Cassius memejamkan mata sejenak dan menenangkan dirinya, ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. Setelah memastikan tak ada lagi ancaman lain di sekitarnya, ia berjalan menjauh dari tumpukan mayat serigala dan kembali ke tepi sungai tempat ia sebelumnya berhenti.
Pakaian yang dikenakannya robek di beberapa bagian dan berlumuran darah segar. Cassius berjongkok di tepi air, mencelupkan tangannya dan melihat warna merah darah yang bercampur dengan aliran sungai.
Tanpa terburu-buru, ia melepas jubahnya yang sudah terkoyak dan mulai membasuh tubuhnya dari noda darah yang mulai mengering. Air dingin menggigit kulitnya, tapi ia tidak terganggu. Justru, ia merasa segar setelah semua itu. Cassius juga mencuci jubahnya sebisanya, meski tahu bahwa bekas robekan tak bisa diperbaiki begitu saja.
Setelah merasa cukup bersih, ia mengenakan kembali pakaiannya yang setengah kering dan kembali berdiri. Dia berhenti sejenak dan duduk beristirahat, saat itu Cassius menyadari kalau sore hari sebentar lagi datang. Akhirnya dia memutuskan untuk bermalam di tepian sungai, selain dekat dengan sumber air dia juga berpikiran akan mudah mendapatkan makanan seperti ikan dan udang kecil di tempat itu.
Saat tengah mencari ikan dan udang kecil untuk makan malamnya, pikirannya kembali melayang ke jasad serigala yang ia bunuh. Ia menoleh ke arah mayat-mayat serigala itu. Bulunya tebal dan terlihat cukup hangat. Cassius mempertimbangkan untuk memanfaatkannya sebagai bahan pakaian tambahan. Selain itu, ide lain muncul di benaknya—bagaimana jika ia mencoba memakan daging serigala itu?
Ia menyipitkan mata, bertanya-tanya bagaimana tubuhnya akan bereaksi. Apakah akan ada perubahan? Apakah regenerasinya akan terpengaruh?
"Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya."
Dengan keputusan bulat, Cassius bangkit dan berjalan kembali ke arah mayat serigala, siap untuk menguji sesuatu yang baru malam ini.
Ia menghunus belati dari ikat pinggangnya, lalu mulai menguliti salah satu serigala. Bulunya terasa kasar di tangannya, tetapi cukup tebal untuk dijadikan selimut atau pakaian tambahan. Setelah menyisihkan bulu yang bisa digunakan, ia memotong satu potong daging dari paha serigala. Warnanya gelap, serat-seratnya padat.
Cassius menyalakan api kecil menggunakan kayu kering di sekitarnya. Ia menusukkan potongan daging ke sebatang ranting dan memanggangnya di atas api. Aroma daging terbakar menyebar, membuat perutnya yang kosong semakin meronta. Meski terasa sedikit ragu, keingintahuannya mengalahkan semuanya.
Ketika daging telah dirasa matang, ia meniupnya perlahan dan menggigit bagian ujungnya. Tekstur dagingnya keras dan berserat, dengan rasa yang sedikit pahit dan anyir meski sudah dipanggang. Cassius mengunyah perlahan, mencoba merasakan setiap perubahan dalam tubuhnya. Beberapa menit berlalu tanpa efek yang terasa.
Ia menghela napas pelan. “Mungkin hanya daging biasa...”
Namun, tiba-tiba dadanya terasa panas. Sensasi terbakar menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya tersentak. Otot-ototnya menegang, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Napasnya memburu, tetapi selain perasaan itu, tidak ada perubahan lain yang ia rasakan.
Cassius menunggu, berjaga-jaga jika ada efek lain yang muncul. Namun, setelah beberapa saat, rasa panas itu mulai mereda, dan tubuhnya kembali seperti semula. Ia mengepalkan tangannya, mengamati dirinya sendiri. Tidak ada yang berubah dari tubuhnya. Tidak ada peningkatan kekuatan atau kepekaan yang ia duga sebelumnya.
“Hanya reaksi tubuh terhadap daging yang asing,” gumamnya. “Atau mungkin sesuatu yang lain?”
Tatapannya kembali tertuju pada mayat serigala yang tersisa. Meski kali ini tidak membuahkan hasil yang ia harapkan, eksperimen ini masih belum selesai. Ada banyak hal yang perlu ia coba, dan Cassius tidak akan berhenti hanya karena satu kegagalan.
