Di luar ruangan, Arsen bersandar pada dinding dingin tembok pembatas antara dirinya dan Naya. Kepalanya tertunduk, rahangnya mengeras menahan gelombang emosi yang tak bisa ia akui bahkan pada dirinya sendiri.
“Sial…” desisnya lirih, seolah bicara pada udara. Ia mengutuk mulutnya sendiri—yang lagi-lagi gagal menyampaikan maksud hati.
Padahal semalam, saat duduk sendiri dalam gelap, ia sudah bertekad. Akan memperbaiki semuanya. Akan mencoba bicara lebih lembut, lebih manusiawi. Akan menurunkan nada suaranya, dan mulai belajar memahami.
Tapi begitu melihat Naya membuka mata, mata yang memaksa dirinya harus mengikuti kata menyelamatkan nama kelurga semua niat itu sirna. Ia kembali menjadi dirinya yang lama. Dingin. Kaku. Membentengi diri dengan kata-kata datar, seperti biasa.
Arsen menghela napas panjang dan menutup wajahnya dengan satu tangan, seakan bisa menghapus kegagalannya sendiri.
“Kenapa susah sekali buat bersikap normal ke dia…” gumamnya, nyaris patah.
Bayangan semalam terlintas. Naya, dalam kondisi setengah sadar, memeluk perutnya. Gerakan kecil, penuh perlindungan, penuh cinta. Arsen melihatnya, dan untuk sesaat, ia merasa... kecil. Tak berguna. Tak pantas.
Dan sekarang, ia malah bicara seolah Naya cuma pasien dan juga wanita yang tengah mengandung darah dari keluarga Alastair. Padahal semua yang ia pikirkan tadi tidak salah. Fakta.
Tapi kenapa... kenapa justru hatinya terasa sesak? Kenapa rasanya seperti menampar dirinya sendiri? Sekali lagi pertanyaan yang sama 'apa yang terjadi padanya' terlontar dari mulut Arsen, seolah ia tidak bisa mengartikan satu kata yang mungkin terlewatkan.
***
Tiga hari setelah kejadian itu, Arsen belum pernah pulang. Ia memilih menyibukkan diri di rumah sakit, menenggelamkan waktu dalam jadwal yang padat dan dinginnya ruang medis—seolah dengan begitu, ia bisa melupakan semua yang terjadi.
Sementara itu, Naya mencoba bertahan dengan cara lain. Setelah menerima pinjaman dari sahabatnya, Nisa, ia kini bekerja di sebuah restoran kecil sebagai pelayan. Tubuhnya masih ringkih, sering mual dan cepat lelah, tapi ia tetap memaksa diri untuk berdiri, untuk tersenyum, dan menyembunyikan segala rasa pahit di balik apron yang sudah mulai usang.
Sore itu, Naya tampak sedikit goyah saat membawa nampan berisi minuman ke salah satu meja pelanggan. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Dari belakang, Nisa yang sedari tadi memperhatikannya, segera menghampiri.
“Nay, kalau kamu capek, istirahat dulu. Kasihan kamu, lagi hamil muda,” ucap Nisa lembut, menggenggam lengan sahabatnya.
Naya menggeleng perlahan, mencoba tersenyum meski sorot matanya tak bisa berbohong. “Kalau aku terus-terusan istirahat, nanti bisa-bisa ditegur bos. Nggak digaji. Lalu... gimana aku bisa bayar utang ke kamu, Nis?”
“Halah, Nay...” Nisa menatapnya sambil tertawa kecil, meski ada nada getir yang terselip. “Santai aja. Kamu tahu sendiri aku ini hidup sendirian. Nggak ada tanggungan. Uang buatku cuma... lembaran kertas yang kadang bahkan nggak tahu mau dipakai buat apa.”
Naya terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca. “Tapi buat aku... bantuan kamu itu berarti banget, Nis. Kamu satu-satunya orang yang nggak ninggalin aku.”
Nisa menarik napas panjang dan mengusap punggung Naya lembut. “Kalau begitu, janji ya. Yang paling penting sekarang kamu sehat. Aku nggak akan biarin kamu jatuh, Nay. Aku di sini.”
Naya mengangguk pelan, menahan air mata yang sudah menggenang.
Tapi di balik senyumnya, ada kehampaan yang terus menyesakkan. Tiga hari. Tiga malam. Tak ada kabar dari Arsen. Seolah pria itu benar-benar ingin menghilang dari kehidupannya.
"Suami kamu beneran nggak ngasih kabar, Nay?" gumam Nisa pelan. "Kalau tahu bakal begini... mungkin dulu aku nggak akan dukung kamu nikah. Mending aku culik kamu, ajak kabur jauh-jauh."
