Bab 2 DBAP

Satu bulan kemudian…

Naya berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap wajahnya yang pucat. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Tangannya gemetar, menggenggam alat uji kehamilan yang baru saja menunjukkan dua garis merah terang. Dunia seperti berhenti sejenak.

“Tidak… ini nggak mungkin…” bisiknya pelan, suaranya hampir hilang.

Kakinya terasa lemas, tubuhnya seolah tak bisa berdiri. Rasanya seperti mimpi buruk yang akhirnya jadi kenyataan. Seharusnya ini nggak terjadi. Ia sudah minum obat dari apotek setelah malam itu—malam yang ia kira bersama Zayan, malam yang seharusnya tidak pernah terjadi sebelum kata 'sah' terucap.

Dan kini, ia hamil.

Perutnya terasa nyeri, mual datang lagi. Ia terhuyung, berpegangan pada wastafel agar tak jatuh. Napasnya terengah-engah. Haruskah ia mencari Zayan? Haruskah ia memberi tahu dia? Tapi… bagaimana kalau Zayan benar-benar membencinya? Bagaimana jika dia tidak menginginkan anak ini? Karena sampai saat ini lelaki itu menghilang bak tertelan bumi.

“Nay?”

Suara ibunya, Reni, terdengar dari balik pintu, penuh kecemasan. “Kamu kenapa, Nak?”

Naya menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah. “Aku… nggak apa-apa, Bu.”

Suara ibunya terdengar ragu, ada keresahan yang tak bisa disembunyikan. “Kamu muntah lagi? Sudah beberapa hari, kamu yakin cuma kecapekan?”

Naya menutup mata, berusaha menenangkan dirinya. Ia tak bisa memberitahu ibunya sekarang. Pikirannya kacau.

“Aku baik-baik aja, Bu. Mungkin cuma maag.”

Reni terdiam, seolah merasakan ada yang tak beres. Dia sudah terlalu lama mengenal Naya untuk tahu kalau ada yang disembunyikan.

“Nay, jangan bohong sama Ibu,” kata Reni dengan nada yang lebih tegas, lebih keras. “Kamu kayak Ibu waktu hamil dulu.”

Itu membuat tubuh Naya membeku. Seperti dipukul langsung ke jantung. Ibunya tahu. Ia tak bisa lagi mengelak.

“Bu, aku gak tahu,” suaranya serak, hampir tak terdengar.

“Nggak tahu?” Reni mengulang kata-kata itu dengan nada penuh tekanan. “Nay, kamu calon dokter, harusnya kamu tahu apa yang terjadi sama tubuhmu!”

Naya menunduk, menggigit bibirnya sampai rasanya sakit. Air mata yang sejak tadi tertahan, kini hampir tumpah. Tapi ia berusaha keras agar ibunya tidak melihatnya menangis.

“Bu… aku…” kata-katanya terhenti, tenggelam dalam rasa sakit yang semakin membuncah.

Reni menarik napas panjang, tampak frustrasi. “Jangan diam aja, Naya! Ini bukan hal sepele! Kamu hamil, kan?”

Naya terdiam, mulutnya kering. Ini bukan hanya masalah fisik, tapi juga perasaan yang begitu berat. Ia menundukkan kepala, mencoba menghindari tatapan ibunya yang penuh kecemasan.

“Aku… maafin Naya, Bu…”

Kata maaf yang baru saja terucap seolah sudah memberikan jawaban yang diinginkan Reni. Wanita itu menatap putrinya dengan pandangan yang sangat berbeda. Sorot matanya penuh kecewa.

“Kamu putri yang Ibu banggakan, Nay, tapi sekarang...”

Matanya mulai berkaca-kaca, namun amarahnya lebih kuat daripada rasa itu.

“Anak itu… anak Zayan?” tebaknya langsung.

Naya terdiam, tak bisa lagi membela diri. Ibunya sudah tahu segalanya, dan Naya hanya bisa menunduk.

Reni menatap putrinya dengan penuh kekecewaan. “Ibu sudah sering bilang, hati-hati sama dia. Tapi kamu nggak mau dengar. Kamu selalu yakin dia orang yang tepat. Tapi lihat sekarang! Kamu hamil! Apa kamu benar-benar nggak mikir apa-apa sebelum semuanya terjadi?”

“Bu, aku...” Naya ingin menjelaskan, tapi kata-katanya terhenti.

Reni menatapnya dengan kesal, matanya penuh amarah yang sulit dibendung. "Sekarang kamu baru menyesal? Apa kamu nggak bisa berpikir dulu? Nama keluarga kamu, nama kamu, sekarang semua itu jadi hancur gini..."

Hati Naya terasa remuk mendengarnya, tapi ia hanya bisa diam. Ia tak tahu harus menjelaskan apa—bagaimana malam itu terjadi, bagaimana ia terperangkap dalam perasaan yang bahkan kini terasa begitu membingungkan. Tapi Naya tahu, jika ia membuka mulut sekarang, ibunya akan semakin marah. Jadi, ia memilih untuk diam. Kadang, diam memang lebih baik.

