Bab 15 DBAP

Naya sempat berpikir bahwa dunia tak akan sekejam ini jika ia terus mengikuti alur takdirnya. Namun, hidup nyatanya tak pernah semudah itu. Ia tak pernah membayangkan harus menelan kenyataan sepahit ini—tak diinginkan, ditolak, dan kini harus menghadapi dunia seorang diri sambil membawa janin yang bahkan ia sendiri tak tahu siapa ayahnya.

Dalam diam, Naya meraung. Ingin sekali menjerit. Sejak kecil, hidupnya penuh kehilangan. Ayahnya pergi terlalu cepat, meninggalkan ia di bawah asuhan seorang ibu yang tampak sempurna di mata orang lain, tapi dingin dan asing di matanya sendiri.

Saar itu, Naya masih percaya bahwa ibunya memperjuangkan keadilan untuknya di depan keluarga Alastair. Tapi ternyata, yang ia dapat hanyalah bukti bahwa sekarang ibunya memang tak pernah benar-benar ingin bertanggung jawab atas dirinya.

Naya masih mengingat jelas sore itu setelah berbicara dengan Zayan saat tubuhnya ditemukan tergeletak lemah di tengah hujan oleh Arsen, nyaris tak bernyawa. Sebelum semuanya gelap, ia sempat menelepon satu-satunya orang yang ia harap bisa memberinya tempat untuk pulang.

“Bu... Naya mau pulang. Naya…”

Belum sempat menjelaskan, suara ibunya memotong kalimatnya. Dingin. Tajam. Mengiris hati.

“Pulang? Di sini sudah tidak ada tempat untukmu, Naya. Ibu akan menikah lagi, dan calon suami ibu punya anak perempuan. Mereka akan tinggal bersama ibu. Kamu tidak bisa mengganggu kebahagiaan ibu.”

Kata-kata itu menghantam lebih menyakitkan daripada tubuhnya yang menggigil kedinginan sore itu.

Dan sekarang, di ruang rumah sakit yang sepi, Naya hanya bisa memandangi langit-langit, mencoba menahan air mata yang sudah tak ada habisnya. Suara-suara di luar jendela seperti jauh, tak menyentuhnya. Ia merasa kosong.

Lalu, pintu terbuka pelan. Seorang laki-laki berdiri di ambang pintu dengan wajah ragu. Jas putih yang dikenakannya tampak bersinar, menandakan posisinya sebagai garda terdepan dunia kesehatan. Di tangannya, ia membawa bungkus plastik berisi bubur hangat.

"Naya?" suaranya pelan, nyaris tenggelam oleh detak mesin monitor di sisi ranjang.

Naya menoleh perlahan. Pandangannya buram, namun suara itu cukup familiar. “Paman?” sahutnya lirih.

Arsen melangkah masuk, mendekat, lalu meletakkan bubur itu di atas meja kecil di samping tempat tidur. Sorot matanya menyiratkan rasa bersalah yang tak mudah disembunyikan.

“Gimana? Apa kamu nyaman di sini? Kalau tidak, kita bisa pindah ke bangsal VVIP. Kamu harus bedrest total,” ujarnya datar, mencoba terdengar tenang.

Naya hanya menatapnya, tanpa menjawab.

“Kalau iya, kebetulan ada ruangan kosong. Aku bisa urus sekarang juga,” sambung Arsen.

“Tidak perlu, Paman. Di sini saja... Aku tidak punya uang untuk membayar itu,” jawab Naya dengan suara pelan namun mantap, seolah ingin menegaskan bahwa ia tak ingin menerima lebih dari yang ia rasa pantas.

Arsen menunduk sejenak. “Kamu harus jaga kandunganmu. Supaya cepat pulih... dan tumbuh sehat.”

Ucapan itu, meski terdengar penuh perhatian, terasa seperti luka baru di dada Naya. Ia tahu betul kenapa kandungan itu begitu penting. Bukan karena ia sebagai seorang ibu, tapi karena bayi itu kini jadi alat pembenaran—sebuah bukti untuk menyelamatkan nama baik keluarga Alastair.

“Aku mengerti, Paman,” jawab Naya, mencoba tak memperpanjang pembicaraan.

Arsen terlihat canggung. Wajahnya tak tahu harus menampakkan empati atau ketegasan. Di matanya ada kelelahan, rasa kasihan... dan kemarahan yang tak sepenuhnya ia kendalikan.

“Kalau begitu, makan bubur ini. Aku harus kembali ke ruang operasi. Kalau ada apa-apa, panggil suster saja, ya.”

Naya hanya mengangguk. Tak ada lagi kata yang bisa menjembatani jarak di antara mereka.

Begitu Arsen melangkah keluar dan pintu kembali tertutup, Naya memalingkan wajah ke jendela. Langit tampak biru, cerah, kontras dengan awan berat yang memenuhi hatinya.

Sayangnya, Naya tak diberi waktu untuk tenang. Suara pintu kembali terdengar. Ia buru-buru menyeka air matanya dan membalikkan tubuh perlahan. Namun bukan Arsen, bukan pula suster—melainkan seorang wanita berambut terikat rapi dengan tas tangan mahal menggantung di lengannya.

“Naya.” Suara itu datar, dingin. Reni.

Naya terpaku. Tangannya yang tadi menggenggam selimut langsung melemah. Ia tak menyangka ibunya benar-benar datang ke rumah sakit ini, apalagi setelah kata-kata menyakitkan terakhir lewat telepon waktu itu.

“Kenapa Ibu ke sini?” tanyanya lirih, suaranya bergetar, nyaris tenggelam oleh suara mesin monitor di sampingnya.

Reni melangkah masuk, langkahnya tenang tapi penuh jarak. Matanya menyapu seluruh ruangan—dinding putih, peralatan medis, dan kantung infus yang tergantung tenang. Ia mendengus pelan.

“Kalau Ibu nggak datang, nanti keluarga Alastair bilang apa? Sebagai seorang ibu, tentu aku harus menunjukkan kepedulian, kan?” ucapnya singkat, seolah itu adalah tugas, bukan niat.

Naya menarik selimut lebih tinggi, menutupi tubuhnya seolah ingin menyembunyikan diri dari dunia. Ia menatap Reni dengan tatapan yang lelah, tapi masih menyimpan keberanian.

“Sekarang Ibu sudah datang, nanti aku sendiri yang akan bicara dengan keluarga suamiku. Ibu bisa pulang. Tetap bisa terlihat sebagai ibu yang baik tanpa perlu lama-lama di sini,” ucap Naya pelan, mencoba terdengar tenang, meski suaranya goyah.

Reni meletakkan tasnya di kursi, lalu berdiri mematung di sisi ranjang. “Aku tidak ke sini untuk bertengkar. Aku cuma... nggak ingin orang-orang ngomong macam-macam. Kamu tahu sendiri, calon suami Ibu dari keluarga terpandang. Kalau masalah ini melebar, itu bisa merusak segalanya.”

Naya menunduk. Kata-kata itu seperti pisau yang masuk pelan-pelan ke dalam dadanya.

“Jadi... aku cuma aib yang harus ditutup rapat, begitu?” bisiknya nyaris tak terdengar.

Reni diam. Wajahnya tetap keras, dingin, seperti tembok yang tak bisa ditembus.

“Pulanglah, Bu. Ibu nggak akan dapat apa-apa di sini. Aku juga sudah bukan bagian dari hidup Ibu, kan?”

Mata Reni sempat menunjukkan sedikit keraguan, namun hanya sesaat. Ia mengambil kembali tasnya dan berbalik.

“Jangan ganggu hidup Ibu lagi, Naya. Selesaikan urusanmu sendiri.”

Pintu tertutup. Sunyi kembali menyelimuti ruangan.

Tangis Naya pecah. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, tubuhnya terguncang hebat. Semua luka yang selama ini ia tahan, tumpah bersamaan. Namun di tengah isaknya, ia berbisik pelan ke arah perutnya yang mulai membuncit.

“Kita akan baik-baik saja, ya... Kita cuma punya satu sama lain sekarang. Tapi itu cukup. Cukup buat aku bertahan.”

Beberapa menit kemudian, setelah tangisnya mereda, ia menghapus sisa air mata di pipinya. Ada sedikit ketenangan di wajahnya, seolah harapan kecil baru saja tumbuh di dalam dadanya.

“Iya… kenapa aku nggak kembali ke tempat itu?” gumamnya lirih, separuh bertanya pada dirinya sendiri.

Naya menatap ke luar jendela sejenak, lalu menunduk, mengusap perutnya dengan lembut.

“Naya, kenapa kamu sebodoh itu…” katanya, separuh menyesali, separuh menguatkan diri.

“Maaf, Nak… Dulu mama terlalu takut untuk datang ke tempat itu lagi. Tapi sekarang, demi kamu, mama akan coba. Mama akan berani. Meskipun… meskipun ayahmu nanti ternyata cuma lelaki bajingan, setidaknya kamu bukan anak tanpa ayah. Dan kita tidak perlu jadi beban siapapun lagi.”

Terpopuler

Comments

css

css

semoga di tempat itu bertemu dg paman Arsen 💯🤣🫢🫰

2025-04-12

0

css

css

next 💪💪💪

2025-04-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!