Dengan mata yang mulai berkaca-kaca, aku terus memandangi kotak cincin berwarna merah tua—cincin di dalamnya tak bisa lepas dari atensiku. Sementara Arjuna masih menunggu jawaban, kulihat dari tatapannya itu menyimpan penuh harapan.
“Nerissa ... aku tahu kamu mungkin kaget karena ini terlalu mendadak. Tapi percayalah, aku sudah lama ingin melakukan ini.”
Aku menatapnya dengan perasaan tak karuan, jika bisa aku ingin melompat ke dalam pelukannya dan mengatakan ‘Ya’ tanpa ragu.
Arjuna menarik napas dalam-dalam, dia menatapku lekat. “Nerissa, menikahlah denganku.”
Aku membentang senyum meski terasa kaku. “Aku ... aku tidak menyangka, Arjuna. Aku—”
“Waktuku tidak lama di sini, Ner,” ungkapnya memotong pembicaraanku.
Sejak tadi aku penasaran, apa maksud dari perkataannya itu?
Dahiku mengerut, mengajukan pertanyaan untuk memecah rasa penasaran, “Maksudmu apa, Arjuna?”
Dia membasahi bibir yang kering, kembali menghela napas. “Aku menemui kamu secara tiba-tiba seperti ini bukan tanpa alasan. Dalam waktu dekat ini, aku akan dipindahkan ke kota lain karena urusan pekerjaan. Dan karena tanggung jawabku itu, akhirnya aku memutuskan untuk melamarmu sekarang.”
“Aku takut ... takut sekali kalau kamu lebih dulu dilamar oleh pria lain. Kalau bisa, sebelum aku pindah kota, kita sudah menikah. Aku ingin mengajak kamu tinggal di sana. Kamu mau kan, Nerissa?”
Termangu aku mendengar penuturan itu. Aku ingin, tapi mulutku tak bisa mengatakannya. Posisi ini benar-benar menyulitkanku.
Pandanganku kembali turun, menatap cincin itu. Jari-jariku gemetar, terasa dingin sekali.
Jika aku menerima cincin itu, maka aku telah mengkhianati pria yang tengah terbaring di rumah sakit. Darius yang telah kehilangan ingatannya— menganggapku sebagai tunangannya dan akan segera melangsungkan pernikahan.
Tapi jika aku menolak ... maka aku akan kehilangan pria yang benar-benar aku cintai.
“Arjuna,” panggilku dengan dada yang menahan sesak.
Aku tidak bisa membuat keputusan sekarang. Aku harus menunda ini, barangkali aku bisa kembali bernegosiasi dengan ayah juga ibu—setelah membicarakan hal yang kuketahui di rumah sakit tadi, mungkin saja mereka punya jalan lain.
Ketika aku menaikan pandangan, aku bisa melihat keterkejutan dalam tatapannya itu. Aku tahu, mungkin dia telah menebak dari ekspresi wajahku sekarang. Tapi meski begitu, dia tetap mengangguk, menunggu apa yang akan aku katakan.
“Bisa kita bicara tentang ini ... nanti?”
“Kapan?” Arjuna balik bertanya, nadanya terdengar lesu.
Kepalaku menunduk. Suara dari kotak cincin yang tertutup membuat jantungku mencelos, menyadari bahwa aku telah melangkah semakin jauh.
Aku tahu dia sedang menungguku bicara—menunggu penjelasan atas jawaban yang kubuat menggantung. Beberapa menit telah berlalu, sedang mulutku masih terkunci rapat.
“Nerissa, tolong lihat aku. Tatap aku, katakan apa yang sebenarnya terjadi!” pintanya sambil mencondongkan tubuhnya lebih dekat padaku.
Kepalanya melewati jendela mobil, deru napasnya terdengar jelas di telingaku. Aku pun mendongak, merasakan tatapannya menembusku, mencoba mencari jawaban dalam ekspresiku yang terlihat sekali bahwa dia memiliki banyak pertanyaan.
Aku melenguh frustasi. “A-aku...”
“Nerissa, aku mencintai kamu.”
Aku manggut-manggut, kepalaku sudah tertekuk kembali. “Aku tahu, Arjuna.”
“Lebih dari yang kamu tahu, Ner.”
Kepalaku semakin tertunduk. Menahan napas.
Tiba-tiba Arjuna membuka pintu mobil, kini jarak tubuh kami semakin dekat. Dia membungkuk, tangannya terulur menyentuh bahuku, merayap pada punggung dan membawaku ke dalam dekapannya.
Aku tak bisa menahannya lagi. Aku terisak habis-habisan, dia tidak bertanya, tapi melalui pelukan itu dia mencoba memahamiku.
“Aku tidak memaksa kamu untuk menjawab sekarang, aku juga sadar ini terlalu cepat. Padahal aku tahu, kamu dan juga keluargamu masih dalam suasana berduka,” bisiknya tepat di sebelah telingaku.
Ternyata ... Arjuna beranggapan demikian. Itu memang benar adanya, tapi dia tidak tahu bahwa di masa berduka ini aku harus melakukan hal yang lebih dari sekadar itu.