Naya menatap sahabatnya, lalu tersenyum getir. “Kenapa nggak kamu lakukan aja waktu itu?” ucapnya dengan nada bercanda, walau suaranya terdengar getir. “Sekarang... aku masih merasa bersalah ke dia. Jadi kalau dia mau menjauh, aku bisa apa? Yang penting sekarang aku harus kuat. Harus punya pegangan supaya bisa rawat bayi ini.”
Nisa mengangguk, menahan emosi. “Kalau gitu, aku dukung kamu, Nay. Nanti kalau dia lahir, suruh aja panggil aku Mama. Boleh, kan?”
Naya tertawa kecil meski matanya masih merah. “Tentu. Dia pasti senang banget punya dua ibu yang sama-sama sayang sama dia.”
Nisa tersenyum, tapi tak mampu menyembunyikan rasa khawatirnya. Ia tahu betul kisah lama antara Naya dan Zayan. Luka yang belum benar-benar sembuh, kini menambah beban baru di pundak sahabatnya.
“Nay…” ucap Nisa pelan, “jadi... kamu beneran nggak tahu dia di mana sekarang?”
Naya tahu siapa yang dimaksud. Nama yang selama beberapa hari berhasil ia kubur, kini kembali muncul dan menyesaki benaknya. Zayan.
Tanpa sadar, ia menggeleng pelan. Suaranya nyaris tak terdengar. “Mungkin dia... terlalu malu buat mengakui anak ini. Atau memang dia benar-benar ingin bebas. Harusnya, dengan status keluarga mereka, berita tentang aku menikah dengan pamannya pasti udah sampai ke telinganya. Tapi... sampai sekarang, lebih dari seminggu, dia nggak pernah muncul. Terakhir kali aku lihat... di pusat perbelanjaan. Tapi aku juga nggak yakin itu dia atau bukan.”
Naya menunduk. Jemarinya menggenggam erat apron yang dikenakannya, seolah pegangan itu bisa menahan segala yang nyaris runtuh di dalam dirinya. Ada sesuatu yang terus mengganjal di hatinya—sebuah ruang hampa yang dipenuhi pertanyaan tanpa jawaban. Penyesalan yang tak bisa ia hapus, sekuat apa pun ia mencoba.
Saat Naya tenggelam dalam pusaran pikirannya, Nisa sempat mengangkat tangan, hampir memeluk sahabatnya untuk menenangkannya. Namun gerakannya terhenti. Bola matanya menangkap sosok yang sangat familiar, yang membuat napasnya tercekat.
“Nay…” ucap Nisa pelan, nyaris berbisik, “bukankah itu... Zayan?”
Naya sontak mendongak, mengikuti arah pandang sahabatnya. Dan benar—jantungnya seolah berhenti berdetak sesaat. Di seberang jalan, berdiri pria itu. Zayan. Lelaki yang pernah menjadi segalanya, lalu menghilang tanpa jejak, meninggalkan luka paling dalam di hidupnya.
Jantung Naya berdegup kencang. Ia ingin segera menghampiri. Ingin menuntut penjelasan, menumpahkan segala kemarahan dan luka yang selama ini ia kubur dalam-dalam. Tapi langkahnya terhenti begitu saja.
Matanya terpaku pada sosok wanita yang berjalan di sisi Zayan—begitu cantik dan anggun, mengenakan gaun putih sederhana dengan senyum yang begitu tenang. Cara Zayan menatap wanita itu... bukan sekadar akrab, tapi penuh rasa. Pandangan yang pernah ia kenal, dulu—di masa ketika Zayan membuatnya merasa istimewa, seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Kini, pandangan itu tak lagi untuknya.
Naya masih berdiri mematung, tubuhnya terasa ringan, seolah tak berpijak. Ia bahkan tak menyadari napasnya mulai tersendat, sampai Nisa menyentuh lengannya.
“Nay... kamu nggak apa-apa?”
Tapi sebelum Naya sempat menjawab, pintu restoran berdenting pelan. Naya menoleh—dan saat itulah jantungnya benar-benar berdebar kencang.
Zayan. Bersama wanita itu. Masuk ke dalam restoran tempat Naya bekerja.
Langkah mereka pelan, santai. Seolah tak ada luka yang tertinggal di masa lalu. Seolah Zayan benar-benar tak tahu bahwa seseorang yang pernah ia tinggalkan tanpa penjelasan kini berdiri hanya beberapa meter darinya—dengan apron lusuh, tangan gemetar, dan perut yang perlahan membesar.
Naya menelan ludah, tenggorokannya kering. Jantungnya begitu gaduh dalam dada, tapi tubuhnya tak bisa bergerak. Ia tak harus bersusah payah menghampiri Zayan, karena takdir justru membawanya tepat ke hadapannya.
Dan saat Zayan mengangkat wajahnya, pandangan mereka bertemu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments