“Terima kasih, Paman… karena sudah bersedia menjadi ayah pengganti untuk anak ini. Suatu hari nanti, kalau dia lahir dan tumbuh besar, aku akan menceritakan padanya… bahwa pernah ada sosok laki-laki yang begitu baik, begitu tulus… meski kami tak memiliki hubungan darah sekalipun.”
Kalimat itu masih terngiang di kepala Arsen. Menghantam tanpa suara. Mengganggu tanpa alasan yang jelas. Hatinya nyeri, meski Naya tak pernah bermaksud melukai.
“Hai, apa yang kamu pikirin, Ar?” Suara berat dan lelah terdengar dari sahabatnya yang baru datang.
Dito duduk sambil melepaskan masker medisnya. Rambutnya acak-acakan, keringat masih menempel di pelipis. Tapi gaya santainya tak hilang. Sambil menguap, ia menjatuhkan diri ke bangku di sebelah Arsen, lalu tiba-tiba mengangkat tangan tinggi-tinggi dan berseru lantang, “Pelayan! Sini dong, saya lapar setengah mati!”
Suaranya menggema, membuat hampir seluruh pengunjung restoran menoleh. Termasuk Nisa, yang berdiri di balik konter dengan alis terangkat tinggi. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan diri agar tak melontarkan omelan. Tapi sorot matanya sudah cukup berbicara, "Siapa sih ini orang ribut banget?"
Dengan langkah cepat, Nisa mendekat ke meja. Senyum tipis menghiasi wajahnya, senyum yang lebih terasa seperti peringatan daripada keramahan.
“Masalahnya cuma lapar, tapi teriaknya kayak ada kebakaran,” ucap Nisa, nada suaranya dingin berlapis sindiran. “Mau pesan apa, Pak?”
Dito menatapnya sekilas, sedikit kaget melihat pelayan seberani itu. “Oh, kamu pelayannya? Maaf ya, suaraku emang gede dari lahir.”
“Bisa ditahan kalau nggak sedang manggung,” balas Nisa cepat, menyodorkan buku menu tanpa basa-basi.
Dito menyipitkan mata, menatapnya lekat-lekat. “Baru kali ini aku disambut kayak maling.”
“Baru kali ini juga saya ngelayanin tamu yang ngomongnya kayak sirine ambulans bocor,” sahut Nisa dengan nada datar.
Di sebelah mereka, Arsen hanya menghela napas, tak ambil pusing. Kepalanya masih tertunduk menatap layar ponsel, pikirannya tak lepas dari wajah Naya.
“Jadi, mau pesan atau cuma mau debat?” tanya Nisa, tangan bertolak pinggang.
Dito menyender santai, mencoba menguasai suasana. “Kopi hitam. Pahit. Kayak kamu.”
Nisa menahan tawa sinis. “Baik. Saya pastikan kopinya lebih pahit dari hidupmu,” balasnya sambil berbalik pergi.
Beberapa langkah kemudian, ia berbalik lalu ke arah Arsen. “Kalau Bapak mau pesan apa?”
Arsen tak mengangkat kepala membuat Nisa tak mengenalinya, “Samain aja,” gumamnya pelan.
Nisa berdesis dalam hati. Ini restoran, bukan warung kopi. Kalau cuma mau ngopi kenapa jauh-jauh ke sini? Tapi ia tetap berjalan ke arah dapur untuk menyerahkan daftar pesanan sambil menggenggam sabar yang mulai menipis. Kalau bukan ada pepatah mengatakan pembeli adalah raja ia susah mengusir keduanya.
“Udah, sana buruan! Keburu ngantuk nih!” seru Dito sambil melambaikan tangan.
Nisa berbalik dengan senyum manis yang menyebalkan. “Baik, Pak. Ingat ya, harus bayar. Jangan numpang WiFi doang.”
Dito langsung menoleh tajam. “Apa? Kamu kira aku—”
“Tidak, Pak. Sepertinya Bapak salah dengar maksud saya. Saya cuma bilang chicken kentaki di sini enak,” sela Nisa dengan wajah polos.
“Aku belum tuli, tahu.”
“Loh, saya juga belum amnesia. Saya ulangi, chicken kentaki-nya enak.”
Dito mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Nisa segera pergi. Wajahnya kesal, tapi mulutnya tertahan dari membalas.
Sementara itu, Arsen hanya mendesis pelan melihat tingkah sahabatnya. Dito tertawa kecil, meski sorot matanya masih mengikuti langkah Nisa.
“Siapa sih dia?” gumamnya, tak lepas memandang.
“Kamu tanya aku, terus aku tanya siapa?” balas Arsen singkat.
Dito menggerutu. “Sensi banget. Udah kayak cewek lagi datang bulan. Kamu sama pelayan itu janjian ya bikin aku emosi?”
“Aku manggil kamu ke sini bukan buat nambah masalah,” ucap Arsen pelan, masih tak menoleh.
Dito mendengus, lalu menyerah duduk tegak. “Oke-oke. Jadi kenapa? Masih soal istrimu?”
Arsen menghela napas panjang. Lalu, dengan suara rendah yang nyaris pecah, ia berkata, “Aku rasa gangguan jiwaku udah nggak bisa ditolong. Naya cuma bilang aku ‘ayah pengganti’, tapi rasanya… sakit banget. Di sini.”
Ia menekan dada kirinya, menatap kosong ke depan. “Kalau Zayan benar, dan anak itu bukan anaknya… berarti anak itu juga bukan darah dari keluarga Alastair. Tapi tetap aja… aku merasa ada sesuatu antara aku dan anak itu. Sesuatu yang nggak bisa dijelasin.”
Dito diam sejenak. Lalu ia berkata pelan, “Aku udah bilang dari awal. Ada kemungkinan wanita malam itu… ya istrimu sekarang. Kamu aja yang keras kepala nggak mau percaya.”
Arsen menggeleng pelan, matanya menatap kosong ke meja di depannya. “Di dunia ini, Dit… mana ada kebetulan segila itu? Lagian kamu juga asal bilangkan, tanpa ada bukti.”
Dito terkekeh, menyandarkan punggung ke kursi. “Kamu tahu yang lebih nggak mungkin?”
“Apa?”
“Barusan kamu cerita panjang lebar. Padahal aku kenal kamu bertahun-tahun, ini rekor kalimat terpanjang yang pernah kamu ucapin.”
Arsen melirik tajam. “Aku masih bisa bikin mulutmu itu diam.”
“Slow, bro. Aku cuma nyatain fakta.” Dito mengangkat kedua tangan menyerah. “Tapi coba deh kamu pikir... kalau apa yang aku bilang tadi benar, kamu nggak takut nyesel? Udah nyakitin istri, nyakitin anak sendiri pula. Ya, meskipun tidak ada bukti, tapi firasatku mengatakan semua itu benar.”
Arsen menghela napas berat. Matanya sayu, lelah, seperti menyimpan beban yang tak pernah habis. “Kalau kamu bicara seperti itu… berarti kamu punya jawaban. Udah ketemu wanita itu?”
Dito menyeringai kecil. “Belum. Tapi aku udah coba. Sapu tangan itu udah aku sebar di medsos, tapi belum ada yang ngenalin.”
Arsen memijit pelipisnya yang mulai berdenyut. “Setiap malam aku ke sana. Duduk di tempat yang sama. Berharap dia datang. Tapi tetap kosong. Seperti menunggu bayangan.”
Tepat saat itu, Nisa muncul membawa dua cangkir kopi, menyadari pelanggan itu adalah Arsen, ekspresinya jauh dari ramah. Ia meletakkan kopi di meja dengan hentakan kecil.
“Kamu ada masalah apa, hah? Pelayanan paling buruk!” semprot Dito.
Nisa mendengus. “Pelayananku memang buruk. Tapi ada yang lebih buruk dari itu—sikapnya.” Matanya kini menatap lurus ke Arsen.
Arsen mengangkat alis, sedikit terkejut. “Kamu kenal saya?”
“Tentu tidak!” sahut Nisa, suaranya sengit.
“Kalau nggak kenal, nggak usah sok kenal. Pura-pura kesal lagi,” celetuk Dito.
Tapi Nisa tak menghiraukan. Ia menatap Arsen penuh emosi, kata-katanya keluar seperti ledakan yang tak bisa dibendung. “Kalau bukan karena keponakan dia, temanku nggak akan jatuh sejauh itu.”
Arsen menyipitkan mata. “Apa maksudmu?”
“Jangan pura-pura nggak tahu!” Nisa membalas tajam. “Kalau bukan karena Zayan—yang menjebak Naya malam itu—dia nggak akan hamil tanpa tahu siapa ayah dari anak yang dikandungnya!”
Begitu kalimat itu keluar, Nisa langsung menutup mulutnya dengan tangan. Terlambat.
Dito membeku. Arsen menegang di tempatnya.
“Apa kamu barusan bilang… Zayan yang menjebak Naya?” suara Arsen nyaris tak terdengar, namun tajam bagai pisau.
Nisa melangkah mundur, wajahnya memucat. Tapi tak ada lagi yang bisa ditarik kembali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments