Deonall Story

Hari pertama magang di perusahaan keluarganya sendiri terasa seperti mimpi buruk bagi Deon. Biasanya, hidupnya serba mudah semua beres tanpa perlu repot. Tapi kini, dia justru dilempar ke dunia kerja yang penuh tekanan.

Begitu menginjakkan kaki di kantor, dia langsung disambut dengan tumpukan tugas yang asing baginya. Seniornya? Bukan sosok ramah yang siap membimbing, melainkan seseorang yang nyaris tak memberi ruang untuk bernapas.

Setiap kesalahan kecil mendapat tatapan tajam, setiap gerakan diawasi seperti predator mengintai mangsa.

Hal-hal yang tak pernah terpikirkan olehnya kini jadi rutinitas. Dari sekadar melayani orang lain, sesuatu yang tak pernah dia lakukan sebelumnya hingga mengurus hal-hal administratif yang membingungkan.

Tangannya gemetar saat harus membuat kopi untuk seniornya, lalu panik saat menyadari bahwa dia bahkan tidak tahu cara menyalakan mesin fotokopi.

Setiap detik terasa seperti ujian mental. Deon yang dulu hidup santai kini harus menelan pil pahit dunia kerja. Dan ini baru hari pertama.

Baru setengah hari, Deon sudah ingin kabur. Kepalanya pening, punggungnya pegal, dan harga dirinya? Hancur lebur. Seniornya terus mengomel, seakan setiap napas yang Deon ambil pun salah.

“Deon, ini bukan rumah lo! Jangan berdiri bengong, kerja yang bener!” bentak seniornya.

Jantungnya berdebar, tangannya refleks bergerak, entah mengerjakan apa. Kertas berserakan, keyboard berisik, dan mesin fotokopi mengeluarkan bunyi mencurigakan, mungkin karena tadi dia salah pencet.

Tapi tidak ada waktu untuk panik.

Saat akhirnya ada waktu istirahat, Deon menghempaskan diri ke kursi pantry, menghela napas panjang. Tapi kedamaian itu hanya bertahan lima detik.

“Deon, tolong ambilin kopi!”

Matanya membelalak. Ini ujian apa neraka? Yang dulu tinggal tunjuk, kini malah disuruh-suruh. Dengan langkah gontai, dia menuju mesin kopi, menatapnya seolah berharap mesin itu bisa memahami penderitaannya.

Ini baru hari pertama, tapi rasanya seperti setahun. Kalau begini terus, Deon serius mempertimbangkan untuk pura-pura amnesia besok pagi.

Deon menghela napas panjang, mencoba menata mentalnya yang sudah hampir rontok. Tapi baru juga dia pegang cangkir kopi, seniornya berteriak lagi.

"Buruan, Deon! Gue nggak minta lo bikin kopi sambil meditasi!"

Tangannya gemetar, hampir saja cangkir itu terlepas. Dengan langkah terburu-buru, dia membawa kopi itu ke meja seniornya dan di detik itu juga, tragedi terjadi.

Kakinya tersandung kabel, dan BRAK! kopi panas itu sukses tumpah ke meja kerja.

Satu ruangan langsung hening. Deon menelan ludah, menatap noda kopi yang mulai menyebar di antara tumpukan dokumen. Seniornya menatapnya dengan ekspresi horor, lalu beralih ke Deon dengan tatapan maut.

"DEON!!!"

Oh, ini sudah di luar batas. Jika bumi bisa membelah diri sekarang juga, dia rela masuk ke dalamnya. Atau kalau ada lowongan jadi batu di pinggir jalan, mungkin dia akan mempertimbangkannya.

Belum sempat berpikir lebih jauh, tiba-tiba telepon kantornya berbunyi nyaring. Seniornya masih sibuk mengelap meja, jadi mau tak mau Deon yang harus mengangkatnya.

Dengan jari gemetar, dia menekan tombol dan menjawab, “Halo, dengan De-eh, maksud saya, dengan PT-eh, hallo?”

Hening sejenak. Lalu suara di seberang berkata, “Ini Pak Direktur. Bisa sambungkan saya ke manajer?”

Wajah Deon langsung pucat. Itu suara ayahnya. Ayahnya sendiri. Direktur utama perusahaan ini.

Hari pertama magang dan dia sudah di ambang kehancuran total.

__

"Ayah benar-benar ingin membunuh aku?!" Deon menggeram, napasnya tersengal, emosinya sudah di ujung tanduk.

"Jaga ucapan kamu, Deon. Di kantor, ayah ini atasan kamu, bukan hanya ayah kamu." Suara sang ayah tenang, tapi penuh ketegasan.

Deon mendengus tak percaya. Tangannya bertolak pinggang, rahangnya mengeras. "Atasan? Ayah masih bisa bicara seperti itu? Sedangkan aku hampir mati karena mereka semua!"

BRUK!

Deon tersentak saat ayahnya menghantam meja.

"Seharusnya kamu bersyukur!" suara ayahnya tajam, menusuk langsung ke egonya. "Ayah masih berbaik hati menempatkan kamu di ruangan ber-AC, bukan di luar, kepanasan seperti karyawan lainnya!"

Deon tertawa sumbang, kepalanya mendongak seolah menertawakan takdirnya sendiri. "Bersyukur, Ayah bilang?" Dia menurunkan kepalanya perlahan, tatapannya tajam menusuk mata ayahnya. "Aku bukan anak magang! Aku lebih seperti pembantu! Apa ini yang Ayah maksud dengan magang?!"

Dia melangkah mendekat, berdiri tepat di depan meja besar berwarna coklat tua dengan nama sang ayah terukir megah di atasnya, simbol kekuasaan yang kini membuat darahnya mendidih.

"Dengarkan saya baik-baik, Pak Direktur yang terhormat!" suaranya meninggi, penuh tekanan.

"Karyawan anda tidak memperlakukan saya seperti anak magang. Mereka memperlakukan saya seperti pelayan pribadi mereka!!"

Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Dadanya naik turun, amarahnya membakar habis kesabaran yang tersisa. Kalau ini benar-benar magang, maka Deon sudah siap menulis surat pengunduran diri… dalam pikirannya saja, tentu saja.

Ruangan itu dipenuhi ketegangan yang nyaris bisa dipotong dengan pisau. Deon masih berdiri tegak di depan ayahnya, dadanya naik turun, sementara sang ayah menatapnya dengan mata tajam bak elang yang baru saja dihina di wilayah kekuasaannya sendiri.

Ayahnya menghela napas, mencoba menahan diri. “Kamu terlalu berlebihan, Deon.”

Deon tertawa pendek, sarkastik. “Berlebihan? Ayah pikir aku sedang drama?” Dia menunjuk dirinya sendiri. “Sejak kapan anak magang harus jadi tukang antar kopi, tukang fotokopi, tukang angkat berkas, bahkan sampai jadi pesuruh buat beli makan? Dan bukan cuma satu orang tetapi... SEMUA ORANG!”

Dia melangkah mundur, tangannya terangkat seolah mencari logika dalam semua ini. “Kalau ini namanya magang, aku nggak kebayang mereka perlakukan pegawai kontrak seperti apa! Mungkin disuruh cuci mobil sekalian? Atau pijitin kaki bos?”

Ayahnya kembali menatapnya tajam. “Itu bagian dari proses belajar, Deon. Ayah juga melewati itu semua dulu.”

Deon mencibir, kepalanya sedikit miring. “Oh, jadi Ayah dulu juga pernah disuruh ngelap sepatu senior? Dipaksa ambilin makanan setiap jam makan siang? Pernah nggak Ayah dihina, diremehkan, disuruh ini-itu seakan-akan aku ini budak mereka? Pernah, hah?!”

"Jaga mulut kamu, Deon!" suara ayahnya menggema di seluruh ruangan. Tapi Deon tidak peduli.

Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, kedua tangannya bertumpu di meja ayahnya. “Kalau ini yang Ayah sebut sebagai kerja keras, maka aku harus tanya satu hal…” Matanya menatap lurus ke mata ayahnya, penuh pemberontakan.

“Apa Ayah menempatkan aku di sini untuk belajar… atau untuk dihancurkan?”

