Keesokan paginya.
Naya sudah sibuk di dapur sejak matahari baru menyapa. Sesuai jadwal, hari ini ia akan menghadapi ujian tengah semester—langkah terakhir sebelum masa magang dimulai. Tapi sebelum itu, ia harus mengisi tenaga. Sarapan, menurut banyak artikel kesehatan yang ia baca, bukan hal yang boleh disepelekan.
Sambil membalik nasi goreng di wajan, aroma bawang putih dan kecap manis memenuhi udara. Tangannya lincah, tapi pikirannya melayang. Sesekali, matanya menoleh ke arah kamar yang semalam dimasuki Arsen. Ada ganjalan yang belum selesai. Raut wajah lelaki yang kini bisa disebut sebagai suami itu sedih beruraikan air mata masih membekas dalam ingatan. Tapi Naya tahu diri. Arsen telah membangun tembok tinggi—tak kasat mata, tapi nyata terasa.
"Nay, sadarkan dirimu. Dia sudah berusaha bertanggung jawab meskipun terpaksa itu saja harusnya sudah cukup, jangan melangkah jauh," gumamnya pelan, seolah meyakinkan diri sendiri.
Namun, suara hatinya kembali berbisik, lebih jujur daripada logika.
"Kalau aku makan sendiri... bukankah itu terlalu egois? Dia sudah banyak berkorban. Ini bukan soal perhatian. Ini soal rasa terima kasih."
Dengan helaan napas, Naya mengambil dua piring. Ia menyiapkan sarapan untuk Arsen juga—nasi goreng hangat dengan telur dadar yang baru matang. Segelas susu putih ia letakkan di sisi piring milik Arsen. Semua ia lakukan dalam diam, dengan hati-hati seolah sedang merawat sesuatu yang rapuh.
"Setidaknya... dia sempat sarapan sebelum pergi," bisiknya pelan, mencoba tersenyum walau perutnya dipenuhi kegugupan.
Langkah kaki berat terdengar dari lorong. Arsen muncul dari balik pintu, rambutnya masih sedikit basah, mengenakan kaus gelap dan celana panjang santai. Pandangannya langsung jatuh pada meja makan—dua piring tertata rapi, lengkap dengan telur dan air putih. Rumah yang biasanya sunyi kini terasa… hidup.
Ada getaran hangat yang muncul di dadanya. Rumah ini tak lagi sekadar tempat singgah. Ada suara, ada aroma makanan, ada seseorang yang mengisi ruang kosong itu. Tapi Arsen buru-buru menepis perasaan itu. Ia tak boleh hanyut dalam kelembutan. Bukan untuk wanita yang dulu ia tahu adalah milik ponakannya. Bukan untuk bayi yang bukan darah dagingnya, meski kini harus ia jaga.
Ia memandangi Naya sebentar, ekspresinya tetap dingin.
"Paman, aku buatkan sarapan," ucap Naya pelan, menunjuk kursi di seberangnya. "Kalau nggak suka... aku bisa bikin yang lain."
"Aku nggak lapar," potong Arsen, suaranya datar.
Pandangan matanya menyapu piring itu—nasi goreng yang tampak lezat, telur dadar matang sempurna. Tapi hatinya menolak untuk menunjukkannya.
Hening.
Naya menunduk, ada rasa kecewa yang perlahan memenuhi dadanya. Ia berusaha menelannya, tapi tetap terasa perih.
"Tapi Paman belum makan dari semalam..." ucapnya mencoba membujuk.
Arsen meraih jaket yang tersampir di kursi, gerakannya tergesa dan kaku.
"Kamu nggak perlu menunjukan perhatian itu padaku. Fokus aja sama dirimu sendiri. Jangan merepotkan," ucap Arsen dengan nada dingin. Di menit selanjutnya, ia melangkah pergi. Pintu tertutup pelan, tapi rasanya seperti gemuruh di kepala Naya.
Naya masih berdiri di tempat. Tangan yang tadi memegang sendok kini gemetar. Matanya tertuju pada dua piring nasi goreng. Satu tetap utuh. Tak tersentuh.
Perlahan, ia duduk. Menatap piring miliknya. Uapnya sudah tak lagi hangat. Begitu juga hatinya.
"Nggak apa-apa, Nay... Kalau dia nggak mau, bukankah bagus setidaknya kamu dan bayimu bisa makan lebih dari cukup hari ini. Itu yang paling penting," ucapnya pelan, mencoba menguatkan diri sendiri.
Tapi dada terasa sesak. Ada sesuatu yang retak—pelan-pelan, namun nyata.
***
Di sisi lain, Arsen melaju di jalanan pagi dengan kecepatan sedang. Awalnya, semuanya terasa biasa saja. Tapi perlahan, rasa sakit itu kembali datang—menyesak di dada, seperti ada yang menggenggam erat dari dalam. Tangannya mencengkeram setir kuat-kuat, seolah mencari pegangan untuk melampiaskan sesuatu yang tak tertahankan. Tak butuh waktu lama, air mata mulai turun, tanpa bisa ia kendalikan. Ia bahkan tak sadar kapan tepatnya ia mulai menangis.
"Apa aku sudah gila?" bisiknya lirih, suara serak. Sesekali ia mengusap pipinya, mencoba menghapus jejak perasaan yang tak bisa ia pahami.