“... aku hanya ingin kamu tahu, bahwa perasaanku ini tidak mungkin berubah, Nerissa.”
Arjuna melepas pelukan. Kemudian berjongkok, sehingga saat ini kami bertatapan. Air mataku yang berjatuhan dia usap menggunakan jemarinya yang hangat.
“Mungkin kamu belum siap, tapi aku akan coba tunggu,” katanya dengan lembut.
“Satu minggu lagi...” Tangannya menggenggam jemariku erat. “aku akan menemui kamu lagi, kamu siap memberi jawaban? Kita tidak perlu langsung menikah, setidaknya kamu bersedia menerima lamaranku.”
Kepalaku terangguk pelan. “Terima kasih, Ar.”
Setelah mencoba menenangkanku, aku berpamitan untuk masuk ke dalam rumah. Membiarkan Arjuna kembali pergi setelah barusan mendapat telepon dari orang penting.
Sebelum memasuki rumah, aku mengamati mobilnya. Dia membunyikan klakson, menurunkan kaca mobil dan melambai singkat padaku.
Mobil putih mengkilap itu sudah melesat dari halaman rumah. Aku melangkah masuk, ayah dan ibu masih terjaga di rumah tamu. Terlihat dari ekspresi mereka, sepertinya sedang menungguku.
“Nerissa,” panggil ayah sembari beranjak dari sofa.
Aku menghampiri keduanya. “Iya, Ayah?”
“Kamu sudah menemui Darius, kan?”
Kepalaku mengangguk sebagai respon. Setibanya di sana, aku ikut duduk—dihadapan mereka, masih sedikit terisak karena sisa menangis tadi.
“Bagaimana kabarnya? Apa dia masih sama seperti waktu itu?” Ibu bertanya, dia terlihat begitu penasaran.
“Iya, dia masih sama seperti waktu itu. Selain menganggapku sebagai Kak Soraya, dia juga membahas hal lain,” ungkapku apa adanya, berpikir untuk mulai memberitahu mereka.
Mereka saling menoleh, lalu menatap padaku kembali. Terlihat dari sorot mata mereka—rasa penasaran naik berkali-kali lipat, ibu dengan mata sembabnya menarik bokong untuk duduk lebih maju, menatapku dekat.
Aku menarik napas dalam-dalam, menatap keduanya secara bergantian. “Apa Ayah ataupun Ibu tahu kalau Kak Soraya ... sedang mengandung?” tanyaku dengan amat hati-hati.
Dahi mereka mengernyit, dari ekspresi mereka aku dapat mengetahui bahwa ibu dan ayah juga tidak tahu perihal itu.
Ibu dengan mata yang mulai berkaca-kaca langsung bertanya, “Maksud kamu apa, Nerissa? Kamu tahu dari mana hal itu?”
Ayah yang dilanda penasaran pun langsung ikut bertanya, “Kami tidak tahu kabar itu. Dan Soraya tidak pernah membicarakannya pada kami. Jadi, kamu tahu dari siapa?”
“Darius sendiri yang bilang. Dia bertanya padaku tentang kandunganku apakah baik-baik saja atau tidak. Jelas aku tidak tahu hal itu, aku kaget. Apa mungkin sebelum kecelakaan terjadi, Kak Soraya sedang hamil?”
“Kamu jangan asal bicara, Nerissa!” teriak ibu yang membuatku langsung terkesiap di tempat.
“Bu, tenang dulu.” Ayah langsung memegangi bahu ibu, memberinya usapan lembut. “Kita dengar dulu penjelasan dari Nerissa.”
“Aku hanya berasumsi, Bu,” timpalku untuk membela diri, “Mana mungkin Mas Darius tiba-tiba bertanya soal tentang itu jika memang bukan begitu kenyataannya?”
“Meski begitu, kamu harus tahu!” sahut ibu dengan tatapan yang menyalang, dia terlihat amat tersinggung.
“... Soraya itu perempuan baik-baik. Dia tidak mungkin melakukan hal kotor seperti itu! Ibu yakin alasan mereka menikah pun bukan karena dia hamil duluan, jadi kamu tidak boleh menelan mentah-mentah informasi yang belum jelas asal-usulnya!”
Aku terdiam. Aku rasa ini bukan waktu yang tepat untuk membahasnya—mencoba memaklumi, di situasi yang masih berduka ini pastinya ibu masih sensitif. Terlebih Soraya itu ... anak yang paling dia banggakan.
“Dari pada kamu membahas hal itu, lebih baik kamu fokus pada apa yang harus kamu lakukan.”
Pandanganku tertuju kembali padanya. Menelan ludah, rasanya seperti akan diintimidasi.
“Jelaskan pada kekasihmu itu bahwa kamu akan menikah. Jangan membuang-buang waktu, jangan sampai Darius mengira bahwa kamu selingkuh. Dan untuk soalan kandungan yang dimaksud Darius tadi...”
“... kamu tinggal katakan bahwa bayi itu keguguran pasca kecelakaan.”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments