Bab 19 DBAP

"Dasar bajingan kamu!" teriak Arsen, suaranya menggema, mengguncang seisi ruangan. "Apa kamu nggak mikir dua kali sebelum lakukan itu?! Hidup Naya sekarang berantakan—karena kamu!"

Zayan mengatupkan rahangnya rapat. Matanya berusaha tetap tajam, tapi sorotnya mulai bergetar. “Paman… waktu itu aku cuma… aku cuma pengen bermalam dengannya. Kami udah pacaran lama. Tapi dia selalu jaga diri. Aku pikir... aku punya hak. Aku laki-laki, Paman… aku cuma pengen lebih.”

Arsen menghela napas, berat dan panas. Tubuhnya tegang menahan amarah yang menggelegak, hampir tak terbendung.

“Tapi sekarang,” lanjut Zayan dengan suara yang nyaris pecah, “yang lebih bajingan itu bukan aku. Lelaki itu—yang ninggalin Naya, yang kabur tanpa tanggung jawab—kenapa Paman nggak kejar dia? Kalau Paman beneran mau bela Naya, harusnya dia yang Paman pukul, bukan aku!”

Tanpa pikir panjang, Arsen mengayunkan tangannya. Satu bogem mentah menghantam rahang Zayan dengan keras, membuat pemuda itu terjatuh menabrak sisi meja.

“Agh—Paman!” Zayan mengerang, darah menetes dari sudut bibirnya.

“Kalian semua sama saja!” Arsen kembali menghantam dengan penuh amarah. “Sama-sama bajingan yang cuma mikir diri sendiri!”

Zayan menatap dari bawah dengan mata yang merah. Di balik sakitnya, ia mencoba mengerti, mencoba menebak luka di balik kemarahan Arsen.

“Paman... marah begini... apa karena Paman juga suka sama dia?” tanyanya lirih, suara tercekat, jujur dan menyakitkan sekaligus.

“Bukan urusanmu!” raung Arsen. Tangannya kembali terangkat, tapi kali ini tertahan.

Dito muncul cepat, memegang lengan Arsen dengan kuat. “Ar, cukup! Kamu mau bikin ponakanmu masuk rumah sakit?!”

“Biarin!” Arsen meronta. Suaranya pecah, bukan hanya karena marah, tapi karena luka yang lama terkubur. “Biar dia tahu, hidup ini nggak bisa seenaknya! Ada akibat dari setiap keputusan, dan rasa sakit itu—harus dia tanggung!”

Dito menatap Arsen dalam-dalam. “Arsen, dengar. Apa yang dia bilang ada benarnya. Yang salah bukan cuma dia. Tapi juga laki-laki yang ninggalin Naya dalam kondisi kayak sekarang. Kalau kamu mau bela Naya, cari orang itu.”

Sorot mata Dito seolah menelanjangi masa lalu Arsen. Menuduh tanpa kata.

Arsen memalingkan wajah. Kata-kata itu seperti tamparan. Masa lalu memang tak bisa dihapus. Tapi bukankah dia pernah bersumpah akan bertanggung jawab? Sayangnya, perempuan itu… tak pernah kembali menemuinya.

Ia memandang Zayan yang masih tergeletak. Napasnya berat. “Bangun,” ujarnya dingin.

“Paman… aku udah kesakitan. Jangan rusak wajah tampanku ini,” gumam Zayan, berusaha tersenyum walau kecut.

Arsen menoleh pada Dito. “Obati dia.”

Dito mengangguk dan membantu Zayan duduk di sofa. Ia segera mengambil kotak P3K dan mulai membersihkan luka di wajah keponakannya.

Di tengah kesibukan Dito, Arsen kembali membuka suara, nadanya tajam menusuk. “Kamu ingat ke mana kamu bawa Naya waktu kamu kasih dia obat? Dan kapan kejadiannya?”

Zayan meringis saat kapas menyentuh luka di pelipisnya. “Paman... Paman sungguh mau bantu Naya? Mau cari laki-laki itu?”

“Jawab saja. Atau perlu kutambah pukulan lagi?” Arsen menatap dingin, wajahnya keras tak memberi ruang kompromi.

Zayan menghela napas, suaranya lirih namun jelas, “Apartemen X… hampir dua bulan lalu. Waktunya… kira-kira pas sama usia kehamilan Naya sekarang.”

Arsen membeku. Seakan dunia di sekitarnya berhenti berputar.

“Apa…?” bisiknya nyaris tak terdengar. Matanya menatap lurus ke arah Zayan, tapi pikirannya melayang—terhempas jauh ke dalam kenangan dan bayangan yang selama ini ia tolak untuk percaya.

Darah di wajah Zayan masih mengalir, tapi yang terasa perih justru dada Arsen sendiri. Tenggorokannya tercekat. Sebuah rasa dingin menjalar dari tengkuk ke punggung, lalu ke jantung yang mendadak berdegup tak teratur.

Dito memandangi Arsen dengan tatapan ikut terkejut. “Ar... Jangan bilang...?”

Arsen tak menjawab. Ia terdiam, seolah napasnya tercuri oleh kenyataan yang mulai menyusun kepingan-kepingan kebenaran.

Tak mungkin. Tidak mungkin… Atau justru... sangat mungkin?

Sementara itu, Zayan masih duduk lemas, mulutnya meringis sambil pegang pipi yang bengkak. Belum menyadari perubahan dua lelaki di depannya. Ia masih fokus pada rasa nyeri di wajahnya.

“Pelan, Paman Dito… ini pipiku, bukan papan cucian,” keluhnya sambil menepis kapas.

Baru saja Dito mau lanjut obati, Arsen tiba-tiba berdiri. “Aku pergi. Sekarang.”

“Hah?” Zayan melongo.

Dito reflek berdiri juga. “Aku ikut.”

“Lho?!”

Dan dalam hitungan detik… BAM! pintu tertutup. Sunyi.

Zayan bengong, sendirian.

“Serius…? AKU MASIH BENGKAK NIH!”

Ia melihat kapas, plester, dan salep yang ditinggal begitu saja.

“Dasar dua paman egois… udah mukulin, ninggalin pula. Mana belum ditiupin!”

Zayan menjatuhkan diri ke sofa sambil mendesis, “Harusnya aku minta ganti rugi… minimal liburan ke korea.”

***

Di rumah sakit, Nisa buru-buru menemui Naya. Ia merasa sangat bersalah karena sudah keceplosan mengungkapkan satu rahasia. Saat ia sampai di ruang rawat Naya, ia melihat sahabatnya itu sudah tampak segar dan tidak pucat seperti kemarin.

"Nis, kenapa? Habis lihat hantu?" tanya Naya yang kini berusaha mengubah posisi tidurnya menjadi setengah duduk.

"Nay, jangan banyak gerak, aku naikkan saja kepala ranjangnya," ucap Nisa yang langsung mendapat anggukan dari Naya.

Nisa mengatur posisi ranjang agar kepala ranjang itu lebih tinggi sedikit, supaya Naya bisa mendapatkan posisi setengah duduk.

"Kamu belum jawab kenapa wajah kamu tadi tegang? Aku baik-baik saja, nggak bakal mengakhiri hidup semudah itu," ucap Naya setengah bercanda.

"Kamu masih aja bercanda," Nisa mendekati Naya dan kini duduk di bangku samping ranjang. Ia menggigit bibirnya, seolah ragu ingin memberitahu Naya sesuatu.

Naya yang sudah kenal Nisa dan hampir hafal sikapnya, paham bahwa Nisa ingin memberitahunya sesuatu. "Katakan, Nis."

"Kamu tahu kalau aku ingin bicarain sesuatu padamu?"

"Aku kenal kamu nggak cuma hari ini, tapi sudah hampir empat tahun. Meskipun umur kamu lebih tua," ucap Naya.

"Nay, aku nggak hanya menganggapmu sebagai sahabatku, tapi juga adikku. Jadi aku juga nggak mau menyembunyikan apa pun darimu," ucap Nisa.

"Tapi kamu nggak pernah mau aku panggil kakak. Katamu, kita seumuran."

"Ck, sudahlah, kita jangan bahas ini lagi." Nisa ragu-ragu, namun sentuhan Naya di tangannya membuatnya akhirnya membuka suara lagi, "Tadi entah ada angin apa, dokter Arsen sama temannya yang bodoh datang ke restoran. Dan..."

"Dan?"

"Dan aku keceplosan bicara soal Zayan yang sudah memberikan obat padamu," jawab Nisa.

"Hanya itu?"

"Kamu nggak marah?"

"Enggak, aku malah lega. Biarin keluarga itu ada sedikit rasa bersalah padaku. Kalau Paman Arsen ada sedikit rasa peduli, sekarang aku yakin dia pasti akan memberikan perhitungan pada Zayan."

"Kamu yakin? Dia itu keponakannya, lho."

Naya mengangkat sedikit bahunya. "Cuma asal tebak. Mungkin aku terlalu percaya diri dan kebanyakan nonton film. Tapi sudah, jangan dipikirkan lagi," sahut Naya.

Nisa sekarang sedikit lebih tenang. Lalu ia mengeluarkan ponselnya. Saat membuka salah satu aplikasi, muncul iklan yang sedang trending berjudul Pangeran Mencari Putri dengan Sapu Tangan. Nisa langsung membaca beberapa komentar netizen yang membuatnya tergelak.

"Ada apa?"

"Nay, lihat deh, lucu banget. Masa di zaman sekarang ada pangeran nyari putri pakai sapu tangan. Apa sepatu kaca sudah mahal, ya? Kocak banget!"

"Mungkin hanya untuk nyari cuan di sosmed, jadi bikin judul asal," sahut Naya.

Nisa langsung membuka gambar sapu tangan itu, dan ia cukup mengenalnya. Ia lalu menunjukkannya pada Naya.

"Nay... Sapu tangan ini bukannya..."

Terpopuler

Comments

css

css

mulai terkuak,,, double update dong kak🫢😍

2025-04-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!