Hati yang berubah
"Ed, kamu nggak mau temani Nana?" tanya Samuel saat melihat tubuh Nana yang kini sedang dimasukkan ke dalam ambulance oleh tim medis.
Tatapan Edward bertemu sesaat dengan tatapan Nana yang masih memiliki sedikit kesadaran. Namun, dengan cepat Edward mengalihkan pandangannya. Enggan, bersitatap dengan mata yang entah kenapa terlihat sangat tak berdaya hari ini.
"Nggak. Sudah ada tim medis yang mendampingi. Aku temani dia, juga buat apa? Nggak ada gunanya juga, kan? Aku mau naik mobil sama Silva saja. Kasihan, kalau Silva harus pulang sendirian."
Tes!
Air mata Nana menetes saat mendengar jawaban suaminya. Disaat Nana sedang sekarat pun, Edward masih mementingkan cinta pertamanya, Silva.
Bahkan, Nana masih dapat melihat meski samar bagaimana Silva memeluk lengan suaminya dengan begitu mesra. Dan, ajaibnya, Edward tidak marah sama sekali dengan tindakan perempuan dengan citra anggun dan lemah lembut itu.
"Jangan pegang-pegang, Na! Kamu bikin malu. Ini tempat ramai," ucap Edward suatu hari saat Nana berusaha memegang lengannya disebuah pesta ulang tahun salah satu rekan kerja Edward.
Itu bukan pertama kalinya. Itu adalah penolakan yang ke sekian kali dari Edward saat Nana berusaha untuk menyentuhnya.
Nana pikir, Edward memang tipe pria yang tak suka disentuh ditengah keramaian. Tapi, ternyata Nana salah menduga. Edward hanya tak mau disentuh oleh Nana.
*
Dua bulan kemudian...
Mata Nana yang sudah lama terpejam akhirnya terbuka kembali. Pemandangan yang pertama kali Nana lihat adalah sosok sahabat baiknya, Rossa yang sedang duduk disamping ranjang pasien sambil memainkan ponsel.
"Na? Kamu sudah bangun?" tanya Rossa dengan suara serak saat menyadari pergerakan tangan Nana.
"Rossa?" lirih Nana memanggil.
"Huwaa.... Akhirnya, kamu bangun juga, Na!" pekik Rossa bahagia sambil menangis sesenggukan.
Selama dua bulan ini, Rossa tak pernah absen mengunjungi Nana di rumah sakit. Ia selalu membacakan novel-novel kesukaan Nana. Memperdengarkan musik-musik favorit Nana, dan juga menceritakan kisah persahabatan mereka sejak dari kecil hingga lulus sekolah menengah atas.
Disaat orang-orang tak perduli sama sekali dengan nasib Nana, hanya Rossa yang selalu setia berada disamping Nana sampai akhirnya Nana berhasil membuka matanya kembali.
"Ros, aku kenapa? Kenapa aku ada di rumah sakit?" tanya Nana kebingungan.
"Dua bulan lalu kamu jatuh ke jurang, Na. Dan, sekarang kamu lagi di rumah sakit. Kamu sudah koma selama dua bulan," jawab Rossa.
"Oh, ya?" Nana seperti tidak percaya. Tentang kejadian dua bulan yang lalu, dia sama sekali tak bisa mengingat apa-apa.
"Iya," angguk Rossa. "Syukurlah, kamu sudah bangun, sekarang. Aku pikir, aku nggak akan pernah bisa ketemu kamu lagi, Na."
Air mata yang dikeluarkan Rossa terlihat sangat tulus. Membuat Nana jadi percaya bahwa apa yang disampaikan Rossa mungkin memang benar adanya.
Dia terjatuh dari jurang kemudian koma selama dua bulan. Sayangnya, ingatan tentang kejadian hari itu, belum juga terbayang dalam ingatan Nana.
"Papaku dimana, Ros?" tanya Nana tiba-tiba.
Deghh!
Ekspresi wajah Rossa mendadak kaku. Dia menatap Nana dengan tatapan aneh.
"Na, apa kamu lupa?" Rossa malah balik bertanya.
"Lupa soal apa?"
"Kamu dan Papamu, sudah empat tahun nggak pernah saling bertukar kabar."
Gantian, kini Nana yang tampak terkejut. Empat tahun?
Beberapa detik selanjutnya, Nana malah tertawa.
"Kamu jangan nge-prank aku deh, Ros! Jelas-jelas, saat ulang tahunku yang ke delapan belas kemarin, Papa masih hadir. Aku kecelakaan, pas selesai acara ulang tahunku itu, kan? Pas kita naik gunung sama teman-teman setelah acara perpisahan di sekolah?"
Buk!
Ponsel digenggaman Rossa tiba-tiba jatuh dan menghantam lantai dengan keras.
"Na? Kamu baik-baik aja, kan?" tanya Rossa dengan tatapan yang semakin aneh.
"Iya. Aku baik-baik aja. Justru, kamu yang aneh. Kenapa dandanan kamu mendadak jadi kayak gini? Bukannya, Kakak kamu melarang kamu pakai pakaian super pendek kayak gini sebelum berusia 22 tahun?"
Rossa kembali menangis. Dengan histeris, dia berteriak memanggil dokter.
*
Setelah melalui serangkaian pemeriksaan yang dilakukan oleh tim dokter, akhirnya Nana divonis menderita amnesia disosiatif.
Ingatannya terhenti di hari ke lima setelah ulang tahunnya yang ke-18 tahun diadakan. Sementara, ingatan empat tahun belakangan ini, menjadi hal yang benar-benar dilupakan.
