Langit perlahan memucat, tanda bahwa malam di Dimensi Hutan Langit mulai berakhir. Udara masih basah oleh embun, dan kabut tipis menyelimuti pepohonan tinggi yang merapat seperti barisan penjaga sunyi. Aroma tanah basah bercampur dengan hawa petir yang anehnya tak pernah benar-benar lenyap dari tempat ini.
Lei Nan masih duduk bersila di halaman depan rumah kayu peninggalan Han Guang, tubuhnya berkeringat dan napasnya sedikit terengah. Ia baru saja menyelesaikan satu siklus sirkulasi qi melalui jalur petir baru yang diciptakan oleh instruksi Syao Xun.
Jalur itu bukanlah saluran biasa. Rasanya seperti memaksa energi untuk mengalir melewati luka yang belum sembuh. Tapi ia bertahan. Dan yang paling mengejutkannya, di balik rasa sakit itu… ada rasa geli aneh—seolah-olah petir itu membentuk nadi baru di dalam tubuhnya.
Lei Nan membuka matanya perlahan. Pandangannya sudah lebih tajam. Ia merasakan bulir udara bergerak dengan arah dan kecepatan berbeda. Ia bisa mendengar dentingan kabut yang pecah oleh gerakan tupai, bahkan mengindra getaran kecil dari burung-burung yang mendarat di ranting terjauh.
“Tubuhku… mulai menyatu dengan alam.”
Tiba-tiba, udara berubah. Seperti ada tekanan samar datang dari kejauhan. Hening sesaat, lalu—
Dumm!
Sebuah suara keras datang dari arah timur hutan, seperti sesuatu yang besar menabrak pohon. Tanah sedikit bergetar. Lei Nan berdiri cepat, matanya mengarah ke tempat itu. Dalam sekejap, ia melompat ke atap rumah dan memfokuskan penglihatannya.
Di antara batang-batang pohon raksasa yang menjulang seperti tiang-tiang kuil purba, sesosok bayangan melesat cepat, nyaris seperti angin. Jubah hitamnya berkibar, menyatu dengan kegelapan. Tubuhnya ramping dan gerakannya sangat ringan, namun jejak langkahnya meninggalkan tekanan kecil di permukaan tanah. Sosok itu melompat dari satu akar pohon ke akar lain, seperti burung hitam yang membelah malam.
Namun bayangan itu tidak sendiri.
Suara raungan berat menggema keras di belakangnya—dalam, menggelegar, dan penuh kemarahan. Di belakang sosok bertudung itu, seekor harimau hitam raksasa tengah mengejar dengan liar. Ukurannya hampir dua kali lipat harimau biasa, dengan mata kuning menyala dan bulu yang berkilat seperti malam basah. Tiap langkahnya menghancurkan tanah, menciptakan cekungan seperti kawah kecil.
Napas panas dari binatang itu keluar dalam kabut, dan cakarnya yang tajam mencakar pohon-pohon yang dilaluinya, meninggalkan bekas luka yang dalam. Tubuhnya berotot dan lincah—jelas bukan makhluk biasa. Ia bukan binatang liar, tapi binatang roh. Aura buasnya mengguncang udara.
Sosok bertudung itu sesekali menoleh ke belakang, mata di balik tudung memancarkan kecemasan, tapi juga ketenangan yang ganjil. Rambut peraknya sedikit tergerai dari sisi tudung, memantulkan kilat sesekali.
Tiba-tiba, hutan berakhir di hadapan mereka—sebuah jurang menganga lebar, dalam, dan dipenuhi kabut ungu pekat yang menutupi dasarnya. Angin dari bawah berhembus naik membawa suara-suara aneh… seperti bisikan yang tak pernah dimaksudkan untuk didengar manusia.
Sosok bertudung itu berhenti tepat di tepi jurang. Napasnya memburu, dada naik turun. Tapi ia tidak gemetar. Ia hanya diam, membiarkan angin menerpa jubahnya yang tipis.
Dari belakang, suara berat mendekat. Ranting-ranting patah. Tanah bergetar.
Harimau hitam itu kini berdiri hanya lima langkah darinya. Nafas hewan buas itu mengembus, seperti embusan kematian. Liur menetes dari taringnya yang panjang, dan matanya… hanya penuh haus dan amarah.
“Grrrrraaaaahh!!”
Harimau itu meraung dengan kekuatan dahsyat. Raungannya membuat dedaunan beterbangan, dan tekanan dari suaranya bahkan membuat tanah di sekitar bergetar.
Sosok bertudung itu berdiri dengan tenang. Tangannya terulur ke samping, dan dalam satu gerakan ringan, sebuah cincin ruang di jarinya bersinar. Sebuah pedang ramping berwarna perak keunguan muncul dalam genggamannya.
Di balik tudung itu, sesosok wajah perlahan terlihat—kulitnya putih pucat, bibirnya merah seperti buah ceri, dan sorot matanya tajam bagai embun pagi di atas baja. Meski tubuhnya tampak mungil, auranya tidak bisa diremehkan.
“Kalau harus bertarung... maka aku tidak akan mundur,” gumamnya lirih.
Harimau itu langsung menerkam.
Clang!
Cakar harimau menghantam pedang. Suara logam menggema, dan percikan api melesat di udara. Pedang bertemu cakar. Gigi bertemu keberanian. Pertarungan berlangsung cepat—terlalu cepat untuk mata biasa.
Pedang menusuk, harimau menghindar. Cakar menebas, sosok bertudung memutar tubuh, mengalir bagai air.
Namun kekuatan fisik harimau itu jauh lebih besar. Satu ayunan ekornya membuat pohon-pohon bertumbangan. Dan akhirnya—Boom!—sosok bertudung itu terpental. Tubuhnya menghantam tanah keras, terguling beberapa kali, lalu terhenti di tepi jurang. Napasnya terengah, dan darah mulai menetes dari sudut bibirnya.
Harimau itu tak membuang waktu. Ia langsung melompat, siap mengakhiri nyawa sosok yang telah melawannya.
KRAAAK!!
Seketika, langit terbelah oleh kilatan petir.
Sebuah cahaya menyilaukan melesat dari langit, menukik tajam bagaikan tombak ilahi, menghantam tepat di atas kepala harimau itu.
BOOOM!!!
Ledakan petir membuat tanah pecah dan kabut tersapu bersih dalam radius belasan meter. Suara dentuman bergema hingga ke dalam perut bumi. Debu membumbung, menutupi segalanya.
Dan saat debu mulai mengendap, terlihat sebuah pisau terbang yang tertancap tepat di antara mata harimau itu.
Makhluk buas itu terdiam. Tubuhnya bergetar sesaat, lalu ambruk, tak bergerak lagi.
Dari udara kosong di atas, muncul sosok berpakaian abu gelap dengan sorotan mata tajam.
Lei Nan.
Tubuhnya menyala halus oleh energi petir yang masih tersisa. Di telapak tangannya, masih tampak aliran listrik kecil mengalir keluar. Ia menatap mayat harimau itu dengan tenang, lalu mengalihkan pandangannya ke sosok bertudung yang kini terduduk lemah di tanah.
Tanpa berkata apa pun, Lei Nan mengulurkan tangannya.
Sosok itu memandang tangannya sejenak, lalu—dengan sedikit ragu—meraihnya. Sentuhan itu dingin, namun mengandung kekuatan yang menenangkan.
Lei Nan menariknya perlahan hingga berdiri. Mata mereka bertemu. Dalam tatapan itu, tidak ada ketakutan… hanya rasa ingin tahu yang saling beradu.
“Aku... tidak menyangka ada orang lain di sini,” ucap sosok bertudung, suaranya lembut namun tegas. Suara seorang wanita muda, tak lebih tua dari Lei Nan, tapi sorot matanya menyimpan sesuatu yang telah lama terpendam—seperti seseorang yang pernah kehilangan banyak hal.
Lei Nan mengangguk perlahan. “Aku juga tidak menyangka akan menemukan orang lain di dimensi ini.”
Senyuman samar terukir di wajah wanita itu.
“Namaku… Yu Lian.”
Lei Nan sedikit mengangguk. “Lei Nan.”
Angin berhembus pelan. Kabut menari lembut di sekitar mereka. Di bawah cahaya matahari yang mulai menembus celah dedaunan, dua sosok berdiri berdampingan di pinggir jurang. Dan jauh di dalam dada Lei Nan, petir masih berdesir—seolah berkata: perjalananmu baru saja dimulai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Makasih sdh Up dan tetap semangat Tpr 🙏🙏
2025-05-07
0
Yu Lian.... siapa sebenarnya wanita itu
2025-05-07
0
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yeaaah
2025-05-08
0