Pikiran Naya tersentak saat pergelangan tangannya tiba-tiba dicekal kuat oleh Reni. "Sekarang, ikut Ibu! Kita minta pertanggungjawaban!"

"Ta... tapi Bu..." Naya mencoba membuka suara, tapi kata-katanya tercekat di tenggorokan.

Reni tak memberi kesempatan untuk alasan. Bagi Reni, yang dipertaruhkan saat ini bukan hanya masalah perasaan Naya, tapi juga nama keluarga mereka.

***

Keluarga Alastair...

"Arsen, kapan kamu akan menikah?" Suara Puput terdengar setengah putus asa. "Aku ini sudah nggak muda lagi, dan kamu juga sudah dipanggil ‘Paman’. Jangan bikin kakakmu ini tambah stres!"

Lelaki berusia 32 tahun itu hanya melirik sekilas sebelum kembali sibuk dengan ponselnya. "Tenang saja, Kak. Aku sedang mencarinya," jawabnya santai.

Puput melipat tangan di dada, menatap adiknya dengan kesal. Jawaban itu sudah terlalu sering ia dengar. "Arsen, kamu tahu kan, sejak orang tua kita meninggal, kamu tanggung jawabku?"

Arsen menghela napas, akhirnya meletakkan ponselnya dan menatap Puput dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Aku tahu, Kak."

"Kalau tahu, kenapa santai sekali? Kamu pikir mencari pasangan itu kayak pesan makanan online? Tinggal klik, terus datang sendiri?"

Arsen terkekeh kecil. "Kalau bisa begitu, aku sudah pesan dari dulu."

Puput mendesah berat. "Arsen, aku serius."

Lelaki itu tersenyum kecil, kali ini lebih tulus. "Aku tahu, Kak. Aku benar-benar sedang mencarinya. Tapi yang terpenting saat ini sepertinya bukan aku, tapi anak Kakak—Zayan."

Puput mengerutkan kening. "Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan dengan menumbalkan ponakanmu!"

Arsen mengangkat bahu. "Aku nggak menumbalkan siapa-siapa, Kak. Tapi aku baru saja dapat laporan dari beberapa temanku yang ada di luar negeri. Dia sedang bersama seorang wanita."

Puput menegang.

"Dan aku yakin sebentar lagi Kakak bakal menggendong cucu," lanjut Arsen, nada suaranya terdengar menggoda.

Puput mendelik tajam. "Ponakanmu itu beda sama kamu! Dia ingin jadi dokter yang kompeten, bukan bikin anak orang hamil duluan."

Arsen tersenyum miring. "Kakak yakin banget?"

"Tentu saja! Zayan itu anak baik, penurut, lembut." Puput menatap adiknya dengan penuh cibir. "Nggak kayak kamu. Dingin, kaku. Aku heran, gimana bisa rumah sakit ternama di kota ini merekrut kamu, bela-belain bayar gaji kamu puluhan juta, bahkan maksa kamu pulang dari luar negeri? Apa mereka nggak takut rumah sakitnya bangkrut dalam semalam?"

Arsen tertawa pelan, matanya berkilat jahil. "Kakak nggak tahu daya tarik seorang paman."

"Sudahlah!" Puput memutar bola matanya dengan kesal. "Balik ke Zayan. Dia apa?"

Tawa Arsen mereda. Ada jeda yang tak biasa sebelum ia berbicara lagi, kali ini dengan nada lebih dalam. "Zayan... dia mungkin nggak sebaik yang Kakak kira."

Puput merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya. "Arsen, kamu…"

Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, seorang pembantu muncul di ambang pintu, membungkuk sopan. "Bu, ada tamu yang ingin bertemu dengan Anda."

Puput menoleh dengan kening berkerut. "Siapa?"

"Saya tidak tahu, Bu. Tapi beliau bilang ini penting."

Arsen bersandar di sofa, tangannya terlipat di dada. Wajahnya tetap tenang, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Puput semakin gelisah.

"Baik, suruh masuk."

Tak butuh waktu lama. Langkah-langkah terdengar mendekat dari arah pintu, lalu seorang wanita muncul di hadapan mereka. Puput mengamati sosok itu, begitu pula Arsen. Wajahnya terasa asing, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya—sesuatu yang familiar.

"Dia..."

Terpopuler

Comments

iqbal nasution

iqbal nasution

keren

2025-06-10

0

lihat semua
Episodes
1 Bab 1 DBAP
2 Bab 2 DBAP
3 Bab 3 DBAP
4 Bab 4 DBAP
5 Bab 5 DBAP
6 Bab 6 DBAP
7 Bab 7 DBAP
8 Bab 8 DBAP
9 Bab 9 DBAP
10 Bab 10 DBAP
11 Bab 11 DBAP
12 Bab 12 DBAP
13 Bab 13
14 Bab 14 DBAP
15 Bab 15 DBAP
16 Bab 16
17 Bab 17 DBAP
18 Bab 18 DBAP
19 Bab 19 DBAP
20 Bab 20 DBAP
21 Bab 21 DBAP
22 Bab 22 DBAP
23 Bab 23 DBAP
24 Bab 24 DBAP
25 Bab 25 DBAP
26 Bab 26 DBAP
27 Bab 27 DBAP
28 Bab 28 DBAP
29 Bab 29 DBAP
30 Bab 30 DBAP
31 Bab 31DBAP
32 Bab 32 DBAP
33 Bab 33 DBAP
34 Bab 34 DBAP
35 Bab 35 DBAP
36 Bab 36 DBAP
37 Bab 37 DBAP
38 Bab 38 DBAP
39 Bab 39 DBAP
40 Bab 40 DBAP
41 Bab 41 DBAP
42 Bab 42 DBAP
43 Bab 43 DBAP
44 Bab 44 DBAP
45 Bab 45 DBAP
46 Bab 46 DBAP
47 Bab 47 DBAP
48 Bab 48 DBAP
49 Bab 49 DBAP
50 Bab 50 DBAP
51 Bab 51 DBAP
52 Bab 52 DBAP
53 Bab 53 DBAP
54 Bab 54 DBAP
55 Bab 55 DBAP
56 Bab 56 DBAP
57 Bab 57 DBAP
58 Bab 58 DBAP
59 Bab 59 DBAP
60 Bab 60 DBAP
61 Bab 61
62 Bab 62
63 Bab 63
64 Bab 64 DBAP
65 Bab 65 DBAP
66 Bab 66 DBAP
67 Bab 67 DBAP
68 Bab 68 DBAP
69 Bab 69 DBAP
70 Bab 70 DBAP
71 Bab 71 DBAP
72 Bab 72 DBAP
73 Bab 73 DBAP
74 Bab 74 DBAP
75 Bab 75 DBAP
76 Bab 76 DBAP
77 Bab 77 DBAP
78 Bab 78 DBAP
79 Bab 79 DBAP
80 Bab 80 DBAP
81 Bab 81DBAP
82 Bab 82 DBAP
83 Bab 83 DBAP
84 Bab 84 DBAP
85 Bab 85 DBAP
86 Bab 86 DBAP
87 Bab 87 DBAP
88 Bab 88 DBAP
89 Bab 89 DBAP
90 Bab 90 DBAP
91 Bab 91 DBAP
92 Pengumuman.
Episodes

Updated 92 Episodes

1
Bab 1 DBAP
2
Bab 2 DBAP
3
Bab 3 DBAP
4
Bab 4 DBAP
5
Bab 5 DBAP
6
Bab 6 DBAP
7
Bab 7 DBAP
8
Bab 8 DBAP
9
Bab 9 DBAP
10
Bab 10 DBAP
11
Bab 11 DBAP
12
Bab 12 DBAP
13
Bab 13
14
Bab 14 DBAP
15
Bab 15 DBAP
16
Bab 16
17
Bab 17 DBAP
18
Bab 18 DBAP
19
Bab 19 DBAP
20
Bab 20 DBAP
21
Bab 21 DBAP
22
Bab 22 DBAP
23
Bab 23 DBAP
24
Bab 24 DBAP
25
Bab 25 DBAP
26
Bab 26 DBAP
27
Bab 27 DBAP
28
Bab 28 DBAP
29
Bab 29 DBAP
30
Bab 30 DBAP
31
Bab 31DBAP
32
Bab 32 DBAP
33
Bab 33 DBAP
34
Bab 34 DBAP
35
Bab 35 DBAP
36
Bab 36 DBAP
37
Bab 37 DBAP
38
Bab 38 DBAP
39
Bab 39 DBAP
40
Bab 40 DBAP
41
Bab 41 DBAP
42
Bab 42 DBAP
43
Bab 43 DBAP
44
Bab 44 DBAP
45
Bab 45 DBAP
46
Bab 46 DBAP
47
Bab 47 DBAP
48
Bab 48 DBAP
49
Bab 49 DBAP
50
Bab 50 DBAP
51
Bab 51 DBAP
52
Bab 52 DBAP
53
Bab 53 DBAP
54
Bab 54 DBAP
55
Bab 55 DBAP
56
Bab 56 DBAP
57
Bab 57 DBAP
58
Bab 58 DBAP
59
Bab 59 DBAP
60
Bab 60 DBAP
61
Bab 61
62
Bab 62
63
Bab 63
64
Bab 64 DBAP
65
Bab 65 DBAP
66
Bab 66 DBAP
67
Bab 67 DBAP
68
Bab 68 DBAP
69
Bab 69 DBAP
70
Bab 70 DBAP
71
Bab 71 DBAP
72
Bab 72 DBAP
73
Bab 73 DBAP
74
Bab 74 DBAP
75
Bab 75 DBAP
76
Bab 76 DBAP
77
Bab 77 DBAP
78
Bab 78 DBAP
79
Bab 79 DBAP
80
Bab 80 DBAP
81
Bab 81DBAP
82
Bab 82 DBAP
83
Bab 83 DBAP
84
Bab 84 DBAP
85
Bab 85 DBAP
86
Bab 86 DBAP
87
Bab 87 DBAP
88
Bab 88 DBAP
89
Bab 89 DBAP
90
Bab 90 DBAP
91
Bab 91 DBAP
92
Pengumuman.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!