Melihat suasana mulai canggung, Wu Guan cepat-cepat mengganti topik. “Kalau begitu, istriku tercinta, bagaimana misi terakhirmu?”
Wu Ruoxi langsung tampak sedikit lebih bersemangat. “Kami ditugaskan membasmi kelompok bandit di sekitar Kota Xingce. Beberapa bulan terakhir mereka mengacaukan jalur perdagangan. Jika dibiarkan, para pedagang dari luar kota akan takut datang, dan itu bisa memukul perekonomian kita.”
Wu Shen mendengarkan dengan serius, matanya sedikit menyipit. “Lalu? Apa berhasil?”
Wu Ruoxi menghela napas. “Sebagian. Tapi kepala banditnya lolos. Mereka lebih terorganisir dari yang kami duga… dan jauh lebih brutal. Seorang anggota timku terluka parah.”
Kelompok Wu Ruoxi bukanlah kelompok sembarangan.
Mereka adalah para pejuang yang telah melewati masa sebagai murid bela diri, dan kini menyandang gelar Pejuang Bela Diri. Usia mereka berkisar antara 27 hingga 30 tahun—dunia menyebut mereka sebagai generasi matang, dan dunia tidak keliru.
Sebagian besar dari mereka telah mencapai Ranah Master Bela Diri, dan sang pemimpin, Wu Ruoxi sendiri, berada di ranah Jenderal Bela Diri tingkat 4.
Meski bukan lagi murid, mereka masih menjalani latihan ketat setiap hari. Kesetiaan mereka pada Sekte Phoenix tak tergoyahkan, begitu pula semangat mereka dalam menjaga keamanan wilayah sekitar.
Wu Shen mengaduk buburnya pelan. Matanya menatap kosong ke permukaan mangkuk, namun pikirannya mengembara jauh. Bayangan tentang Lin Shuelan, gadis yang ia selamatkan dari cengkeraman kelompok bandit beberapa hari lalu, kembali terlintas.
Apa mungkin mereka dari kelompok yang sama?
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Wu Ruoxi, membuyarkan lamunan Wu Shen.
Wu Shen meletakkan cangkirnya dan menatap kedua orang tuanya dengan serius. “Izinkan aku ikut.”
Ruoxi dan Wu Guan mematung bersamaan.
“Apa?” tanya Wu Ruoxi nyaris refleks.
“Aku ingin ikut,” ulang Wu Shen. “Bukan untuk bertarung, hanya ingin melihat bagaimana kalian beraksi. Aku sudah bosan dikurung di rumah karena hukuman.”
Wu Guan langsung menggeleng. “Tidak. Lokasinya berbahaya, Shen’er. Bandit-bandit itu tidak segan membunuh.”
Wu Shen menyandarkan tubuh ke kursinya. “Justru karena itu aku ingin ikut. Aku ingin belajar dari kalian. Kalian selalu bilang kalau pengalaman lapangan itu penting, kan? Nah, ini kesempatan bagus untuk melihat langsung... dari kejauhan.”
Ruoxi mengerutkan kening. “Kau tidak akan ikut campur?”
Wu Shen mengangguk mantap. “Sumpah. Aku hanya akan menonton. Dari jauh. Diam-diam. Tanpa mengganggu siapa pun.”
Wu Guan menatap istrinya. “Istriku?”
Ruoxi masih diam. Matanya menatap Wu Shen dengan ragu, seolah menimbang kata-kata anaknya dengan saksama.
Akhirnya, ia mendesah.
“…Baiklah.”
Wu Guan melotot. “Istriku!”
“Kita akan berangkat siang nanti,” lanjut Ruoxi tenang. “Dan jika kau berani membuat ulah sekecil apa pun, Shen’er… Ibu sendiri yang akan mengikatmu dan menyeretmu pulang.”
Wu Shen tersenyum lebar. “Kalau begitu, aku akan mulai menyiapkan barang-barangku.”
Ia bangkit, lalu menambahkan sambil berjalan pergi, “Jangan khawatir, Ibu. Aku hanya akan menonton. Dari balik bukit. Mungkin sambil membawa cemilan.”
Wu Ruoxi menatap punggung anaknya sambil menggeleng pelan. “Anak itu… semakin hari semakin mirip ayahnya.”
Wu Guan mencibir. “Hei!”
...
Matahari tepat berada di atas kepala ketika kelompok elit Wu Ruoxi sedang dalam perjalanan menuju Kota Xingce.
Wu Shen mengenakan jubah sederhana dan membawa kantong cemilan yang tergantung di pinggangnya. Matanya menyapu barisan di depannya: para Pejuang Bela Diri elit, yang langkahnya selalu disertai riak angin dan aura kekuatan yang nyaris terasa secara fisik.
Wu Ruoxi memimpin di depan, posturnya tegap dan penuh wibawa.
Anggota kelompok Wu Ruoxi dinamai Taring Phoenix. Tidak seperti kelompok elit lainnya yang memiliki anggota belasan bahkan puluhan, jumlah anggota Taring Phoenix hanya lima orang—namun kelimanya memiliki kemampuan yang luar biasa.
Lu Jintang, seorang pria dengan rambut panjang yang dikepang setengah, dagu terangkat sedikit tinggi, dan senyum congkak yang seolah menjadi stempel tetap di wajahnya.
He Qingsu, seorang pria berusia sekitar 30-an—berwajah lembut dan selalu menyunggingkan senyuman hangat.
Nie Lianhua, seorang gadis dengan wajah luar biasa manis, mata bulat bersinar malu-malu, dan langkah yang seperti menari di udara. Rambutnya diikat pita ungu, dan ia terus menatap ke bawah saat berbicara.
Tan Meizi, gadis menawan dengan rambut biru muda dan jubah biru kehijauan.
Dan yang terakhir adalah Tan Meizhang, saudara kembar laki-laki Meizi, yang juga memiliki rambut biru muda. Wajah mereka sangat mirip, hingga siapa pun bisa kesulitan membedakan keduanya jika mereka bertukar pakaian.
“Kau yakin ingin membawa anak kecil ini, Kapten?” tanya Lu Jintang kepada Wu Ruoxi sambil melirik Wu Shen dengan alis terangkat.
“Jintang, jangan begitu. Anak muda ini sedang belajar. Kita semua pernah di posisi itu,” potong He Qingsu.
“Aku tidak keberatan, asal dia tidak terlalu dekat dengan garis depan.”
"Hm, aku juga!" sahut Tan bersaudara.
Wu Ruoxi menoleh sedikit ke arah kelompoknya. “Dengar baik-baik. Wu Shen hanya akan menonton. Dia tidak akan ikut campur, tidak akan dekat-dekat garis depan. Dia ada di sini untuk belajar, bukan bertarung.”
Lu Jintang menatap Wu Shen dari atas ke bawah, lalu menyeringai lebar. “Belajar, ya? Hahaha! Anak muda ini justru terlihat seperti sedang liburan."
Ia mengerjap sedikit, seolah mengingat sesuatu yang baru-baru ini ramai dibicarakan. "Eh, bukankah kau yang menendang bokong Guru Ye Jiang di lapangan latihan?”
Wu Shen sedikit tersedak cemilan. “K-Kau tahu soal itu?”
Lu Jintang langsung tertawa terbahak-bahak, lalu merangkul bahu Wu Shen dengan gaya akrab yang norak. “Tentu saja aku tahu! Kau dibicarakan di mana-mana! Bahkan di dapur utama semua orang masih membicarakannya. Aku pikir kau anak bangsawan tolol yang manja, tapi ternyata kau punya nyali juga!”
"Aku tidak menendang bokongnya, aku hanya menendang punggungnya. Kalian terlalu melebih-lebihkan cerita," ucap Wu Shen, meluruskan.
"Siapa yang peduli soal itu!" Lu Jintang melanjutkan dengan bangga, “Waktu aku masih murid? Hah! Aku juga nakal sepertimu. Aku pernah menampar bokong seorang guru wanita dan dihukum berdiri di tengah lapangan selama tiga hari tiga malam. Aku makan dari buah-buahan yang dilemparkan orang-orang dan minum dari air hujan, tapi aku tidak menyesalinya. Bahkan sampai sekarang, aku masih bisa merasakan sensasi dari bokong itu. Itu sangat keren...”
PLAK!
Sebuah tamparan mendarat tepat di belakang kepala Lu Jintang. Wu Ruoxi sudah berdiri di sebelahnya dengan tangan masih terangkat.
“Berhenti mengajarkan hal yang buruk kepada anakku!" ucapnya dengan mata tajam.
Semua orang yang melihat kejadian itu langsung tertawa. Bahkan Nie Lianhua yang biasanya pemalu ikut tertawa kecil sambil menutupi mulutnya. He Qingsu hanya menggeleng sambil terkekeh ringan.
Wu Shen merasa dadanya hangat. Meski awalnya ia khawatir akan dijauhi, ternyata para pejuang ini tidak seseram yang ia bayangkan.
Mereka penuh warna… penuh kehidupan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
y@y@
👍⭐👍🏻⭐👍
2025-04-14
0
Rinaldi Sigar
lanjut
2025-04-08
0
Aman 2016
jooooz jooooz jooooz gandos
2025-04-08
0