Naya buru-buru melangkah cepat, mengejar sosok lelaki yang tadi dilihatnya. Tapi langkahnya tak secepat harapannya. Sosok itu sudah lebih dulu menghilang di balik kerumunan.
“Zayan… apa itu kamu?” bisiknya pelan, matanya menyapu setiap wajah yang berlalu. Tak ada jawaban. Tak ada yang menoleh. Tapi hatinya yakin—lelaki itu adalah Zayan.
Napasnya memburu. Sekujur tubuhnya gemetar, bukan karena lelah, tapi karena harapan yang tiba-tiba tumbuh dan kembali layu dalam hitungan detik.
Kini, Zayan menghilang lagi. Sama seperti sebelumnya.
Naya menunduk sejenak, kemudian tersenyum kecil sambil mengelus perutnya. “Nak… kita pasti akan bertemu ayahmu. Dan setelah itu, kita pasti bisa jadi keluarga yang bahagia. Paman Arsen yang sekarang menggantikan ayahmu… dia akan bebas dari beban ini. Kita nggak perlu merasa bersalah lagi.”
Kata-katanya lirih tapi penuh keyakinan. Mungkin hari ini belum saatnya. Tapi jika Zayan ada di kota ini, cepat atau lambat mereka akan bertemu kembali.
Dengan napas yang mulai stabil, Naya memutuskan untuk kembali ke toko pakaian. Ia masih harus menyelesaikan belanja, masih harus pulang dan kembali belajar untuk ujian besok.
***
Pukul delapan malam, akhirnya Naya tiba di rumah mewah yang kini ia tinggali. Tubuhnya terasa lelah, tapi pikirannya masih dipenuhi bayang-bayang Zayan. Ia membuka pintu perlahan, berharap bisa langsung masuk ke kamarnya dan beristirahat.
Namun, jantungnya seketika berdegup kencang saat matanya menangkap sosok Arsen tengah duduk di sofa ruang tengah. Lelaki itu menatapnya lekat—dingin dan tajam, seperti seorang ayah yang memergoki anak gadisnya pulang larut malam tanpa izin.
“Pa... Paman,” panggil Naya pelan, gugup. Suaranya nyaris tak terdengar. Ia menunduk, tak sanggup menatap mata Arsen yang menusuk itu.
“Kamu nggak betah di rumah, jadi sibuk cari pelarian di luar sana?” tuduh Arsen datar. Nada suaranya sarat sindiran, namun wajahnya tetap datar, tak menunjukkan emosi.
“Aku... hanya…”
Tatapan Arsen turun ke tangan Naya yang membawa beberapa kantong belanja.
“Berbelanja?” ujarnya sinis. “Sepertinya kamu mulai menikmati peran sebagai Nyonya Alastair.”
Naya menarik napas panjang. Ia harus menahan diri, menahan semua emosi yang bergolak di dalam dadanya. Berbicara dengan Arsen selalu terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca—tajam, menyakitkan, dan penuh risiko. Ia tak pernah tahu kata mana yang akan dijadikan jebakan, atau sikap mana yang akan disalahartikan.
Tapi malam ini, ia terlalu lelah untuk meladeni pertengkaran.
“Maaf, aku cuma keluar sebentar. Kulkas kosong... dan aku butuh udara,” jawab Naya lirih, tapi jujur.
“Alasan!”
“Paman, aku tidak—”
“Sudahlah. Lagipula, aku juga tidak mau tahu dan tidak butuh alasan darimu. Aku pulang hari ini karena ibumu terus-menerus menanyakan keadaanmu. Jadi tolong, jangan memanfaatkan situasi dan menyeret ibumu supaya aku terlihat lebih peduli padamu. Ingat, pernikahan ini hanya bentuk tanggung jawab. Bukan pernikahan yang akan memberimu suami yang perhatian dan pengertian. Kamu perlu ingat itu, Naya!”
Naya memejamkan mata sejenak. Ia berusaha keras agar ucapan Arsen hanya masuk dari telinga kanan lalu keluar dari telinga kiri, tanpa harus singgah di otaknya yang bisa memengaruhi bayinya. Tapi sayangnya, hormon ibu hamil begitu sensitif. Sekalipun ia mencoba membenarkan kata-kata Arsen, tetap saja rasanya seperti ada duri yang menusuk jantungnya—kecil, tapi menyakitkan.
Ia ingin menangis. Tapi ia tahan. Semakin ia tahan, semakin sesak rasanya di dada.
