Bab 3 DBAP

Arsen refleks membalikkan badan, matanya melebar saat melihat sosok wanita paruh baya yang kini berdiri dengan wajah tegang. Di sisi lain, Puput tetap berusaha tenang. Ia menyunggingkan senyum terbaiknya, meski hatinya mulai dipenuhi tanda tanya.

"Maaf, ada yang bisa saya bantu, Bu? Dan... kalau boleh tahu, Ibu siapa?" tanya Puput dengan suara halus namun waspada.

Perempuan itu, Reni, menoleh ke kanan dan kiri, seolah memastikan tak ada orang asing yang mendengar percakapannya. Ia baru sadar anaknya masih di luar. Dengan langkah cepat, ia menghampiri Naya dan menariknya masuk ke ruangan.

"Naya, ini ibumu?" tanya Puput lembut, masih dengan senyum hangat. Ia sudah mengenali gadis itu sejak awal—Naya, mahasiswinya sendiri, sekaligus kekasih dari anaknya, Zayan.

"I... iya, Bu," jawab Naya pelan. Matanya sesekali terpejam, seolah ingin lari dari kenyataan yang tiba-tiba datang menimpanya. Hatinya terasa hampa saat melihat punggung yang ia yakini milik Zayan membelakanginya, seakan pria itu enggan mengakui keberadaannya.

Reni tak mampu menahan diri lebih lama. Ia menyela cepat, walau sempat ragu. "Begini..."

Puput yang peka langsung membantu, "Panggil saja saya Puput. Saya rasa... kita sebaya," katanya lembut, mencoba mencairkan suasana yang mulai menegang.

"Baik," angguk Reni, menarik napas panjang. "Saya Reni, ibu dari Naya. Sepertinya Anda mengenal anak saya... dalam hubungan tertentu."

Puput menatapnya tanpa menghakimi, memberi ruang bagi Reni untuk melanjutkan.

Reni pun menegakkan tubuhnya, suaranya kini mantap. "Saya akan langsung ke inti. Anak saya saat ini sedang menghadapi konsekuensi dari hubungan yang dijalaninya dengan anak Ibu—Zayan. Dia hamil."

Seketika ruangan itu terasa sunyi. Meski terkejut, Puput berusaha tetap tenang, belum sepenuhnya percaya pada apa yang baru saja ia dengar.

"I... Itu terdengar tidak mungkin. Zayan bukan tipe yang mudah bertindak tanpa pertimbangan, apalagi sampai sejauh itu. Saya sudah sering menasihatinya," ujar Puput pelan.

Reni menghela napas pendek. "Lalu maksud Ibu, anak saya yang memulai semua ini? Sebagai orang tua, saya juga mendidik anak saya sebaik mungkin. Tapi sekarang, apa pun yang terjadi, jelas posisi kami sangat dirugikan."

Naya tetap bungkam. Ia tahu ibunya sedang memperjuangkan dirinya. Namun pikirannya masih terpaku pada punggung yang sejak tadi ia kira milik Zayan. Ia pun bertanya-tanya dalam diam, mengapa pria itu tak kunjung menoleh sejak tadi?

Hingga akhirnya Puput yang kini memegangi dadanya karena syok, memanggil pelan, "Arsen..."

Baru saat itu Naya sadar bahwa pria yang berdiri membelakanginya bukanlah Zayan. Lalu, di mana Zayan sebenarnya?

Arsen yang melihat kakaknya tampak kesakitan langsung menghampirinya.

"Arsen, tolong hubungi keponakanmu. Di mana dia sekarang? Aku ingin dia menjelaskan semuanya," ucap Puput tegas.

Namun Reni belum selesai. Dengan nada penuh tekanan, ia berkata, "Saya hanya ingin ada pertanggungjawaban dari pihak keluarga Ibu. Jika tidak, saya tak segan membawa hal ini ke publik. Saya sudah menyiapkan siaran langsung."

Ia mengangkat ponselnya, siap merekam.

"Tu... Tunggu, Bu Reni," ujar Puput cepat. Ia kembali menatap Arsen, "Cepat hubungi Zayan, Ar."

Arsen mengangguk. Ia tak tega melihat kondisi kakaknya. Namun sebelum bergerak, ia berkata pada Reni dengan dingin, "Kita bisa bicara baik-baik. Jangan gegabah."

Naya yang sejak tadi diam akhirnya ikut bicara, "Bu... Kita tunggu Zayan dulu."

"Baik, aku akan menunggu, telepon sekarang!"

Arsen akhirnya menekan nomor Zayan. Sayangnya, beberapa kali panggilan tidak ada nada tersambung. "Ponselnya mungkin mati."

Reni langsung mendengus, "Di zaman modern seperti ini ponsel bisa mati? Apa dia sengaja menghindar?"

Puput memegangi dadanya yang mulai sesak. Napasnya memburu. Arsen sigap menopangnya agar tak jatuh. Sementara itu, Reni semakin mendesak dengan suara tinggi.

Roki yang baru saja pulang mendengar kegaduhan dan langsung masuk ke rumah. Saat sampai, ia melihat istrinya sudah terkulai lemas. Ia segera menghampiri, "Ada apa ini?"

Reni tidak ingin menjawab. Ia langsung melanjutkan ucapannya, "Kalau anak Ibu tak mau bertanggung jawab, kami akan buka ini ke media. Saya bukan orang kaya, tapi saya bisa buat ini jadi besar!" ancamnya sekali lagi.

Roki membantu mendudukkan Puput di sofa. "Tenang, Bu... tenang dulu. Istriku syok, tolong hargai itu."

"Justru karena syok ini, saya datang dengan itikad baik!" Reni membalas Roki tak kalah sengit. Ia lalu menatap Arsen tajam. "Kalau keponakan Anda pengecut dan tak bisa ditemukan, maka saya minta laki-laki yang ada di sini yang bertanggung jawab!"

"Jangan sembarangan, Bu!" Roki mulai naik pitam.

Tapi Puput menahan tangan suaminya. "Roki... jangan."

Ia lalu menatap Arsen. Tatapannya lemah tapi memohon.

"Arsen... bagaimana apa ada kabar?"

Arsen yang sejak tadi masih sibuk menghubungi Zayan dan meminta beberapa orang mencarinya kini masih belum mendapatkan kabar.

"Kesabaran saya ada batasnya. Jadi kalian mau bertanggungjawab atau tidak!" ucap Reni.

Puput yang melihat adiknya menggelengkan kepala pertanda jika Zayan tidak ditemukan ia segera berkata pada Arsen, "Ar... demi kakakmu, demi nama keluarga, bisakah... kamu yang menikahi Naya?"

"Apa?" jawab Arsen tidak percaya dengan permintaan sang kakak yang sangat konyol itu.

"Tolong, Ar..." pinta Puput dengan nada lemas.

Reni pun ikut menimpali, "Kamu juga tidak masalah yang bertanggungjawab."

Arsen sudah tidak tahan lagi. Sudah cukup drama hari ini. Ia pun fokus pada Reni yang sejak tadi terus berulah.

“Bu Reni… saya mengerti Ibu kecewa, tapi yang terlibat dalam hubungan ini adalah Zayan. Bukan saya. Saya tidak bisa menggantikan tanggung jawab yang bukan milik saya.” Suara Arsen terdengar tenang, tapi tegas.

Namun Reni mendengus. “Oh, tentu saja. Semua orang bisa bilang itu. Tapi fakta di depan mata, anak saya hamil, dan keponakan Anda menghilang. Jadi, siapa lagi yang bisa kami minta pertanggungjawaban?”

"Zayan akan muncul," Arsen menahan nada frustrasinya. "Saya akan cari dia."

“Dan sampai kapan kami harus menunggu? Sampai nama baik anak saya diinjak-injak? Atau sampai kalian menutup-nutupi semua ini dan kami ditertawakan orang?” Reni menggertak, mengangkat ponselnya lebih tinggi lagi.

Puput yang mendengar suara tinggi itu membuka matanya setengah. “Jangan... jangan buat ini jadi aib besar... Arsen... tolong Kakak... demi keluarga...”

Arsen menoleh cepat. "Kak, jangan bilang begitu. Ini bukan tanggung jawabku! Kenapa aku yang harus—"

"Aku mohon... Arsen... aku nggak kuat kalau keluarga kita dihancurkan karena ini...," suara Puput pecah. Ia terisak, napasnya tersengal.

Roki menatap adik ponakannya dalam diam. Pandangannya jelas—ini bukan saatnya menolak.

Arsen memalingkan muka, mengepalkan tangannya. Jantungnya terasa berat, seolah sedang dipaksa menelan batu.

Beberapa detik kemudian, ia menoleh ke arah Reni.

"Aku akan menikahi Naya..." katanya akhirnya. Datar, kosong. “Tapi bukan karena aku ingin. Ini demi Kakak. Demi nama baik keluarga.”

Naya mendongak. Matanya membelalak.

Ini... bukan yang ia inginkan. Tubuhnya gemetar, hatinya seperti terhempas ke dasar jurang. Semua terlalu cepat. Terlalu dingin. Terlalu menyakitkan.

“Aku... aku nggak minta ini,” bisik Naya, nyaris tak terdengar. Tapi tak ada yang benar-benar mendengarnya.

Ia merasa seperti bayangan yang tidak pernah benar-benar dihitung dalam keputusan besar hidupnya sendiri.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!