“Ayan, aku hamil.”
“Ayan, kamu ke mana saja selama ini?”
“Ayan, aku minta maaf karena pergi saat itu.”
“Ayan, aku rindu… ayo mulai dari awal, bersama anak kita.”
Kalimat-kalimat itu sudah lama Naya simpan. Ia mengulanginya terus dalam benaknya, membayangkan saat akhirnya bisa bertemu Zayan. Dalam pikirannya, pertemuan itu akan menjadi jawaban dari semua luka. Ia berharap penderitaan yang selama ini menyesakkan akan digantikan oleh pelukan hangat dan pengakuan Zayan bahwa ia pun merindukannya.
Dan harapan terbesarnya bisa membina keluarga dengan calon bayi mereka, meskipun sangat sulit, tapi ia akan siap, jika itu bersamanya.
Namun, semua itu runtuh dalam sekejap. Kenyataan menamparnya begitu keras, membuatnya sulit bernapas.
Zayan datang bersama seorang wanita. Ia mempersilakan wanita itu duduk dengan lembut, lalu berbalik. Tanpa sepatah kata, ia langsung menarik pergelangan tangan Naya dan membawanya menjauh, ke lorong sempit di belakang.
“Zayan! Siapa wanita itu?!” seru Naya, berusaha melepaskan diri, suaranya bergetar antara marah dan takut.
Zayan menatapnya dingin, dari ujung kepala hingga kaki. Matanya menelusuri perubahan tubuh Naya yang jelas berbeda—ia tak bisa tidak melihatnya. Ada gurat lelah, tubuh yang sedikit kurus dan tak terawat… tapi ia memilih mengabaikannya.
“Bukan urusanmu,” katanya datar. “Ngapain kamu di sini? Kerja? Bukannya kamu sibuk kuliah?”
Naya terdiam sesaat, hatinya serasa diremuk. Bahkan nada suara Zayan terasa asing.
“Ayan…” katanya pelan, berusaha menahan isak, “kamu… beneran nggak tahu, atau pura-pura nggak tahu?”
Zayan mengernyit. “Maksudmu apa?”
Naya menatap langsung ke matanya, tak ada lagi yang bisa ditahan. “Aku hamil, Ayan. Aku hamil anak kamu.”
Zayan tertawa keras. Tawanya tajam, kasar, seperti pisau yang mengiris hati Naya tanpa ampun. “Hamil anakku? Gila kamu, Nay. Kamu ngigau?”
Naya membeku. Dunia seakan berhenti berputar. Tapi kata-kata Zayan berikutnya jauh lebih menyakitkan.
“Aku bahkan nggak pernah nyentuh kamu. Kamu sendiri yang selalu ngomong soal prinsip, kan?”
“Ayan… jangan ngomong kayak gitu,” suara Naya hampir tak terdengar. “Kamu lupa? Malam itu, sebulan yang lalu…”
Zayan memijit batang hidungnya, baru kini mengingat samar-samar. “Oh… itu ya?” katanya enteng, seperti sedang membicarakan hal sepele. “Iya, waktu itu aku kasih kamu obat, niatnya biar kita bisa bermalam barsama. Tapi setelah itu aku pergi sama dia. Aku nggak sempat sentuh kamu, Nay.”
Kemudian, dengan nada tajam dan mata yang menyempit, ia menambahkan, “Dan sekarang kamu bilang hamil? Bajingan mana yang kamu ajak tidur, hah? Kamu menjijikkan sekali.”
Naya menunduk. Air matanya jatuh satu per satu, tanpa bisa ia tahan lagi. Tapi samar-samar Naya ingat jika Zayan pergi dan berjanji akan kembali lagi, tidak mungkin dia berbohong kan? Naya mencoba menolak fakta yang baru saja ia dengar lagi pula pagi harinya ia benar-benar yakin jika ia terbangun di atas ranjang bersamanya.
"Ayan, jangan bercanda. Kamu bohong, kan? Ayan, aku ingat sangat jelas saat aku bangun, itu punggung kamu. Maaf, aku yang langsung pergi. Jangan seperti ini, Ayan," ucap Naya mengiba.
"Naya, apa kamu bodoh? Kamu melihat punggungku? Sejak kapan aku membuka baju di depanmu? Kamu yakin itu aku?"
Deg.
Memang benar selama ini Naya tidak pernah melihat tubuh Zayan tanpa kain penutup, tapi bukankah itu sama saja?
"Baiklah, kalau kamu tidak percaya, aku bisa menunjukkan punggungku. Di sana aku punya tanda lahir," ungkap Zayan.
