...Happy Reading!...
"Raden Mas Maleo Javares!'' Wanita yang berprofesi sebagai seorang guru itu menjerit kala menemukan seorang pemuda kelas sebelas yang dengan santainya tidur terlentang di atas genting gudang penyimpanan dengan santai, seraya memakan apel hijau.
Ia telah mendengar seberapa bar-bar tingkah anak didiknya itu, dan sebagai seorang guru bimbingan konseling yang baru dilantik sudah sewajarnya ia untuk menegur Maleo.
Namun hal yang membuatnya sulit ialah, sifat bandel anak itu.
Seperti kali ini, ia mendapati Maleo yang tengah terduduk lesu di ruang guru. Tidak seperti biasanya yang akan menanggapi hal ini dengan santai.
"Bu, boleh curhat ga?" Bu Fitri— guru baru itu menatap Maleo seolah meragukan anak dihadapannya.
"Tumben, biasanya kamu nyi nyi nyi." Akhir kata Bu Fitri menirukan gaya Maleo saat diberi wejangan oleh guru-guru BK.
Maleo mengadah, memandang langit-langit ruangan lantas menguap.
"Iya nih Bu,"
"Bu, salah gak sih kalau saya mimpi bas-"
"Maleo?" Sela seorang gadis yang berdiri di kusen pintu, ia membawa buku-buku tebal yang sudah tentu berat, sedikit mengerahkan hati Maleo untuk bangkit dan membantu.
Maleo hendak membantu gadis bermanik zamrud yang ia ketahui bernama Renata. Namun dengan cepat gadis itu sanggah, alasannya classic; Bukunya tidak berat.
"Ini Bu yang ibu minta," Bu Fitri mengangguk menyuruh Renata menaruh tumpukan buku-buku tebal nan berat di atas meja.
"Maaf ya ganggu pertemuan Ibu, soalnya kata Pak Ihsan ibu butuh secepatnya." Cicit Renata, Bu Fitri hanya terkekeh mendengar nada yang cenderung menjurus ke arah gemetar dari muridnya.
Bu Fitri menghentikan kekeh nya. "Mboten nopo-nopo, tidak menganggu Renata." Bu Fitri merogoh saku celananya lantas mengeluarkan sebuah kertas berwarna biru, setelahnya menyodorkan benda itu kepada Renata.
Renata menggoyangkan tangannya selayaknya manusia ketika memberi gesture menolak.
"Engga usah ibu, saya ikhlas kok!" Dalih Renata.
Maleo memutar mata, jemarinya mengambil selembar uang lima puluh ribu itu dengan cepat. Kemudian membungkusnya dalam tangan Renata.
"Makasih ya Bu, saya ikhlas kok," ujar Maleo.
"Anggap aja saya wali nya." Tambah Maleo, kemudian tanpa Renata dapat memproses kejadian, Maleo dengan tidak diikuti aba-aba membawanya keluar ruangan, sebenarnya Maleo hanya tidak ingin Renata berdalih untuk mengembalikan uang tersebut.
Renata menatap uang di genggamannya tak bergeming. Ada sedikit sirat kekhawatiran dimatanya.
Maleo berdecak kesal.
"Anggep aja lo kerja, dan itu gaji lo," Balas Maleo tanpa adanya pertanyaan.
"Tapi Maleo, saya benar-benar -"
"Apa? Lo ngerasa gak pantes?" Sela Maleo, biru kelabu menatap lurus seakan mengoyak zamrud yang dipenuhi binar murni.
"Gue tau Renata, kacamata yang lo pake itu gak nyaman buat lo."
Skakmat. Renata benci merasa lemah, tapi memang itulah penyebabnya.
Kacamata ini ialah milik sang Mama yang juga mempunyai kelainan mata. Meskipun miopia keduanya beda jauh, Renata harus mengenakan kacamata persegi ini karena tak mempunyai dana. Toh, kacamata pemberian Maleo kemarin telah ia kembalikan tadi pagi.
Maleo terkekeh mendapati reaksi sunyi Renata yang menatapnya seperti anak berumur lima tahun.
Maleo yang gemas menoyor kepala Renata. "Tapi lo bisa simpen, gue bisa beliin lo kacamata baru-"
Kalimat Maleo di jeda, pemuda itu mengangkat alisnya. Skenario yang ia duga nampaknya benar-benar bekerja.
"Engga, Maleo. Saya akan beli sendiri." Sanggah Renata.
Maleo mengangkat secarik seringai kemudian mengangguk.
Ia berjalan mendekati Renata yang diam termangu. "Oke." Final Maleo.
Renata mendongak, mengingat perbedaan tinggi diantara keduanya.
"Silahkan, hidup-hidup lo, mata-mata lo, silinder juga lo yang rasain," cerocos Maleo.
"Tapi jangan ngeluh kalau nanti biayanya jauh lebih mahal buat kacamata, dibanding uang makan lo sebulan." Cetus Maleo, lantas berlalu meninggalkan Renata yang menunduk dalam.
Suara pantofel perlahan memudar, gigitan apel masih terdengar menggema. Renata memandangi sepatu lusuhnya, secara bergantian ia mengamati rok pendek lungsuran dari temannya yang mungkin saja tak bisa ia bilang sebagai teman lagi. Setetes air jatuh tertahan di kacamatanya, ia memandangi lurus tembok ruang konsultasi kesiswaan yang sering disebut BK. Renata tak tahu bahwa punggung sempit itu naik turun seiring deru napas yang menggebu. Ia meraih matanya, lantas mengelapnya kasar.
Ia harus tegar. Sebagai seseorang yang telah menderita di rumah itu, dirinya harus bertahan. Renata bukan gadis yang lemah. Setidaknya untuk menahan air mata.
...•••...
Bel berdentang keras menandakan selesainya waktu menuntut ilmu. Muda-mudi bersorak ria, mereka akhirnya terbebas dari pelajaran yang membebani masa muda. Loker-loker yang semula terkunci kini ternganga karena sang pemilik telah membukanya. Sepatu-sepatu yang berada di raknya masing-masing kini telah menghilang, sepatu-sepatu itu melekat di kaki-kaki pemiliknya.
Renata ajaibnya tidak mendapat perundungan fisik hari ini. Meskipun tak dipungkiri masih banyak mata yang memandangnya seakan melecehkan, ia hanya bisa diam menunduk. Toh, tidak ada yang mau barang berteman dengan anak acak-acakan sepertinya.
Bruk!
Tabrakan tak terelakkan kala seorang gadis berlari seraya membawa buku. Renata menunduk semakin larut. Ia lantas berjongkok membantu buku-buku yang berserakan tersebut sembari mengumamkan kata maaf.
Beruntungnya, gadis itu tak memaki dirinya, justru berterimakasih dan menyerukan kata maaf namun Renata langsung melenggang meninggalkan gadis yang tengah terduduk di lantai dingin koridor.
Renata sampai di depan loker bututnya. Bahkan tak perlu kunci untuk membuka loker itu seperti yang lain, karena semenjak ia berada di sini para murid kompak merusak loker punyanya. Entah dengan coretan atau sebagai samsak tinju mereka. Karena Renata-pun tidak bisa marah, yang ia lakukan hanya mengepalkan tangan dan menyembunyikan urat-urat merah di dalam rambut panjang kumelnya.
Renata menghela tatkala tidak mendapat coretan baru di sana. Ia membuka loker yang gagangnya telah lepas dan setengah terbuka itu.
Namun alangkah terkejutnya ia ketika mendapati sebuah kacamata lengkap dengan kain microfiber sebagai pembersihnya.
Secarik kertas berada disamping kotak kacamata tersebut ditindih sebuah cokelat berbentuk hati yang ia tebak tidak akan pernah Renata mampu untuk beli.
Ia mengambil kertas tersebut.
...Dear Renata Ginandar...
...Hallo, kacamata dengan lensa kanan miopia 2 dan lensa kiri astigmatisme 0.5...
...Buat lo ikhlas dari hati gue....
...Oiya, gue penguasa sekolah ini, so lo gausah ganti karena gue jelas-jelas kaya. Beli kacamata ginian doang kecil buat gue....
...Anyway, gue suka mata lo. Kaya warna makanan kesukaan gue....
...Gue suka sama pipi lo yang memerah, dan itu imut menurut gue....
...So gue beliin kacamata dengan kaca bulet biar lo kalo ketawa kelihatan lesungnya. Jangan pake kacamata kegedean lagi, ga cocok....
...Tanda tangan gue kalau lo tiba-tiba ngefans sama gue:...
Renata terkikik geli, mungkin saja yang melihatnya akan berkata bahwa ia gila atau semacamnya. Terserah, ia tak peduli. Karena hatinya berbunga-bunga hanya karena mendapat surat bertanda tangan dari pemuda --yang ia yakini-- sebagai Maleo, Maleo Javares. Tapi sejujurnya ia agak benci mengenai argumen bahwa matanya ini indah.
Bullsh*t, ia tidak suka matanya.
Renata mengambil kacamata dengan lensa bulat tersebut. Benar-benar pas untuknya, seperti ukuran kacamatanya dulu.
"Makasih.." lirihnya.
•••
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Alfaira
jujur aku suka gaya maleo yang tengil
2025-04-03
1
Serenarara
Kulari ke gunung kemudian menyanyiku
Kulari ke hutan kemudian teriakku....
2025-04-04
0