"Apa yang terjadi antara aku dan Papa selama empat tahun belakangan, Ros? Bisa kamu jelaskan?" tanya Nana meminta penjelasan.
Semuanya terasa ganjil. Tidak mungkin, hubungan antara Ayah dan anak yang sangat erat di masa lalu bisa terputus begitu saja tanpa penyebab yang luar biasa besar.
"Kamu..."
"Nana, kamu sudah bangun?"
Kepala Nana sontak menoleh ke sumber suara. Seorang lelaki yang cukup familiar di ingatan Nana masuk ke dalam ruangan itu bersama dengan seorang perempuan yang sama sekali tak bisa Nana kenali.
"Bagaimana perasaan kamu, Na?" tanya Silva yang langsung menghampiri Nana tanpa melepaskan genggaman tangannya dari tangan Edward.
"Kamu siapa?" tanya Nana. "Apa kita saling kenal?"
"Ini aku, Silva. Masa' kamu lupa?"
"Aku nggak ingat," jawab Nana ketus.
"Masa' sih, kamu nggak ingat?" tanya Silva lagi sambil berusaha memegang bahu Nana.
"Jangan pegang-pegang!" tegas Nana sambil menghempas tangan Silva dengan kasar.
"Aduh, sakit!" ringis Silva sambil memegang tangannya.
Jelas sekali, kalau dia hanya berpura-pura.
"Nana! Kamu ini apa-apaan, sih? Kenapa harus kasar gitu sama Silva? Silva ini sudah baik mengkhawatirkan kamu. Tapi, tingkah kamu justru kasar kayak gini!"
"Jangan marah, Ed! Mungkin, Nana masih kesal sama kejadian waktu itu. Andai bukan karena aku, dia nggak mungkin nekat bunuh diri dengan cara melompat ke dalam jurang. Untung saja, dia masih bisa selamat."
"Maksudnya?" tanya Nana tak mengerti.
"Maafkan aku waktu itu, Na! Tapi, saat itu aku benar-benar butuh Edward. Cuma Edward yang bisa aku percaya untuk menemani aku naik gunung," lanjut Silva dengan wajah memelasnya.
"Sudahlah, kamu nggak usah minta maaf sama dia, Silva! Dia celaka karena salahnya sendiri. Nggak ada kaitannya sama sekali dengan kamu."
"Tapi, Ed...."
"Kalau dia sampai berani menyalahkan kamu, maka aku yang akan marahi dia! Kamu tenang saja!"
Edward mengusap lembut puncak kepala Silva dengan penuh kasih sayang. Dan, entah kenapa, Nana merasa dadanya mendadak terasa sakit.
"Aku kenapa?" gumam Nana dalam hati.
"Ekhem!" Rossa berdehem dengan keras. Dia sudah tak tahan dengan kelakuan dua manusia tak tahu diri itu.
"Apa kalian harus mempertontonkan tingkah menjijikkan kalian didepan kami?" tanya Rossa dengan pertanyaan yang begitu nyelekit.
Wajah Edward langsung berubah kaku. Dia tak suka dengan tuduhan yang dilayangkan Rossa terhadap dirinya dan Silva.
"Jaga bicara kamu, Rossa! Siapa yang kamu sebut menjijikkan, hah?" teriak Edward keberatan.
"Jelas, kalian berdua lah!" jawab Rossa. "Kamu Edward!" Dia menunjuk wajah Edward tanpa sopan santun. "Jelas-jelas, istri kamu baru sadar dari koma. Tapi, kamu dengan tidak tahu malunya, malah membawa selingkuhan kamu ke hadapan istri sah kamu! Apa kamu masih punya hati, hah?"
"Siapa yang selingkuh, hah? Jangan asal menuduh, Rossa!" sahut Edward tak terima.
"Masih menyangkal juga? Perlu aku keluarkan semua bukti-bukti perselingkuhan kalian?" tantang Rossa marah.
Edward masih ingin menjawab. Namun, suara teriakan Nana membuatnya jadi urung melakukan hal tersebut.
"Berhenti bertengkar!" teriak Nana keras. "Rossa, siapa yang kamu sebut sebagai istrinya Tuan Edward?"
"Kamu, Na," jawab Rossa. "Apa kamu benar-benar lupa kalau dulu kamu sampai rela meninggalkan Papa kamu hanya demi menikah dengan lelaki ini?"
Degh!
Wajah Nana mendadak pias. Tidak mungkin. Semua ini mustahil terjadi.
"Sandiwara macam apa lagi, ini?" celetuk Edward sambil tertawa mengejek. "Sekarang, drama apa lagi yang tengah kamu mainkan, Na? Apa sekarang kamu sedang menggunakan trik lupa ingatan untuk mendapatkan aku? Heh, itu nggak mungkin. Sampai kapan pun, aku nggak akan pernah sudi jatuh cinta sama perempuan murahan kayak kamu!"
Perempuan murahan? Dua kata itu sukses menyulut amarah didalam hati Nana.
Tanpa berpikir dua kali, Nana langsung menampar pipi Edward dengan sangat keras.
"Kamu!" geram Edward tak terima.
"Jangan pernah berani menghinaku, Tuan Edward! Kalau tidak, Anda akan tahu akibatnya!"
Apa-apaan ini? Kenapa tatapan mata Nana tiba-tiba menjadi berbeda?
Itu bukan tatapan yang Edward kenali selama empat tahun ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments