Ruang IGD, Rumah Sakit
Cahaya putih terang menyilaukan mata. Suara monitor berdetak cepat bercampur dengan langkah kaki para perawat yang sibuk. Pintu ruang gawat darurat terbuka dengan cepat saat Arsen berlari masuk, menggendong tubuh Naya yang lemas dan berlumuran darah.
"CEPAT! Pasien hamil, pendarahan berat!" teriak Arsen lantang.
Beberapa perawat langsung mendekat dengan tandu. Seorang dokter jaga mengenali Arsen dan segera mengambil alih.
“Dr. Arsen? Apa yang terjadi?”
“Pendarahan berat. Saya duga trauma fisik atau stres akut. Usia kehamilan sekitar enam minggu,” jawabnya cepat sambil membantu memindahkan Naya ke atas ranjang.
“Nadi lemah! Tekanan darah drop!” seru salah satu perawat sambil menempelkan alat tensi.
“Hubungi dr. Meta dari obstetri, cepat!” seru dokter jaga lainnya.
Sementara perawat mengganti pakaian Naya dengan cepat dan memasang infus, Arsen berdiri di sisi ranjang, menggenggam tangan gadis itu dengan erat. Wajahnya tegang, matanya tak lepas dari wajah Naya yang pucat dan tak sadarkan diri.
“Paman... maaf...” gumam Naya pelan di sela napasnya yang tersengal, seolah berbicara dalam mimpi.
“Tenang, aku di sini, Naya. Kamu akan baik-baik saja. Kamu dan bayimu, aku janji,” bisik Arsen, suaranya serak menahan cemas.
Beberapa menit kemudian, dr. Meta masuk dengan pakaian operasi lengkap. Tatapannya segera tertuju pada layar monitor dan perut Naya.
“Stabilkan tekanan darahnya. Kita harus segera lakukan tindakan untuk hentikan pendarahan,” ujarnya sigap. “Kalau tidak, kita bisa kehilangan janin… atau ibunya.”
Kalimat itu seperti hantaman di dada Arsen.
“Kalau perlu ruang operasi, saya ikut,” katanya segera.
“Tunggu di luar, dr. Arsen. Kamu tahu ini bukan soal emosi,” ujar dr. Meta cepat.
Arsen menatap wajah Naya sekali lagi sebelum akhirnya melepaskan genggamannya perlahan. Saat pintu ruang tindakan tertutup, ia terduduk di bangku terdekat, wajahnya tertunduk dalam, kedua tangannya menutupi wajah. Untuk pertama kalinya, Arsen merasa benar-benar takut kehilangan.
Di menit berikutnya, Arsen berjalan mondar-mandir di lorong rumah sakit. Wajahnya tegang, matanya tak lepas dari pintu bertuliskan Ruang Tindakan Obstetri. Jam terasa melambat. Setiap detik membuat dadanya semakin sesak.
Hingga akhirnya, pintu terbuka. Dr. Meta keluar dengan masker masih tergantung di leher, wajahnya lelah, tapi tenang.
“Dok… bagaimana?” tanya Arsen langsung mendekat.
“Pendarahan berhasil dihentikan,” ujar dr. Meta. “Naya kehilangan cukup banyak darah, tapi kami sudah lakukan transfusi. Bayinya masih bertahan... meskipun kondisinya lemah. Dia harus bed rest total, dr. Arsen. Dan tidak boleh mengalami tekanan emosional sedikit pun.”
Arsen menghela napas panjang. Tangannya mengepal, berusaha menahan emosi yang tak sempat ia luapkan sejak tadi.
“Boleh aku temui dia?”
Dr. Meta mengangguk. “Tapi jangan ganggu istirahatnya. Dia masih setengah sadar. Ajak dia bicara kalau perlu. Tapi pelan.”
Baru saja Arsen hendak melangkah masuk ke ruang perawatan, ponselnya berdering. Layar menampilkan nama sang kakak.
“Halo, Kak,” sapa Arsen, matanya tetap tertuju pada sosok Naya yang terbaring lemah di balik kaca. Selang infus menancap di punggung tangannya, dan oksigen melekat di hidung. Wajahnya pucat, tapi tampak tenang.
“Ar, ponakanmu sudah pulang. Katanya ada yang ingin dia bicarakan,” suara Puput terdengar dari seberang, tenang tapi penuh makna.
Arsen menarik napas dalam, suaranya terdengar berat saat menjawab, “Aku nggak bisa ke mana-mana sekarang, Kak. Naya masuk rumah sakit… dia mengalami pendarahan.”
“Hah? Ya ampun, Ar…” Puput terdiam sejenak, lalu cepat menyambung, “Kakak ke sana sekarang. Zayan ikut juga.”
Begitu panggilan berakhir, Puput segera mematikan ponselnya. Ia menatap Zayan yang berdiri tak jauh darinya, wajahnya langsung berubah serius.
