Bab 2 | Tatapannya Berbeda

Suasana ruang rapat yang tadinya penuh tawa perlahan mereda. Yuto menyandarkan punggungnya ke kursi dan menautkan jemarinya di atas meja. Tatapannya menyapu seluruh ruangan. Dia terlihat mulai menilai, seakan siap mendengar, siap menyerap.

“Sekarang saya mau tahu, Bapak, Ibu, dan Kakak-kakak,” ucapnya serius, nada bicaranya menjadi lebih fokus. “Akhir-akhir ini lagi ngerjain apa? Ada project baru atau kendala yang lagi dihadapi?”

Pak Andi refleks mengangkat tangan. Kelihatan semangat kali. “Saya dulu ya, Pak.”

Yuto mengangguk dengan senyum tipisnya.

“Minggu ini saya lagi ngatur pengiriman ke Tokyo. Barangnya udah siap di gudang, tapi ada kendala di kontainer. Perusahaan pengangkut yang biasa kita pakai katanya overload minggu ini. Jadi kita lagi cari opsi alternatif biar nggak molor kirimannya.”

“Overloadnya karena cuaca atau mereka memang kekurangan armada, Pak?” tanya Yuto cepat.

“Kurang armada, Pak. Katanya ada penambahan pengiriman dari klien lain, jadi slot kita ditunda.”

Yuto mengangguk pelan. “Berarti harus punya vendor backup, ya. Kalau Tokyo delay, mereka bisa panik. Ada opsi lewat pelabuhan lain?”

“Ada, tapi biayanya lebih mahal, dan waktu tempuh bisa beda dua hari,” ujar Pak Andi sambil membuka catatan logistiknya.

"Oh ya, bukannya kita juga kirim Bumbu Mie Aceh yang basah? Aman pakai kapal?"

“Betul, Pak. Bumbu Mie Aceh yang basah memang kita kirim juga. Tapi kita udah pakai metode pengemasan khusus. Kita vakum dan dikemas berlapis dalam pouch alumunium foil food grade, terus dimasukkan ke box berpendingin. Bumbunya juga udah diproses dengan pasteurisasi ringan, jadi aman disimpan suhu ruang selama pengiriman.”

Pak Andi melanjutkan, “Kami selalu pilih kontainer jenis reefer container, yang ada pendingin suhunya, biar stabil selama perjalanan laut. Jadi kualitasnya tetap terjaga sampai tiba di Tokyo.”

“Nanti saya bantu follow up vendor, Pak.”

“Siap, Pak.”

Lalu Bu Lia bersuara. “Dua hari yang lalu kami temukan beberapa kemasan bermasalah, Pak, terutama untuk produk Sambal Terasi sama Bumbu Mie Aceh. Isi produknya aman, tapi ada beberapa botol dan plastik yang penyegelnya nggak rapat. Kalau sampai dikirim ke Tokyo dalam kondisi kayak gitu, bisa dianggap nggak layak jual.”

“Yang bermasalah dari batch produksi tanggal berapa, Bu?”

“Batch tanggal 21 sampai 23 April, Pak.”

“Produk dari UMKM yang mana?”

“Dari dua mitra, Pak. Tapi dua-duanya dari Langsa. Rata-rata masalahnya ada di proses penyegelannya sih. Mereka masih pakai alat semi manual, jadi kadang memang kayak gitu. Kami udah koordinasi juga ke tim kurasi, supaya dicek lagi.”

Yuto mengangguk, lalu bertanya lagi. “Untuk penyegelan, kita bantu di gudang, kan?”

“Betul, Pak. Tapi untuk batch ini, beberapa sudah lolos masuk gudang sebelum dicek ulang. Kami langsung tahan semuanya begitu ditemukan masalah.”

“Bagus. Segera tahan distribusinya. Kalau perlu, kita review ulang SOP pengecekan sebelum barang loading ke kontainer, terutama untuk produk yang sensitif di pengemasan. Kita udah dipercaya pasar Jepang. Sekali aja kita kirim produk cacat, kepercayaan itu bisa hilang.”

“Siap, Pak.”

Sisi, yang duduk di sebelah Imah, melanjutkan. “Saya bantu desain label dan materi promosi, Pak. Kami lagi revisi desain untuk etalase toko di Tokyo, sama bikin video pendek buat LED screen di depan outlet.”

“Video pendek? Formatnya vertikal atau horizontal?”

“Horizontal, Pak. Buat LED screen ukuran 16:9.”

“Durasinya?”

“Sekitar 30 detik. Kami pakai konsep warna earth tone biar lebih kalem, sesuai selera visual Jepang yang nggak suka terlalu ramai.”

“Good. Tapi jangan lupakan elemen lokal ya, Kak. Produk kita tetap harus punya identitas Indonesia.”

Sisi mengangguk cepat. “Iya, Pak. Kami lagi eksplor musik latar pakai lagu-lagu Aceh, biar ada sentuhan lokalnya. Masih kami cari yang pas sih, Pak.”

Yuto mengangkat alis, terkesan. “Menarik itu, Kak”

Imah juga ikut melapor, "Saya fokus urus invoice, packing list, sama laporan bulanan, Pak. Tapi lagi repot kali, karena ada revisi dokumen dari kantor Tokyo. Format laporan kita nggak sesuai sama sistem baru mereka."

“Sistem baru?” tanya Yuto, matanya menajam.

“Ya, Pak. Mereka sekarang pakai sistem berbasis ERP. Format kita masih manual pakai Excel biasa.”

“Kalau nggak segera adaptasi, bisa makan waktu banyak buat revisi. Kakak udah sempat minta panduan dari mereka?”

“Udah, Pak. Tapi mereka kirimnya dalam Bahasa Jepang.”

Yuto tertawa kecil. “Nanti saya bantu terjemahkan, ya. Kita buat template tetap, jadi bulan depan tinggal pakai.”

“Siap, Pak.”

Akhirnya, Yuto menoleh ke Fara. Nadanya yang semula tegas dan berwibawa, mendadak melembut.

“Kalau kamu, Fara?”

Fara yang sedari tadi mendengarkan, cepat-cepat mengangkat wajah dan menjawab hati-hati.

“Saya bantu konten sama materi promosi digital untuk cabang Tokyo, Pak. Minggu ini lagi bikin storyboard video perkenalan outlet, buat ditayangin di channel YouTube mereka.”

“Formatnya animasi atau live shoot?” tanya Yuto pelan. Lembut kali suaranya.

“Live shoot, Pak. Kami mau ambil footage dari dapur, etalase, dan pelanggan yang datang. Konsepnya sehari di toko gitu.”

Yuto menyipitkan mata, mencoba mengingat.

“Kamu yang bikin video slow-mo goreng bakwan waktu acara ulang tahun kantor, kan?”

Fara membeku dan berkedip sesaat. “Eh, i-iya, Pak.”

Yuto tersenyum kecil. “Cocok. Sentuhan kamu khas. Nanti tunjukin storyboard-nya ke abang, ya.”

“Oke, Pak.” Fara mengangguk pelan, senyumnya malu-malu, merasa canggung mendengar Yuto menyebut 'Abang'.

Sementara itu, staf lain mulai saling pandang. Ada yang berdeham kecil, ada pula yang pura-pura sibuk mencatat, tapi tentu saja, mereka menyadari itu. Cara Yuto memandang Fara, serta nada bicaranya ketika bicara kepada Fara, jelas berbeda.

“Kalau gitu…” Yuto akhirnya berdiri, kembali membuat mereka syok saat mendapati ternyata bos mereka cukup tinggi. Tak hanya itu, tubuhnya juga tampak sangat gagah, sangat menarik. Bisa dipastikan tak lama lagi dirinya akan menjadi idola baru di kantor. “Ayo tunjukkan di mana ruangan kita. Saya belum tahu di mana soalnya.”

Semua anggota timnya buru-buru berdiri. “Ayo, Pak! Saya tunjukkan! Meja bapak pun saya sendiri yang tata, loh!” kata Pak Andi. Semangat kali ngomongnya.

Yuto lekas mengikuti langkah Pak Andi yang sudah lebih dulu melangkah keluar dari ruang rapat. “Pak, gausah panggil saya 'Pak'. Panggil nama aja gapapa, Kok,” kata Yuto, sudah melangkah di samping Pak Andi.

“Ya nggak boleh lah, Pak. Walaupun saya jauh lebih tua, tapi bapak kan atasan saya. Harus tetap saya hormati. Santai aja, Pak…” Pak Andi menepuk ramah punggung Yuto. “Wih, bapak ternyata tinggi kali, ya. Keknya keluarga bapak tinggi-tinggi semua, ya. Pak Yuki tinggi, Pak Rio pun tinggi. Kemaren itu pernah ke sini juga, katanya ibunya Pak Yuki. Beuh, tinggi juga! Nenek bapak lah ya itu?”

“Nek Ani maksud bapak?”

Pak Andi tampak ragu. “Saya nggak tahu sih namanya. Tapi tinggi kali orangnya. Di bawah bapak dikit.”

Yuto tersenyum bangga. “Nenek saya yang tinggi ya cuma Nek Ani, Pak. Dulu Nek Ani atlet basket. Jago tinju juga, kayak mama saya.”

“Ha… iya, saya pernah dengar itu, Pak! Adik bapak katanya juga pernah jadi atlet tinju, ya?”

Yuto mengangguk, semakin merasa bangga. “Iya, tapi dulu waktu masih sekolah. Sekarang dia udah kuliah, nggak papa saya kasih lagi.”

“Padahal keren loh, Pak, kalau dilanjutin. Jaman sekarang cewek harus tangguh. Soalnya ada banyak kejahatan. Anak saya aja saya suruh latihan silat. Nggak masalah kadang saya yang kena hajar.”

Yuto tertawa geli. Sepertinya ia mulai mengerti, kemungkinan Pak Andi ini memang lawak kali orangnya.

Di belakang mereka, sekitar beberapa langkah saja, Bu Lia, Sisi, Imah, dan Fara menyusul. Mereka melangkah pelan, tetap bisa mendengar obrolan antara bos mereka dan Pak Andi di depan sana.

“Heh, itu Pak Yuto kok gitu kali sama kau, Dek? Katanya nggak dekat kali, tapi cara dia natap kok kayak lagi lihatin adek sayang?” tanya Bu Lia tiba-tiba, jalannya sudah mepet ke Fara.

Sisi dan Imah mengangguk.

“Iya, Ngomongnya pun lembut kali. Kayak cowokku kalo lagi minta jatah,” gumam Imah, yang kemudian dikeplak kepalanya sama Sisi.

“Berzina kau, ya?!” sembur Sisi.

Imah pun tersadar. Keceplosan dia ternyata. “Ih, *astagfirullah*! Enggak, loh! Salah ngomong aku tadi. Maksudku, kalau cowokku minta dimasakin sesuatu, ngomongnya pasti jadi lembut kek Pak Yuto tadi.”

“Heleh, ngeles pula kau. Jangan kau berzina. Kasihan tetanggamu ikut tanggung dosamu… mending kelen nikah terus. Entah apa pacaran. Mau sampai kapan pacarannya?” Si jomblo sedang menasehati.

“Cih, kau jomblo diam ajalah.”

“Justru aku milih jomblo dari pada pacaran.”

“Heh, diam dulu kelen. Ibu lagi tanya sama Fara.” Bu Lia kembali melirik Fara. “Cepat jawab, kok kek gitu kali tadi Pak Yuto? Apa saling suka kelen?”

Langsung matang pipi si Fara. Mungkin bentar lagi keluar asap dari hidungnya. “Apalah ibu ini. Ya enggak, lah. Pak Yuto itu sepupu sahabat Fara loh, Bu. Tapi memang, dulu, sebelum Pak Yuto kuliah ke Kyoto, ya kami sering ketemu. Soalnya, keluarga mereka tuh suka pergi berenang sama-sama, terus suka ajak Fara. Kadang main ke pantai yang di Idi, ajak Fara juga. Kadang mereka bikin bakar-bakar di rumah orang tuanya Pak Yuto, Fara juga diundang. Gitu… makanya kenal, tapi sebenarnya nggak kenal-kenal kali. Cuma sering ketemu aja.”

Fara melanjutkan, “Mungkin karena Fara dekat sama sepupunya, jadi Pak Yuto anggap kayak adiknya juga. Karena dulu pun Pak Yuto memang kek gitu kalo ngomong sama Fara. Nggak sama Fara aja, ke semua adik sepupunya kek gitu juga. Memang lembut orangnya.”

Mendengar penjelasannya, Bu Lia, Sisi, dan Imah mengangguk mengerti, tetapi mereka tetap merasa tak sepenuhnya yakin, karena bagi mereka, memang ada yang berbeda dari cara Yuto menatap dan berbicara kepada Fara tadi.

.

.

.

.

.

Continued...

Terpopuler

Comments

Ibu² kang Halu🤩

Ibu² kang Halu🤩

ahhh, babang Yuto memang menghanyutkan kali ya, bikin dedek Fara jadi merona pipinya😍😍🤩

2025-04-07

2

magdalenad dewi simarmata

magdalenad dewi simarmata

adek Fara cuek kali ya,, macam ruka calon camer

2025-04-07

2

Tita Rosmiati

Tita Rosmiati

babang yuto udah bucin yh sama dedek Fara 🤭🤭

2025-04-07

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!