Ruangan itu semakin panas meski AC berembus kencang. Deon tidak peduli. Amarahnya sudah naik ke ubun-ubun, dan dia tidak akan mundur.

Ayahnya menghela napas, berusaha tetap tenang. "Deon, ini bukan tentang menghancurkan kamu. Ini tentang mengajarkan kamu arti kerja keras."

Deon tertawa, kali ini lebih kencang, lebih sarkastik. "Kerja keras? AYAH MENYEBUT INI KERJA KERAS?!" Dia menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi tidak percaya. "Ayah pikir aku ini idiot? Jangan bicara seolah aku tidak tahu perbedaan antara kerja keras dan perbudakan terselubung!"

Dia melangkah maju lagi, semakin dekat, menatap sang ayah tanpa gentar. "Kalau Ayah benar-benar ingin aku belajar, kenapa aku tidak diberi tugas yang masuk akal? Kenapa aku tidak diajari sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaanku? Kenapa yang aku lakukan malah jadi tukang antar kopi dan budak suruhan senior yang bahkan tidak bisa menyebut namaku dengan benar?!"

Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, tubuhnya gemetar menahan emosi. "Jangan bicara soal proses belajar kalau Ayah sendiri menutup mata dengan apa yang terjadi! Ini bukan tentang mengajarkan aku cara bekerja dengan baik, tapi ini tentang menjatuhkan aku! Tentang menunjukkan bahwa aku tidak lebih dari anak bos yang pantas diinjak-injak!"

Matanya menyala penuh amarah. "Aku tahu aku manja! Aku tahu aku tidak pernah bekerja sebelumnya! Tapi kalau Ayah pikir aku akan diam dan menerima ini begitu saja, Ayah salah besar!"

Dia mendekat, suaranya merendah namun menusuk. "Jadi, katakan pada saya, Pak Direktur... Apa anda sebagai Ayah saya menempatkan saya di sini untuk belajar, atau memang sengaja membiarkan mereka menghancurkan saya?"

Ayahnya menatapnya tajam, rahangnya mengeras. Tapi Deon tidak takut. Tidak kali ini.

"Kamu pikir dunia ini mudah, Deon?" suara ayahnya rendah, tapi penuh tekanan. "Kamu pikir semua orang akan memperlakukan kamu istimewa hanya karena kamu anak bos?"

Deon mendengus, matanya berkilat. "Oh, jadi ini ujian mental, ya? Ayah sengaja biarin aku diinjak-injak biar aku belajar?" Dia menunjuk dirinya sendiri dengan jari gemetar karena emosi. "Kalau memang begitu, kenapa Ayah nggak sekalian aja suruh mereka melempar aku ke jalan?! Biar aku benar-benar tahu rasanya dihina habis-habisan!"

Ayahnya menghela napas panjang, tapi Deon tidak memberi kesempatan. Dia menunjuk meja besar di hadapan mereka, simbol kekuasaan sang ayah.

"Aku kira magang di perusahaan keluarga akan membuat aku belajar sesuatu tentang bisnis. Tapi ternyata, satu-satunya yang aku pelajari di sini adalah betapa mudahnya Ayah membuang harga diri anak Ayah sendiri ke lantai!"

Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap langsung ke mata ayahnya. "Ayah tidak menempatkan aku di sini untuk belajar. Ayah menempatkan aku di sini untuk dihancurkan. Dan yang lebih parah, Ayah membiarkan itu terjadi tanpa peduli!"

Deon menggertakkan giginya, matanya berkaca-kaca karena marah. "Kalau begini caranya, aku lebih baik keluar sekarang juga!"

Tangannya sudah siap meraih ID card di lehernya, siap untuk melepasnya dan melemparnya ke meja. Tapi di detik itu juga, suara ayahnya menghentikannya.

"Coba saja, Deon."

Suara itu pelan, tapi tajam seperti pisau. Deon menahan napas. Ayahnya menyandarkan diri ke kursi, menatapnya dengan ekspresi dingin.

"Kalau kamu keluar dari sini sekarang, jangan pernah berpikir untuk kembali."

Terpopuler

Comments

Isabel Hernandez

Isabel Hernandez

ceritanya keren banget, thor! Aku jadi ketagihan!

2025-03-31

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!