“Kamu tahu nggak, gara-gara kelakuanmu, pamanmu yang harus menanggung beban berat sekarang.”
“Bu, apa sih yang aku lakuin? Aku cuma pergi sebentar, matiin HP, dan liburan sebentar buat nyegerin otak. Biar pas pulang bisa jadi dokter keren kayak Paman,” sahut Zayan dengan gaya santainya yang khas.
Zayan tidak menyangka sambutan ibunya akan segalak itu. Biasanya, ibunya selalu lembut dan penuh pelukan saat menyambutnya. Tapi sekarang… seperti melihat srigala lapar yang siap menerkam. Awalnya Zayan berniat minta restu untuk melamar gadis pujaannya, tapi rencana itu langsung buyar.
“Kamu benar-benar keterlaluan! Untung ayahmu dan pamanmu nggak keburu nemuin kamu duluan,” tukas Puput dengan nada tajam.
Zayan menatap ibunya bingung, walau di dalam hati ia sadar benar—membawa anak orang pergi diam-diam dan jalan-jalan ke luar negeri memang bukan hal sepele.
“Memangnya aku salah apa, Bu?” tanyanya, sok polos.
“Udah, jangan banyak omong. Sekarang ikut Ibu ke rumah sakit. Kita harus ketemu Paman kamu… dan istrinya.”
Zayan mengernyit. “Paman udah nikah?! Serius? Siapa perempuan luar biasa yang bisa meluluhkan gunung es sekeras Paman?”
Puput hanya menghela napas panjang, lalu menjawab dengan tindakan—menjewer telinga Zayan tanpa ampun.
“Auww! Bu! Sakit! Kenapa nggak jawab aja sih?!” protes Zayan sambil menahan tawa.
Puput tidak cukup berani menjelaskan semuanya sekarang. Ia takut kalau Zayan tahu kebenarannya, anak itu malah kabur lagi. Untuk sekarang, lebih baik Zayan mengetahuinya langsung di depan orangnya.
Hanya membutuhkan waktu 30 menit kini Zayan dan puput sampai di rumah sakit. Puput dan Zayan berjalan cepat di lorong rumah sakit, sepatu mereka menjejak lantai dengan ritme cemas. Wajah Puput penuh kekhawatiran, sementara Zayan masih terlihat santai—meski mulai terusik oleh ketegangan yang menggantung sejak mereka tiba.
“Kita mau ke ruang mana, Bu?” tanya Zayan sambil menatap sekeliling.
“Ruang tindakan obstetri. Cepat, jangan banyak tanya,” sahut Puput pendek.
Sesampainya di depan ruang perawatan, langkah Puput terhenti begitu melihat Arsen berdiri di sana. Kemejanya kusut, sebagian berlumur noda darah yang sudah mengering. Wajahnya tampak letih, tapi tatapannya segera berubah tajam saat melihat siapa yang datang bersamanya.
Puput menghampiri lebih dulu. “Gimana keadaannya?”
“Stabil. Tapi harus bed rest total,” jawab Arsen datar, tanpa menoleh sedikit pun pada Zayan.
Zayan menelan ludah, lalu melangkah maju. “Paman… maaf, aku—”
Bugh!
Sebuah bogem mentah mendarat telak di wajahnya sebelum kalimat itu selesai. Zayan terhuyung mundur, terkejut.
“Dasar pecundang!” bentak Arsen, suaranya pecah oleh amarah yang sudah tak terbendung. Matanya merah, penuh kebencian. “Lihat wajahmu saja bikin aku muak!”
“Paman, kenapa kamu mukul aku?! Apa salahku?” Zayan membalas dengan bingung, memegang rahangnya yang nyeri.
Arsen menunjuk tajam ke arah kaca ruangan. “Lihat sendiri!”
Zayan mendekat perlahan, matanya mengikuti arah telunjuk itu—dan di balik kaca bening, ia melihat sosok yang begitu dikenalnya. Terbaring lemah, selang infus menancap di tangan, oksigen menutupi hidung.
“Naya…” bisiknya lirih, seolah dunia berhenti berputar.
Arsen berjalan mendekat, suaranya menggema dengan nada tajam. “Sekarang kamu tahu kenapa. Dia—wanita yang kamu hancurkan—sedang mengandung anakmu. Dan kamu tinggalin dia begitu saja!”
Wajah Zayan memucat, tapi ekspresinya berubah tegang. Rahangnya mengeras, dan suara yang keluar darinya terdengar tajam, membelah keheningan di lorong rumah sakit.
“Aku bukan ayah dari anak itu!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
css
mulai terkuak,,,Arsen harus segera tahu klw itu anaknya kasian Naya😭
2025-04-10
1
css
kok belum update kak 😍
2025-04-11
1