“Kamu bisu sekarang? Tidak bisa jawab?”
“A... Aku mengerti, Paman,” jawab Naya pelan, menunduk.
Arsen menatapnya lama. Napasnya berat, tapi tak sedikit pun ia melunak. Wajahnya tetap kaku, matanya dingin tanpa simpati.
“Bagus kalau begitu,” gumamnya dingin. Ia melepas jas hitamnya dan melemparkannya ke sandaran sofa, lalu berjalan ke arah dapur tanpa menoleh lagi.
Naya tetap berdiri di tempat, memeluk kantong belanjaannya erat. Ia tahu, tak ada yang bisa ia lakukan untuk membuat Arsen bersikap hangat. Kini yang bisa ia lakukan hanyalah mengusap lembut perutnya yang masih datar, lalu berkata lirih, nyaris seperti kutukan, “Nak, kata orang ikatan batin anak dan orang tua itu sangat kuat. Mama tidak mengutuk ayahmu, tapi mama berharap... dia juga merasakan apa yang mama dan kamu rasakan saat ini.”
Arsen yang berada di dapur, sedang membuka kulkas dan mengambil sebotol air mineral, seketika terdiam. Tutup botol masih di tangannya. Ia meneguk air itu dalam satu tarikan panjang, awalnya ia merasa baik-baik saja.
Tapi anehnya, setelah tegukan terakhir, tubuhnya tak tenang seperti biasanya. Justru terasa lebih sesak. Ada sesuatu yang mendesak keluar dari dalam dirinya—dan itu bukan amarah. Bukan rasa jengah. Tapi rasa yang tak ia kenal dengan baik, sedih.
Tanpa aba-aba, setetes air mata jatuh dari sudut matanya. Ia mengedip, bingung. Lalu menyeka pipinya cepat-cepat, seolah menolak keberadaan emosi itu.
Arsen mundur selangkah, bersandar pada pintu kulkas yang dingin. Napasnya mulai tidak beraturan, berat—seolah ada beban besar yang menekan dadanya. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, namun ia tetap tak bisa memahami apa yang sedang terjadi.
“Apa yang terjadi padaku…?” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.
Tatapannya jatuh pada bayangan dirinya sendiri di permukaan kulkas yang sedikit mengembun. Matanya merah, dan tanpa ia sadari, air mata kembali jatuh—membasahi pipi yang selama ini selalu ia jaga agar tetap kering, tetap kuat.
Ia bukan lelaki yang mudah menangis. Bahkan saat kehilangan kedua orangtuanya sekaligus, ia tetap berdiri tegak, menyembunyikan duka dalam dingin yang ia peluk erat. Tapi sekarang… kenapa ia bisa merasakan rasa sedih bahankan mengeluarkan air mata?
“Kenapa aku merasa seperti ini…” bisiknya nyaris patah, seolah jiwanya ikut goyah.
Di ruang tamu, Naya yang masih berdiri sambil memeluk kantong belanjaan, sontak tersentak saat samar-samar terdengar suara isak tangis. Tanpa pikir panjang, ia melangkah cepat ke arah dapur—dan hatinya mencelos begitu melihat Arsen, berdiri bersandar dengan air mata mengalir di wajahnya.
“Pa… Paman, apa yang terjadi?” tanyanya pelan, penuh kekhawatiran.
Arsen tersentak. Ia buru-buru menyeka air matanya, meski tangis itu belum benar-benar berhenti. Dadanya masih terasa sesak, tapi ia mencoba kembali membangun dinding yang runtuh barusan. Saat tangan Naya hampir menyentuh lengannya, Arsen menepisnya kasar.
“Bukan urusan kamu! Pergi! Jangan ikut campur!”
“Tapi, Paman—”
“PERGI!” Suara Arsen melengking tinggi, tajam dan penuh tekanan.
Bentakan itu membuat Naya tersentak, langkahnya terhenti, dan hatinya kembali tergores—perih seperti luka lama yang dibuka paksa.
Ia ingin menangis. Ingin melepaskan semua rasa sesak yang mengganjal di dadanya. Tapi entah mengapa, air matanya tak juga jatuh. Hanya matanya yang memanas, hanya dadanya yang bergemuruh. Dan saat ia kembali menatap Arsen... justru air mata lelaki itu yang semakin deras.
“Paman…” suara Naya nyaris seperti bisikan. “Apa yang paman rasakan… sampai menangis seperti itu? Apa yang terluka?”
Arsen menggertakkan rahangnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments