02. Campur Aduk

Campur aduk rasanya kala mendapati pintu gerbang telah tertutup. Gadis bersurai legam yang kusut akibat lupa disisir itu duduk meringkuk di depan gerbang. Wajahnya pucat pasi sebab berlarian mengejar waktu. Napasnya memburu seiring jantungnya yang seolah ingin hengkang dari tempatnya.

Renata tak suka sensasi ini, sensasi aneh ketika ia merasa lemah dan perlu merepotkan orang disekitarnya.

"Aduh bocah zaman sekarang, gue jadi harus bukain lagi kann, nyusahin aje!'' Omelan dari pria jangkung bertubuh cungkring yang ia ketahui bernama Suripto, sama sekali tidak ia gubris.

Sebab ia tidak dapat mendengarnya, sungguhan tidak bisa ia dengar, semua akibat satpam yang telah mengabdikan diri kepada Amerta selama sepuluh tahun lamanya itu, berbicara kepadanya tanpa tahu menahu bahwa; Renata melupakan alat bantu dengarnya.

Tadi pagi ia sangat panik mendapati jarum pendek berada tepat di angka enam. Ia secara reflek bergegas ke arah lemari untuk memakai seragam sekolahnya tanpa membersihkan diri terlebih dahulu. Untung saja kacamata yang Si Pemuda apel berikan tidak tertinggal, sehingga tak perlu lagi mengerahkan tenaga ekstra untuk bolak-balik.

Dan mungkin usahanya untuk pergi ke sekolah tepat waktu telah sirna, kala gerbang telah ditutup. Sehingga Renata memutuskan untuk duduk meringkuk seraya menghanyutkan diri dalam lamunan. Sayup ia merasa getaran tanda gerbang dibuka.

Asyik meratapi nasib sembari memandang sepatu belel yang telah ditambal sana sini, hingga ia tidak sadar pantofel mengkilap terhenti tepat dihadapannya. Gadis itu mendongak, ia membenarkan kacamata kotak kebesarannya yang tadi hampir melorot ketika menunduk.

Betapa terkejutnya ia kala secercah harapan sekan menelusup masuk ke telinganya. Simfoni dari cicitan burung yang bersenandung indah terdengar sungguh syahdu, omelan Pak Suripto tak henti-hentinya membuat telinganya mati rasa. Zamrud itu membola, kala mendapati telinganya telah dipasangkan alat bantu dengar.

"Yah, gue rasa lo ga dengerin Suripto karena itu." Senyum penuh kemenangan merekah di wajah mulusnya. Aura arogansi nya membuat mental Renata ciut seketika.

Nampaknya pemuda itu sadar, ia yang semula berjongkok untuk memasangkan alat bantu dengar kini mendudukkan diri di samping Renata.

"Gausah takut sama gue, kalau ga ada gue, lo udah sekarat karena ga jawab pertanyaannya di mapel Bu Jasmintea." Ujarnya congkak seakan dirinya ialah satu sari seribu lebih pahlawan yang telah berkorban demi kedaulatan bangsa.

Renata hanya tersenyum canggung.

Ia tak tahu bagaimana ia harus bereaksi, karena sesungguhnya duduk di samping seseorang bukanlah hal yang familiar baginya.

"Ah," Renata baru sadar sesuatu. Dengan tergesa-gesa ia membuka tasnya, mengacak-acak isi di dalamnya lalu berhenti ketika menemukan tujuan utamanya.

Maleo dapat menganalisa bahwa tas itu telah dipakai kurang lebih seumur gadis itu hidup, buktinya ada pada warna yang telah memudar serta celah yang ditambal menggunakan kain berbeda rona, mempresentasikan kesan compang-camping yang amat teramat nyata.

Renata mengeluarkan sebuah benda dari dalam tasnya, benda itu terlihat jauh lebih menakjubkan, bahkan dibanding tas miliknya.

"Ini, aku kembalikan." Maleo melirik kacamata yang kemarin ia beri pada Renata sekilas.

Maleo tertawa kecil, kendatipun ini tidak lucu, melihat raut Renata yang menyerahkan kacamata dapat membuat sesuatu menggelitiki perutnya.

"Renata...Renata..," nada mengejek tertangkap runggu gadis yang kini sedang dilanda kebingungan.

"Lo bodoh, atau naif sih?" Cerca Maleo membuat Renata menggerling.

Renata meraih tangan besar Maleo, lantas menaruh kacamata itu di sana.

"Makasih atas semuanya, kamu baik."

Ujarnya setelah melipat tangan Maleo, membuatnya memegang erat kacamata. Kejadiannya begitu singkat semenjak Renata melenggang pergi, meninggalkan Maleo yang diam mematung.

Pak Suripto terlihat kebingungan, kumis melintang yang hampir sama panjang layaknya sebuah sikat gigi tersebut bergerak kala ia berbicara.

"Woi, lu mau masuk atau gua tutup?!'' Gertak Pak Suripto seraya memegangi kumis kebanggaannya.

Maleo terkikik geli. Ia mengobservasi tempat semula ia duduk, lalu menangkap tas yang telah kehilangan ronanya milik Renata. Sebuah lonceng seakan berdentang hebat di kepalanya, ide jahil menelusup masuk.

Maleo lantas membawa tubuhnya untuk bergegas mengendarai motor sport hitamnya, melintasi gerbang sekolah seraya membawa tas kepunyaan gadis bermanik hijau yang menakjubkan batin.

...•••...

"RENATA GINANDAR!''

Teriakan Bu Jasmine menggelegar bahkan mungkin terdengar hingga pos satpam tempat Pak Suripto bersemayam. Wanita gembul dengan pipi yang berisi mendekat ke arah Renata seraya menepuk-nepuk tangannya menggunakan penggaris panjang.

Sayup ia mendapati suara bisik-bisik dari siswa kelasnya.

Renata hanya bisa menunduk sembari menggelengkan kepalanya, mengucapkan kata maaf berkali-kali mengundang desahan lelah dari Bu Jasmine.

"Kenapa kamu telat?'' Suara tegas itu menelusup masuk diiringi deru pantofel yang semakin mendekat.

"HOI, BU TI!" Sambar seseorang dengan semangatnya.

Pemuda pantofel itu merangkul bahu Renata akrab, membuat gadis itu bisa merasakan sensasi dipeluk oleh dada bidang seorang pemuda gagah layaknya Gajah Mada.

Ah...Apa yang kamu pikirin, Renata mesum!

"Maleo?" Decak keheranan dari Bu Jasmine mengundang rasa senang yang membuncah dari Maleo.

Tapi ada sesuatu yang janggal, Maleo sekarang jauh lebih periang jika mengatasnamakan kacamata Bu Jasmine.

"Jadi gini Bu, Renata tadi ketinggalan alat bantu denger. Telat deh, Ibu gak mau kan dikacangin? Jadi dia balik ke rumah buat ambil alatnya,"

"Maklum, Renata tuh act of service, jarang-jarang loh Bu ada murid seperti ini." Dalih Maleo yang langsung diberi tatapan penuh selidik dari Bu Jasmine.

Renata yang kebingungan sebab kepalanya dipegang seseorang yang menyuruhnya mengangguk hanya diam menurut.

Bu Jasmine menghela napasnya. "Yaudah, alasan diterima." Pungkas Bu Jasmine, ia seakan telah lelah akan perilaku anak bar-bar yang satu ini.

Sedetik setelahnya, suara meja dipukul keras mengalihkan atensi seluruh siswa, tak terkecuali Maleo pula Renata.

"Bu, dia telat loh, hukum lah minimal, gak adil banget deh!" Hera memprovokasi, para siswa berseru penuh rasa dengki. Maleo menatap gadis bergincu merah pekat itu menggunakan ujung matanya, mengintimidasi.

"Wah, wah Hera," nada meremehkan muncul membuat seluruh insan di kelas yang semula riuh seketika bungkam.

"Nona dari anak pemilik tambang memang manis, ya? Sayang ajasih manner-nya busuk." Sebuah kalimat penuh sarkasme terdengar, menjatuhkan martabat Hera sebagai seorang ratu di Amerta.

"Soalnya, nyela percakapan itu...," Maleo menjeda kalimatnya, secarik seringai mengejek tertangkap indra, ia mengangkat dagunya memberikan kesan congkak yang seketika menyulut api amarah Hera.

"Gak sopan loh." Ia tersenyum karir ketika mengatakannya, yang justru membuat beberapa siswa ketakutan.

Renata dapat menyaksikan Hera yang mati-matian menahan amarah. Terbukti dari otot-otot yang nampak, rahang terkatup rapat, serta gigi yang bergemulutuk. Jangan lupa mengenai semburat merah yang menjalar akibat rasa malu tak terbendung.

Hera kembali mengebrak meja dengan bar-bar. Surai legam mulusnya ikut berterbangan saking kencangnya ia memukul meja. Suasana kelas kembali ricuh seiring banyaknya suara yang dihasilkan dari berbagai belah pihak.

Hera bangkit, kursi tak bersalah itu terjatuh menimbulkan bunyi yang tidak mengenakkan, ia berjalan dari bangku belakang, seakan menikmati sensasi menjadi sorotan kelas karena seluruh siswa beserta Bu Jasmine memandanginya penuh tanya.

Saat ia tepat berada di hadapan Maleo dan Renata, gadis itu mengangkat dagunya angkuh. Ia mendorong bahu Maleo, membuat pemuda tersebut menaikkan sebelah alisnya.

"Apa urusan lo, hah?!!" Nada menyindir tertanam secara implisit didalam kalimat itu.

Hera terkikik sinis. "Hahah, lo mau jadi pahlawan kesiangan, Iya?!!" Hera melototi Maleo seolah kesetanan, sementara Renata kini bersembunyi di balik punggung lebar Maleo.

Hera berdecak. "Sayangnya sih," Hera menjambak surai kusut Renata yang segera ditepis oleh Maleo.

Hera kembali mengadah, ia kini memangku tangan, seakan menantang Maleo.

"Cewek busuk lo ini, ga sepolos itu." Hera menegaskan perkata di dalam kalimatnya.

Bu Jasmine menghela lelah, mata bulan sabitnya menatap satu-satu raut anak didiknya. Ia merasakan panji perang dikibarkan hingga pertempuran benar-benar terjadi.

"Anak-anak dimohon tenang," sela Bu Jasmine menengahi panasnya atmosfer kelas. Ia menatap Velencia Si Ratu Gosip yang segera dikerumuni oleh banyak siswi, layaknya interaksi ratu semut dengan banyaknya semut pekerja.

"Hera memotong pembicaraan memang tidak baik, Maleo mencampuri urusan juga tidak baik, Renata kamu bisa ambil hukumannya nanti sepulang sekolah." Pungkas Bu Jasmine, mengundang hela napas dari Maleo.

"Mal-"

"Tenang bu, saya otw BK." Maleo mengelus rambut kusut Renata, kemudian berlalu meninggalkan perasaan aneh yang tertahan dalam hati sang gadis.

Renata memandangi tas yang tadi sempat Maleo serahkan padanya di sela-sela perbincangan panas. Ia tersenyum tanpa sadar, lantas menapakkan kaki di kelas, duduk di bangku ujung paling belakang, selalu seorang diri, lalu membuka buku pelajarannya.

"Thanks, Maleo."

Terpopuler

Comments

Serenarara

Serenarara

Benakku kini bagai untaian embun yang memasuki relung jiwa seorang petapa yang dahaga. Saya sendiri tidak mengerti artinya, tapi sungguh ini melenakan pembaca.

Bosan...aku dengan penat...
dan enyah saja kau pekat!
Seperti berjelaga jika ku sendiri...

2025-04-04

1

Verlit Ivana

Verlit Ivana

'Kain beda rona' wuah aku suka padanan katanya. /Smile/

2025-04-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!