Emosinya naik-turun, tak tentu arah. Ada marah, takut, sedih, semua bercampur jadi satu. Ia merasa asing—bukan hanya pada dunia, tapi pada dirinya sendiri.
Sebagai seorang dokter bedah, ia terbiasa bersikap tenang, tegas, dan rasional. Tapi semalam dan pagi ini, semuanya terasa kacau. Ia tak bisa menjelaskan apa yang berkecamuk di hatinya.
Arsen menarik napas panjang, mencoba menstabilkan diri. Tapi ia tahu, ini bukan sekadar kelelahan atau stres. Ini sudah menyentuh sesuatu yang lebih dalam. Dengan keputusan cepat, ia segera menginjak gas mobil menuju rumah sakit. Bukan untuk menangani pasien. Tapi untuk dirinya sendiri.
"Aku nggak bisa selamatkan orang lain... kalau jiwaku sendiri sedang terluka," gumamnya lirih.
Setibanya di rumah sakit tempat ia bekerja, Arsen langsung menuju ruang psikiater sebelum mulai bertugas. Ia tahu, ia tak bisa terus menunda ini.
"Jadi, Dokter Arsen merasa sedih... tanpa tahu sebabnya?" ulang sang psikiater—seorang pria paruh baya dengan sorot mata tenang dan suara bersahabat. Ia menatap Arsen yang duduk tegak di hadapannya. Tangan saling menggenggam di pangkuan, mata memerah, tapi wajahnya tetap berusaha tampak kuat.
Arsen mengangguk pelan. “Awalnya saya kira hanya karena lelah. Tapi ini beda, Dok. Rasanya... seperti dicekik dari dalam. Dada sesak. Seperti ada kesedihan yang bukan milik saya, tapi saya rasakan sepenuhnya.”
Psikiater itu mencatat sesuatu, lalu menatap Arsen kembali dengan empati. “Baik. Kita lakukan pemeriksaan dulu, ya. Saya ingin memastikan ini bukan gangguan mood atau kondisi psikologis lain.”
Pemeriksaan dilakukan dengan menyeluruh. Pertanyaan demi pertanyaan mengalir, soal pola tidur, tekanan kerja, trauma masa lalu, hingga dinamika hubungan pribadi. Namun dari evaluasi awal, semuanya berada dalam batas normal. Tak ada indikasi depresi berat ataupun gangguan kecemasan.
“Secara medis dan psikologis, Anda stabil, Dokter Arsen,” ujar psikiater itu sambil meletakkan berkasnya. “Tapi... ada satu hal yang ingin saya gali lebih jauh.”
Arsen hanya mengangguk. Ia tak banyak bicara, tapi diamnya memberi ruang.
“Coba ingat kembali. Momen terakhir sebelum rasa sesak itu datang. Apa yang terjadi sebelumnya?”
Arsen terdiam cukup lama. Benaknya mengingat-ingat kembali, dan kini ia baru sadar jika ia sedih setelah berkata dingin pada Naya.
“Saya... berkata kasar pada wanita itu. Seperti pagi ini dia sudah menyiapkan sarapan. Tapi saya menolaknya. Bahkan bukan cuma menolak—saya bilang dia nggak pantas menunjukkan perhatian pada saya.”
Psikiater itu mengerutkan alis tipis, lalu tersenyum samar. “Apa maksud Anda wanita itu adalah istri Anda?" melihat Arsen mengangguk tipis, dengan sedikit menggelengkan kepala dokter itu bertanya kembali, "Apa istri Anda sedang hamil?”
Pertanyaan itu membuat napas Arsen tertahan. Ia menatap dokter itu, bingung, lalu mengangguk pelan. “Ya. Baru semester awal.”
Sang dokter ikut mengangguk, wajahnya tenang dan penuh pengertian.
“Ini bukan gangguan jiwa, Dokter. Tapi kemungkinan besar, ini yang kita sebut pregnancy sympathy atau couvade syndrome. Sebuah kondisi di mana suami ikut merasakan gejala emosional—bahkan fisik—yang dialami istri selama kehamilan.”
Arsen mengerutkan dahi. “Maksudnya... saya bisa ikut merasakan apa yang di alami wanita itu? Hah... itu tidak mungkin Dok.”
“Kenapa tidak mungkin, ini bisa terjadi. Dan itu cukup umum, walau jarang disadari. Rasa lelah, sedih, mual, bahkan gangguan tidur bisa muncul sebagai bagian dari ikatan emosional yang kuat antara Anda dan istri... atau bahkan bayi.”
Dada Arsen terasa semakin berat. Pikirannya berkecamuk.
Psikiater itu menatapnya lekat, lalu menjawab lembut, “Saya rasa... Anda sedang belajar mengenali perasaan Anda sendiri. Kadang, rasa bersalah bisa jauh lebih menyakitkan dari yang kita duga. Dan jika Anda merasa sakit, mungkin itu adalah bayangan luka yang Anda beri pada seseorang... yang sebenarnya ingin Anda jaga.”
Arsen menunduk, jemarinya mengepal di atas pangkuan. Suaranya nyaris hilang.
“Bagaimana mungkin...?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments