Makan Malam

Tidak disangka seseorang yang datang dan menghampiri mereka adalah wanita yang sudah mengalihkan dunia dan pikiran Bagaskara. Wanita itu tak lain adalah Gabie.

Seketika mata elang Bagaskara langsung berbinar dan jantungnya langsung berdegup kencang, apalagi sosok Gabie semakin mendekat ke arah mereka. Dia benar-benar tidak menyangka, jika wanita yang selalu menghantui pikirannya, kini sudah berada di hadapannya.

Begitu juga dengan Gabie. Dia sangat terkejut, saat melihat sosok Bagaskara di hadapannya. Lelaki yang membuatnya kesal sekaligus penasaran untuk mengenalnya lebih jauh. Seketika Gabie menjadi gugup. Tetapi dia berusaha tenang.

"Halo, Om! Saya Gabie," Ucapnya sambil tersenyum dan mengulurkan tangan ke arah Pradipta.

"Halo, Gabie! Wah, kamu sekarang sudah besar, ya? Terakhir ketemu kamu masih kecil dan sering ngambek," Ujar Pradipta sambil tertawa, membuat semua orang yang hadir di sana ikut tertawa, termasuk Bagaskara. Tentu saja membuat pipi Gabie bersemu merah.

"Oh, iya, kenalkan ini anak Om. Namanya Bagaskara," Lanjut Pradipta sambil memegang bahu Bagaskara.

"Oh, iya, Om! Kenalin saya, Gabie," Jawab Gabie sambil tersenyum dan segera mengulurkan tangannya ke arah Bagaskara. Lelaki itu pun ikut mengulurkan tangannya.

Mereka berpura-pura baru saling mengenal satu sama lain dan saling memperkenalkan diri di depan orang tua mereka.

Untuk sesaat tatapan mereka bertemu. Wajah Gabie semakin bersemu merah, sedangkan Bagaskara terus menatap wajah Gabie.

"Hmm ... Jangan lama-lama dong pegang tangan Gabie nya." Pradipta berkata sambil tersenyum dan menepuk pundak Bagaskara. Membuat semua orang kembali tertawa.

"Maaf," ucap Bagaskara, sambil melepaskan tangan Gabie. Mereka berdua tampak salah tingkah.

"Sepertinya cocok sekali jika kita besanan," gurau Hendra.

"Ayah, apaan sie?" Gabie berkata dengan bibir cemberut.

"Lho, apa kamu tidak tertarik dengan anak om yang ganteng ini?" Goda Pradipta, membuat wajah Gabie semakin merah seperti yg tomat. Tentu saja membuat Bagaskara sangat gemas melihatnya.

"Sudah, jangan menggoda mereka terus. Aku sudah masak banyak lho, mubazir kalau ga langsung di makan." Chintya berkata sambil melirik dan tersenyum ke arah Bagaskara.

Entah, kenapa ada kehangatan yang di rasakan Bagaskara saat tatapan mereka bertemu. Dia merasa ada sinar keibuan di kedua mata wanita yang selama ini di bencinya.

"Yuk masuk! Istri saya sudah masak banyak," ajak Pradipta sambil berjalan ke dalam rumah di ikuti oleh mereka semua.

Sebenarnya Bagaskara males menemani orangtuanya jika ada tamu. Tetapi, kali ini sangat berbeda. Ada seseorang istimewa di tengah mereka.

Pradipta dan Chintya saling melempar pandang dan tersenyum. Setelah bertahun-tahun, ini pertama kalinya Bagaskara mau di ajak makan malam bersama. Mereka yakin semua ini karena kehadiran Gabie.

Saat makan malam itu sedang berlangsung. Tiba-tiba Mama Gabie berkata, "Kalian ini, teman masa kecil lho! Masa tidak ingat?" Mendengar itu, Bagaskara dan Gabie terkejut. Mereka saling melempar pandang dan mencoba mengingat masa lalu.

"Pantas saja, waktu kami pertama kali bertemu. Sepertinya wajah Gabie tidak asing," ucap Bagaskara, menatap lekat wajah Gabie.

"Jadi kalian sudah pernah bertemu?" Pradipta berkata dengan suara sedikit kencang karena tidak menyangka, jika Bagaskara dan Gabie sudah saling mengenal.

"Pah

"Chyntia berkata sambil mengelus lembut lengan suaminya.

"Maaf! Saya tidak menyangka, jika anak-anak kita sudah saling mengenal," Pradipta berkata sambil menatap gemas Bagaskara. Ingin sekali dia mengacak rambut putera semata wayangnya itu.

"Kenapa kalian tidak bilang, jika sudah pernah bertemu?" Tanya Amanda, menatap kedua anak muda di depannya.

"Hmm ...." Tampak Gabie dan Bagaskara salah tingkah.

"Sudah, ayo, kita lanjutkan makan lagi!" Ucap Chyntia lembut.

Mereka pun melanjutkan makan malam, sambil bercengkrama dan di selingi canda tawa.

Setelah makan malam selesai. Bagaskara memutuskan mengajak Gabie mengobrol di taman. Mereka duduk berdampingan di bangku panjang yang berada di taman itu.

"Gue gak nyangka, ternyata kita teman masa kecil," ucap Gabie menatap lurus ke kolam ikan yang berada di hadapan mereka.

"Sama! Gue juga!" Jawabnya Bagaskara sambil melirik ke arah Gabie.

Gabie menarik napas ikut melirik Bagaskara. Tatapan mereka bertemu. Namun, Gabie segera memalingkan wajahnya dan menatap kembali lurus ke kolam ikan. Tentu saja, membuat Bagaskara tersenyum.

"Oh, iya, kita belum tukeran nomor wa, nie." Bagaskara berkata sambil mengeluarkan ponselnya dan memberikan ponselnya ke Gabie.

Awalnya Gabie ragu. Tetapi, tatapan Bagaskara mampu membuat jantungnya berdegup kencang. Dia pun segera mengambil ponsel itu dan mengetik nomornya.

Bagaskara langsung merebut ponselnya dan memberikan nama kontak Gabie dengan nama pelangiku.

"Pelangiku?" Tanya Gabie sambil mengerutkan keningnya.

"Aku gak suka hujan!" Ucap Bagaskara terlihat ada guratan kesedihan di wajahnya.

"Maksudnya?" Gabie bertanya dengan wajah yang semakin tidak mengerti sambil menatap lekat Bagaskara.

"Aku berharap, kamu bisa jadi pelangi buat aku setelah hujan datang!" Bagaskara berkata sambil menatap Gabie. Sehingga kini mereka kembali saling tatap.

Untuk sesaat hanya mata mereka yang bicara. Semilir angin malam menerpa tubuh mereka. Dinginnya udara malam tidak terasa dengan perasaan hangat yang kini mengalir di hati mereka.

"Sepertinya kalian berdua terlihat cocok banget!" Ucap Hendra yang tiba-tiba sudah berada di dekat mereka.

Tentu saja, mereka berdua terkejut. Apalagi yang hadir di samping mereka bukan Hendra saja, ada Amanda, Pradipta dan Chyntia.

"Sudah malam, ngobrolnya di lanjut lewat telepon saja!" Lanjut Hendra dengan nada menggoda. Gabie hanya bisa tersipu malu, sedangkan Bagaskara menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Akhirnya keluarga Gabie berpamitan pulang. Setelah keluarga Gabie sudah pulang, Bagaskara berniat untuk segera ke kamarnya.

"Bagas, tunggu!" Perkataan Pradipta membuat langkah Bagaskara tertahan.

"Aku capek! Aku tidak ingin membicarakan apapun!" Bagaskara berkata dengan nada ketus, tanpa menoleh ke arah ayahnya.

Mendengar perkataan Bagaskara, membuat Pradipta tersulut emosi. Dia berniat ingin mengejar Bagaskara, tetapi di tahan oleh Chintya.

"Sabar, Pah!" Ucapnya sambil mengelus pundak suaminya, membuat Pradipta hanya bisa menghela napas kasar.

...****************...

Malam itu, pikiran Bagaskara terus dipenuhi dengan Gabie. Betapa senangnya dia bisa bertemu bahkan mengenalnya lebih dekat.

"Bahagia dan beruntung banget sie, gue," Teriak Bagaskara dengan wajah bahagia.

Dia segera mengambil ponsel dan mencari nama pelangiku di kotak ponselnya.

Setelah berfikir Bagaskara memilih untuk memberi pesan kepada Gabie. Jujur saja, sebetulnya dia masih ingin mengobrol bersama Gabie. Namun, waktu yang sudah mulai larut membuat mereka berdua harus menyudahi obrolan tersebut.

Gabriella Anastasya

^^^Woi! Katanya kamu mau follback ig aku!^^^

Bawel! Kamu!

^^^Dih! Konyol!^^^

Udah tuh! Puas?

^^^Nuhun, geulis.^^^

Dih?

^^^Hahaha^^^

Kira-kira seperti itulah sedikit isi pesannya.

Tanpa sadar senyum lebar sudah menghiasi wajahnya.

"Jawabannya ketus aja, aing salting" Dengan senyum lebarnya yang belum pudar.

...****************...

Berhubung masa skors nya masih empat hari lagi dan dia belum bisa bertemu dengan teman-temannya. Bagaskara merasa sangat bosan kalau harus berdiam di dalam kamarnya. Sepanjang hari, dia hanya sibuk bermain ponsel atau bermain gitar.

Bagaskara sangat menyukai udara pada sore hari. Menurutnya udara sore itu lebih sejuk dengan cuacanya yang indah saat matahari mulai terbenam dan kebetulan, saat itu sudah pukul jam tiga sore.

Bagaskara memilih pergi ke warung kopi yang biasanya dia datangi bersama teman-temannya jika mereka sedang malas ke markas. Sambil menikmati angin bandung.

Warung kopi ini, tempatnya enak untuk jadi tempat nongkrong. Apalagi datangnya saat sore hari, dan minum kopi sambil menikmati matahari yang mulai terbenam. Kadang sambil ngobrol sama Mang Udin.

Mang Udin itu yang punya warung kopi tempat nongkrongnya Bagaskara dan teman-temannya, beliau orangnya sangat ramah dan mudah akrab dengan orang-orang baru. Makanya, Bagaskara dan teman-temannya sudah sangat akrab dengan Mang Udin.

Kalau kata Mang Udin, Dia sudah anggap Bagaskara dan teman-temannya seperti anaknya sendiri. Dia sudah mengenal mereka dari mereka masih kelas tiga SMP.

Akan tetapi, walau pun sekarang mereka sudah mempunyai markas, hal itu tidak membuat mereka melupakan warung kopinya Mang Udin.

"Tumben Gas, datangnya sendiri. Teman-temanmu kemana?" Tanya Mang Udin.

"Tumben juga, datangnya tidak pakai seragam?"

Tanyanya lagi memotong ucapan Bagaskara yang hendak menjawab.

"Biasa Mang, Saya sama teman-teman lagi di skors. Untuk sekarang ini saya belum bisa bertemu sama mereka," Jelas Bagaskara.

"Kebiasaan Kalian mah! Ini Mang Udin kasih pesan. Maneh itu sebentar lagi lulus, Jangan sampai Maneh di cabut dari sekolah!" Ucap Mang Udin.

"Sampaikan pesan ini ke barudak juga, Gas!" Ucap Mang Udin lagi yang berusaha menasehati Bagaskara dan berharap supaya dia dan teman-temannya bisa berubah.

"Iya Mang, Makasih sudah menasehati saya. Nanti saya sampaikan juga pesan ini ke barudak," Jawabnya sambil menyeruput kopi hitam yang mulai dingin karena belum dia minum.

Memang Bagaskara terkesan seperti mengabaikan pesan tersebut. Tetapi, dia selalu benar-benar memikirkan pesan yang disampaikan Mang Udin.

Terdengar bunyi dering dari ponselnya. Ternyata itu telepon dari salah satu temannya. Bagaskara segera mengangkat telepon tersebut.

"Woi! Dikta! Gimana keadaan maneh?" Ucap Bagaskara setelah ponsel terhubung. Dia sedikit teriak kearah ponselnya.

"Alhamdulillah, Sehat." Jawab Dikta dari seberang sana.

"Alhamdulillah. Ada apa maneh telepon aing?"

"Enggak. Aing cuma mau tanya, Semenjak kejadian kemarin maneh sama anak-anak masih tetap nongkrong atau bubar sementara?" Tanya Dikta.

"Bubar dulu Ta. Polisi pasti masih ngawasin aing sama barudak," Jawab Bagaskara dengan nada frustasinya.

"Yaelah! Baru mau ngajak nongkrong, nih!"

"Btw, maneh lagi dimana, Gas?" Tanya Dikta.

"Biasa, Warung Mang Udin," Jawab Bagaskara.

"Sini, Dikta! Kita ngopi bareng!" Teriak Mang Udin agar Dikta mendengarnya.

"Mau Mang sebenarnya, Tapi situasinya masih gak aman!" Jawab Dikta kepada Mang Udin.

"Udah! Ah! Ta! Ganggu aing ngobrol sama Mang Udin maneh" Ucap Bagaskara dengan ketusnya.

"Yeu, T*i Lo!" Jawab Dikta yang sedikit sebal.

...****************...

Bagaimana kelanjutan hubungan Bagaskara dan Gabie?

Apakah kehadiran Gabie, mampu memperbaiki hubungan Bagaskara dengan orang tuanya?

Yuk, ikuti kelanjutannya di bab berikutnya.

Visual: Aishakar Rafka Bagaskara

Visual: Gabriella Anastasya

Terpopuler

Comments

asrikaa

asrikaa

lanjuttt...bagus banget 😍

2025-04-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!