Bagaimanapun, ia akan membuktikan bahwa dirinya benar. Lagipula, dia juga tidak ingin dituntut pertanggungjawaban atas sesuatu yang tidak ia lakukan, apalagi saat ini ia sedang menjalin hubungan dengan wanita yang sejak dulu ia sukai. Sebentar lagi ia akan membawa wanita itu pulang dan berbicara dengan keluarga besar untuk menikahinya.
Sementara itu, Naya kini seperti ditampar kenyataan. Cukup singkat dan jelas apa yang dikatakan Zayan. Jika lelaki malam itu bukanlah dirinya... kini Naya merasa tubuhnya begitu kotor.
Bagaimana bisa ia tidur dengan lelaki yang tidak ia ketahui, dan kini hamil anaknya? Tidak hanya itu—bagaimana ia bisa menjelaskan pada Arsen bahwa sekarang dirinya tidak mengandung darah dari keluarga Alastair?
Saat Naya mengalami tekanan justru Zayan tersenyum mengejek. "Murahan!"
Naya mengepalkan tangannya. Meskipun sekarang ia merasa kotor, tapi dirinya juga tidak sepenuhnya salah. "Kamu hina aku murahan dan menjijikkan? Aku seperti ini karena ulahmu, Zayan Alastair! Jika ada kehidupan setelah ini, aku berharap tidak akan pernah mengenalmu, apalagi menyukaimu!"
Setelah mengatakan kalimat itu dan membuat Zayan terpaku, Naya gegas meninggalkan restoran. Hatinya hancur, tubuhnya kotor, rasanya ia ingin menangis dan menjerit. Sesekali ia memukul perutnya untuk melepaskan beban yang ia tanggung.
"Kenapa? Kenapa bisa seperti ini?" teriaknya.
Sementara itu, di rumah sakit, Arsen baru saja melangkah ke ruang operasi ketika dadanya tiba-tiba terasa sesak. Seolah ada tangan tak terlihat yang meremas jantungnya, membuat napasnya tercekat. Perasaan itu datang begitu saja, tanpa peringatan. Tapi rasanya… familiar. Dan kali ini lebih menyakitkan dari apa pun yang pernah ia rasakan.
Air mata yang selama tiga hari terakhir tak pernah jatuh, kini mengalir begitu saja—diam-diam, tapi deras.
“Dok, Anda tidak apa-apa?” tanya seorang perawat, memandangnya cemas.
Arsen tersentak. Wajah Naya langsung melintas di kepalanya. Ada sesuatu… sesuatu yang salah. Ia bisa merasakannya. Entah kenapa, pikirannya langsung tertuju pada Naya dan bayinya.
Tanpa berpikir panjang, ia melepas masker operasi dari wajahnya dan berbalik.
“Hubungi Dokter Dito. Suruh dia gantiin aku,” katanya cepat.
“Tapi, Dok… ini prosedur penting—”
“Aku bilang hubungi dia!” seru Arsen, lebih tajam dari biasanya.
Ia tak menunggu jawaban. Langkah-langkahnya terdengar cepat dan berat saat ia bergegas menuju parkiran. Di bawah langit yang mulai gelap dan hujan yang turun gerimis, Arsen mengemudi dengan pikiran tak karuan.
Saat hendak membelok di pertigaan menuju rumahnya, pandangannya tertumbuk pada sosok yang sangat ia kenal. Rem mobil diinjak mendadak.
“Naya?”
Di kejauhan, di tengah rinai hujan, seorang perempuan berjalan sempoyongan. Rambutnya basah, wajahnya pucat, dan tangannya mencengkeram perutnya dengan erat. Langkahnya gontai, seperti bisa roboh kapan saja.
“NAYA!”
Arsen membuka pintu mobil dan berlari menerobos hujan. Tubuhnya nyaris tergelincir karena jalan licin, tapi ia terus berlari hingga berhasil menggenggam bahu gadis itu.
“Nay, kamu kenapa?! Lihat aku, ini aku, Arsen! Naya!” serunya panik.
Gadis itu perlahan mendongak. Matanya merah, sembab. Di balik tatapan kosongnya, ada luka yang dalam yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
“Paman... apa itu benar kamu?” bisiknya, nyaris tak terdengar. “Maaf... Paman... maaf...”
Tubuhnya limbung. Dalam sekejap, ia roboh dalam pelukan Arsen.
“NAYA! Naya, bangun! Dengar aku, kamu nggak boleh pingsan sekarang!” Arsen memeluknya erat, menahan tubuhnya agar tak jatuh ke tanah.
Namun saat ia menurunkan pandangannya, napasnya tercekat. Tangan Naya terkulai, dan dari sela-sela jemarinya... darah mengalir perlahan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments