"Ar, kamu gila ya! Ini sudah tiga pasien yang kamu ambil buat operasi. Jangan lanjutkan lagi!" seru Dito, rekan sekaligus sahabat Arsen, dengan nada panik. "Kalau kamu sampai kehilangan fokus, bisa berakibat fatal!"
Dito benar-benar khawatir. Sejak semalam, Arsen belum meninggalkan rumah sakit. Ia terus berpindah dari satu ruang operasi ke ruang lainnya, seolah tubuhnya tak lagi terikat pada rasa lelah. Lelaki itu seperti sedang kerasukan—tak berhenti, tak peduli.
“Tenang saja. Aku masih bisa fokus,” jawab Arsen dengan suara datar. Terlalu datar. “Lagipula, aku menyelamatkan nyawa mereka. Kalau boleh jujur, aku malah berharap hari ini ada kecelakaan besar. Biar rumah sakit ini penuh pasien.”
Ucapan itu terlepas begitu saja—tanpa penyaring, tanpa empati.
Dito terdiam. Ia menatap Arsen tak percaya. Sahabatnya itu bukan tipe yang sembrono bicara, apalagi soal nyawa manusia. Tapi hari ini… Arsen berbeda.
Sebagai dokter bedah umum sekaligus kepala tim bedah, Arsen memang dikenal dingin dan penuh ambisi. Tapi sekarang, ada sesuatu yang jauh lebih mengganggu dari sekadar ambisi. Tatapannya tajam, tetapi kosong. Gerakannya rapi, tetapi tanpa semangat. Seolah ia sedang menghukum dirinya sendiri lewat pekerjaan.
“Ar…” Dito mendekat, menurunkan suaranya. “Kamu lagi sembunyi dari apa, sih?”
Arsen tidak menjawab. Ia hanya berjalan ke ruang istirahat, membuka loker, dan mengganti jas operasinya yang penuh noda darah. Gerakannya tenang, nyaris mekanis. Seperti seseorang yang sedang mencoba tetap hidup dengan cara apapun.
“Aku cuma butuh tetap sibuk,” kata Arsen pelan. “Itu saja.”
“Dengan berharap ada kecelakaan? Kamu dengar barusan kamu ngomong apa?”
Arsen menyandarkan tubuh ke lemari logam, menatap pantulan samar dirinya di permukaannya. “Ini lebih baik.”
“Lebih baik gimana? Kamu itu pengantin baru, Ar. Harusnya sekarang kamu ada di rumah, bukan begini… bekerja di ruang operasi kayak orang kesetanan.”
Ucapan Dito membuat Arsen mengalihkan pandangan, menajamkan sorot matanya. “Kalau kamu tidak bisa diam, aku punya cukup ketenangan buat jahit mulutmu.”
Dito hanya menghela napas. Ia sudah terbiasa dengan ancaman khas Arsen—tajam dan sinis. Tapi ia tidak akan mundur.
“Aku tahu kamu marah. Tapi perempuan itu sekarang istrimu, Ar. Sah, baik secara agama maupun hukum. Suka atau nggak, kamu punya tanggung jawab sebagai suami. Anggap saja ini latihan… sebelum kamu ketemu perempuan yang benar-benar kamu mau.”
Arsen tertawa pendek. Bukan karena lucu, tapi lebih karena getir. “Kamu pikir ini semua gampang?”
“Jelas nggak. Tapi ini udah dua hari sejak kalian menikah dan kamu belum juga pulang. Dia hamil, Ar. Perasaannya pasti sensitif. Kamu pikir dia nggak takut? Nggak bingung?”
“Aku nggak peduli,” sahut Arsen tajam. “Lagi pula itu bukan anakku.”
Dito menggertakkan gigi, mencoba tetap tenang. Tapi pertanyaan itu akhirnya meluncur, tanpa sempat ia tahan, “Kalau ternyata itu anakmu gimana?”
Arsen tersenyum miring. "Sudah jelas itu anak keponakanku. Jangan coba-coba bikin aku merasa bersalah, Dit."
“Tapi, Ar…” Dito menatapnya dalam-dalam. “Kalau dipikir-pikir, waktu kehamilan Naya itu pas banget dengan saat kamu... kamu tidur dengan perempuan itu. Kamu yakin ini cuma kebetulan?”
Wajah Arsen menegang. Jawaban itu tidak langsung keluar. Tapi ketika akhirnya ia bicara, nadanya tegas dan dingin.
"Apa yang sebenarnya mau kamu bilang, Dit? Dengar… di dunia ini nggak ada yang kebetulan. Dan nggak mungkin juga, dari sekian banyak perempuan, yang datang ke hidupku... adalah Naya."
Dito mengangkat bahunya, "Tidak ada yang tidak mungkin lagipula saat itu kamu sedang mabuk. Dan kamu juga yang merusak semua CCTV hingga tidak bisa diperbaiki, jadi masih banyak kemungkinan."
Arsen mengingat kejadian satu bulan yang lalu. Saat itu, ia baru saja menghadapi kenyataan pahit—pasien pertama yang ia tangani setelah menjabat sebagai dokter bedah justru tidak bisa diselamatkan. Pasien itu meninggal di meja operasinya, menghantam rasa percaya diri dan keyakinannya.
Meskipun Arsen tahu, sehebat apa pun tangannya dalam menyelamatkan nyawa, hidup dan mati tetap berada di luar kuasanya. Tapi tetap saja, ia tidak bisa menerima kenyataan itu.
Akhirnya, ia pergi ke salah satu apartemennya dan menghabiskan malam dengan menenggak alkohol, berusaha melupakan segalanya. Namun siapa sangka, malam itu justru mengukir babak baru dalam hidupnya.
"Sudah jangan banyak bicara!" ucap Arsen dingin, lalu kembali masuk ke ruang operasi.
***
Naya kembali mengelus perutnya yang masih datar. Lelah mulai terasa setelah seharian membersihkan seluruh sudut rumah. Tapi anehnya, justru ada ketenangan yang mengendap di hatinya. Sudah dua hari Arsen tak kembali—dan untuk saat ini, itu terasa seperti anugerah kecil.
Rumah besar yang sunyi ini, meski terasa asing dan dingin, memberinya kebebasan. Tak ada tatapan tajam. Tak ada kalimat menyakitkan. Hanya dirinya, diam-diam menyusun harapan di tengah kemewahan yang kosong makna.
Mungkin, pikir Naya, ini memang cara Arsen menghukumnya. Membiarkannya hidup dalam kesendirian, di balik tembok megah yang tak mampu menahan sepi.
Ia membuka kulkas, berharap bisa memasak sesuatu yang bernutrisi untuk bayinya. Tapi yang ia temukan hanyalah ruang kosong.
“Sayang, kamu mau kita pergi belanja sekarang?” bisiknya lembut sambil mengelus perutnya. Seolah-olah janin yang masih seukuran gumpalan kecil itu bisa mendengar. “Kita bisa sekalian cari udara segar juga. Kamu mau, kan?”
Ia tersenyum kecil, membayangkan bayinya mengangguk setuju.
“Mama tahu kamu pasti mau... Baiklah, kita keluar sebentar. Besok mama ajak kamu ke kampus, kita ikut ujian, lalu mulai magang. Mama harap kamu bisa dukung mama ya. Setidaknya sebelum kamu lahir, mama sudah lulus dan punya pekerjaan.”
Suara Naya mulai melemah. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan gemetar yang mulai naik ke tenggorokannya.
“Mama akan buat kamu bangga... Jadi anak yang beruntung karena punya mama. Meskipun ayah kamu...”
Kata-katanya menggantung. Tak sanggup ia lanjutkan. Bukan karena tak tahu harus berkata apa, tapi karena hatinya terlalu penuh untuk bisa berkata-kata.
Di menit berikutnya, Naya mengenakan jaket tipis dan tas kecil, melangkah keluar rumah untuk pertama kalinya dalam dua hari terakhir. Udara sore terasa lembut, membelai wajahnya seperti pelukan sunyi yang selama ini ia rindukan. Ia memutuskan pergi ke pusat perbelanjaan terdekat—tempat yang cukup ramai untuk membuatnya merasa normal, tapi cukup besar untuk bisa menyendiri di antara keramaian.
Ia berjalan perlahan menyusuri lorong swalayan, memilih beberapa bahan makanan sederhana. Susu, roti gandum, buah, dan beberapa sayuran. Sesekali ia berbicara pelan kepada perutnya, menjelaskan dengan lembut apa yang sedang ia beli.
“Kita perlu makan yang sehat ya, supaya kamu tumbuh kuat,” bisiknya sambil tersenyum kecil, meletakkan tomat ke dalam keranjang.
Setelah selesai berbelanja, Naya melihat isi rekeningnya masih ada beberapa uang sakunya yang tersisa jadi ia berjalan menuju eskalator yang mengarah ke lantai atas. Ia berniat membeli pakaian dalam yang lebih nyaman, karena tubuhnya mulai berubah perlahan.
Namun langkahnya terhenti.
Jantungnya seperti berhenti berdetak sejenak.
Di antara kerumunan orang, sekitar lima meter dari tempatnya berdiri—ia melihat seseorang. Sosok yang tak asing, dengan tinggi menjulang, jaket hitam yang dilipat di tangan, dan wajah itu… wajah yang dulu pernah menatapnya begitu dalam.
Zayan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments