mobil sampingnya. Sepertinya tidak asing. Lalu, ia memutari mobil tersebut dan matanya membulat penuh ketika melihat goresan di mobil itu. 

"Ini mobil yang gue tabrak tadi pagi?" gumam Lily. "Bagaimana bisa ada di sini?" 

Dengan gegas, Lily pun memindah sepedanya. Menuju ke parkiran paling ujung yang hampir tidak terlihat. Lalu ia memakai masker dan membawa bucket bunga itu menuju ke resepsionis. 

Mata gadis itu celingukan. Berharap tidak akan bertemu dengan pria tadi pagi. Kalau sampai kembali bertemu, sudah pasti ia harus segera mengganti rugi, sedangkan saat ini dirinya tidak membawa uang sepeser pun. 

"Nona? Ada perlu apa?" tanya resepsionis mengejutkan Lily. 

"E—saya mau mengantar bucket bunga ini." 

"Pesanan dari?" 

Lily menunduk mengambil ponsel dari dalam tas kecilnya. Untuk melihat data pemesan bunga itu. Ia tidak menyadari kalau di belakangnya, baru saja lewat pria yang ia sebut Om Tampan. Melangkah keluar dari perusahaan itu. 

"Atas nama Tuan Brian Setya Anggara." 

"Tuan Brian? Dia baru saja keluar dari pintu, Nona. Lebih baik Anda mengejarnya sebelum terlambat." Resepsionis itu memerintah. 

Lily menoleh ke belakang. Melihat dua pria yang memang baru keluar pintu. Dengan berlari cepat, ia mengejar mereka. Sambil melindungi bucket bunga itu agar tidak rusak. 

"Tuan, tunggu ...." Lily berteriak. Menghentikan langkah keduanya. "Tuan, ini bucket bunga dari Pak Rama." 

Kedua pria itu menoleh. Tepat ketika Lily mendongak. Matanya mendelik tajam ketika melihat mereka. Jantungnya berdebar kencang. Seolah hendak meledak. 

Sialan! Kenapa harus ketemu Om Tampan lagi. 

"Hei!" Brian melambaikan tangan di depan Lily untuk menyadarkannya. "Kenapa kamu melamun?" 

"Tuan, Maaf. Saya hanya lapar. Ini pesanan Anda. Kalau begitu saya permisi." Lily memberikan bucket itu dengan cepat. Lalu melangkah lebar hendak pergi. 

Ah! Aman. 

Eittsss!! Tapi itu salah. Gadis itu justru tersentak ketika kedua kakinya menggantung. Brian sudah menarik kerah bajunya. 

"Apa elu mau bunuh gue?!" sentak Lily tanpa sadar. Wajahnya sudah memerah karena napasnya hampir habis. Brian pun segera melepaskan hingga membuat gadis itu jatuh di lantai. 

"Tidak salah lagi! Kamu gadis yang tadi pagi." 

"Tu-tuan. Anda salah mengenali orang. Saya bukan—" 

"Kamu pikir aku bodoh?"

"Hehehe." Lily menunjukkan rentetan gigi putihnya. Juga dua jari tanda damai saat Brian sudah membuka masker yang dikenakan Lily. Sekarang, ia tidak bisa lagi menyanggah apa pun. 

Tatapan Brian yang begitu dalam membuat Lily beringsut takut. Ia sedikit mundur untuk menghindar. Namun, Brian sudah terlebih dahulu mencekal tangannya dengan kuat. 

"Saya harus pergi sekarang. Sebelum Pak Rama memecat—"

"Bukankah kamu bilang kalau lapar? Sekarang, ikut sarapan denganku." Brian memerintah. 

"Tapi bagaimana dengan—"

"Urusan Rama, biar Yosep yang mengurusnya." 

"Oh astaga ....." Lily berdecak kesal ketika Brian sudah menarik tangannya. Tanpa memberi waktu padanya untuk menolak. Menyuruh masuk ke mobil belakang dan segera meminta Yosep untuk melajukan mobil itu. 

"Kita mau ke mana?" tanya Lily. Ia menatap ke luar jendela. Khawatir Brian akan menculiknya. 

"Kamu tidak perlu tahu." Brian menjawab jutek. 

"Jangan bilang kalau elu mau nyulik gue," tuduh Lily. "Masalah ganti rugi, gue usahain nanti. Kalau elu berani nyulik gue maka gue akan teriak." 

"Silakan kalau berani," tantang Brian sambil tersenyum sinis. 

"Toloonggggg!! Tol— emmmm ...." 

"Kamu gila!" sentak Brian kesal. Jantungnya hampir copot. Jika sampai ada yang mendengar, bisa-bisa ia dianggap penculik sungguhan. "Aawwww!! Berani sekali kamu menggigitku!" 

"Rasain!" Lily justru menjulurkan lidah. Meledek tanpa takut sedikit pun pada Brian. 

"Yosepppp!" 

"Maaf, Pak." Yosep menahan tawa. Hampir saja meledak. Sepuluh tahun berada di samping Brian, baru kali ini dirinya melihat ada wanita yang berani terhadap atasannya itu. 

Mobil yang dikemudikan Yosep berhenti di depan sebuah restoran mewah. Lelaki itu segera keluar dan membuka pintu untuk Brian. Sementara Lily keluar dari pintu sebelah. Langsung meregangkan ototnya. 

"Ahhh!!" Lily menguap, tapi langsung menutup mulut ketika Brian menyentil keningnya. 

Tanpa berbicara apa pun, Brian berjalan lebar masuk ke restoran itu. Disusul oleh Yosep dan Lily di belakangnya. Lagi dan lagi, Lily dibuat terpukau dengan mewahnya restoran itu. Mereka menuju ke ruangan VIP. Brian segera duduk di sofa. Yosep pun duduk di sebelahnya. 

"Gue duduk di mana?" tanya Lily. Ia terkejut ketika Brian sudah menarik tangannya hingga ia pun duduk tepat di samping pria itu. 

Mereka pun sarapan bersama. Setelah selesai, Brian mengantar Lily sampai ke toko bunga milik Rama. Tidak ada pembicaraan apa pun. 

"Terima kasih." Lily sedikit membungkuk hormat. 

"Untuk apa berterima kasih? Sarapan tadi, aku tambahkan ke biaya ganti rugi. Totalnya nanti biar Yosep yang mengirimkan datanya untukmu." 

"Apa?!" Baru saja Lily hendak mendebat. Mobil itu melaju pergi begitu saja. Hal itu membuat Lily naik pitam. Ia berkacak pinggang sambil terus mengumpati pria tersebut. "Dasar Om Tampan yang menyebalkan!" 

"Lily, elu kenapa?" tanya Ines ketika melihat sahabatnya marah-marah.

"Apa elu tahu, Nes?" 

"Kagak." Ines menjawab santai. 

"Oh, astaga! Elu makin bikin gue kesal!" Lily berjalan menghentak meninggalkan sahabatnya. Bibirnya terus saja menggerutu. Merasa sangat kesal. 

"Lily ...."

"Apa?! Elu juga mau bikin gue kesal! Setelah Om-om itu, ditambah Ines. Sekarang elu mau bikin gue kesal?!" Lily kembali berkacak pinggang. Memasang wajah yang begitu menantang. 

"Kamu sudah berani padaku? Apa kamu mau ku pecat?" 

"E-eh, Pak Rama. Maaf, Pak. Saya hanya terbawa emosi. Izin kembali bekerja, Pak." Lily berjalan cepat hendak meninggalkan Rama, tapi karena tidak hati-hati, ia justru menabrak dada bidang bosnya itu. "Oh, astaga." 

"Kamu tidak perlu bekerja hari ini. Sekarang ikut aku ke ruangan dan setelahnya kamu bisa pulang," kata Rama. Melangkah pergi hendak kembali ke ruangan. Namun, Lily menahan lengan pria itu dengan segera. 

"Saya mohon jangan pecat saya, Pak. Saya masih butuh pekerjaan ini." Lily merengek. Seperti anak kecil yang meminta permen. Sementara Rama berdecak kesal. Tanpa peduli pada gadis itu, ia kembali ke ruangan disusul oleh Lily. 

"Aku mau tanya, dari mana kamu mengenal Brian?" tanya Rama penuh penekanan. 

"Brian?" Alis Lily saling bertautan. Nama yang tidak asing. "Oh, Om Tampan itu. Saya hanya tidak sengaja bertemu dengannya tadi pagi. Saya ... menabrak mobilnya." 

"Apa? Lalu bagaimana keadaannya?" 

"Bapak lihat? Saya baik-baik saja. Tidak ada lecet sedikit pun. Bapak tenang saja, walaupun saya tidak cantik, tapi saya tidak akan membiarkan tubuh saya terluka sedikit pun. Au!" Lily berkedip ketika Rama menyentil keningnya. 

"Bukan kamu, bagaimana keadaanya mobilnya? Apa rusak parah?" 

Lily mengembuskan napas kasar. Ternyata ia terlalu percaya diri. 

Ternyata mobil lebih berharga daripada gue. 

Terpopuler

Comments

Eli Aryanti

Eli Aryanti

Hehehe Lily kamu benar benar sangat berani dan polos 😍😍

2025-04-16

1

merry yuliana

merry yuliana

crazy up sering sering ya kak

2025-04-09

0

◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar🌻

◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar🌻

waduh 🤣🤣🤣

2025-04-10

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!