Cassius mengalihkan fokusnya pada ikan dan udang kecil yang berhasil ia tangkap. Ia berjongkok di tepi sungai, membiarkan air dingin mengalir di antara jarinya saat ia membersihkan hasil tangkapannya. Sisik ikan ia buang dengan ujung belati, sementara udang ia potong bagian kepalanya sebelum mencucinya bersih. Setelah memastikan tidak ada kotoran tersisa, ia kembali ke api unggun yang masih menyala redup.
Ia menyalakan api kembali dengan menambahkan ranting kering dan sedikit tiupan. Bara merah kembali menyala, memancarkan panas yang cukup untuk memasak makanannya. Ikan dan udang ia tusuk menggunakan ranting yang cukup kuat, lalu memanggangnya perlahan di atas bara. Aroma gurih yang mulai menyebar membuat perutnya semakin lapar, jauh lebih menggugah selera dibandingkan daging serigala sebelumnya yang terasa anyir.
Saat makan malamnya sudah matang, ia menggigit ikan yang renyah di luar dan lembut di dalam. Udang kecil yang ia panggang juga memiliki rasa manis alami, memberikan sedikit variasi dalam makanannya malam ini. Ia makan dengan tenang, membiarkan rasa hangat makanan menyebar di dalam tubuhnya, memberinya sedikit kenyamanan di tengah dinginnya malam di Hutan Pilgrum.
Sambil menikmati makanan, Cassius mulai mengolah bulu serigala yang telah ia sisihkan. Ia meraih salah satu kulit serigala yang telah ia keringkan di dekat api. Dengan hati-hati, ia mulai membersihkannya lebih lanjut, mengikis sisa daging yang menempel menggunakan belati. Setelahnya, ia menggosok kulit itu dengan abu hangat untuk menghilangkan bau anyir dan membantu proses pengeringan. Kulit yang sudah mulai terasa agak kering ia jahit kasar menggunakan serat tanaman yang ia temukan sebelumnya, mencoba menjadikannya sebagai lapisan tambahan pada pakaiannya. Meski hasilnya masih jauh dari sempurna, setidaknya ini bisa memberinya sedikit perlindungan tambahan dari hawa dingin di malam hari.
Setelah makan malamnya selesai dan bulu serigala mulai kering, Cassius duduk bersandar di dekat api unggun. Pikirannya kembali dipenuhi berbagai rencana dan kemungkinan. Dunia ini masih menyimpan begitu banyak rahasia yang harus ia pecahkan. Dan malam ini, ia baru saja membuka satu pintu menuju pemahaman yang lebih dalam tentang dirinya sendiri.
Keesokan paginya, begitu matahari mulai menyinari Hutan Pilgrum dengan sinar yang remang, Cassius terbangun oleh suara dedaunan yang bergesek tertiup angin. Ia duduk sejenak, mengusap wajahnya sebelum berdiri dan meregangkan tubuh. Matanya menyapu area sekitar, memastikan tidak ada bahaya yang mengintainya selama ia tidur.
Merasa tubuhnya masih sedikit kaku, ia berjalan menuju sungai untuk menyegarkan diri. Air pagi yang dingin menusuk kulitnya saat ia membasuh wajah. Namun, sensasi itu justru membuat pikirannya lebih jernih. Ia mengusap leher dan lengannya, lalu menyelam sebentar ke dalam air sebelum kembali naik ke tepian. Setelah mengeringkan tubuhnya, ia mengenakan kembali pakaiannya yang kini terasa lebih segar.
Ia lalu memeriksa persediaan yang ia miliki. Sebagai seorang bangsawan, ia telah diajarkan dasar-dasar sihir yang harus dikuasai, salah satunya adalah Inventory. Sihir ini memungkinkan penggunanya untuk membuka pintu atau portal menuju dimensi pribadi di mana mereka dapat menyimpan berbagai barang. Cassius mengangkat tangannya, membentuk sedikit gestur dengan jari-jarinya, dan sebuah celah hitam muncul di udara. Dari dalamnya, ia menarik kantung kulit kecil yang berisi ransum serta beberapa bahan yang masih bisa digunakan.
Namun, persediaannya memang tidak banyak. Meski Inventory sangat berguna untuk menyimpan perbekalan tanpa harus membawa beban berlebih, Cassius sadar ia tetap harus mencari lebih banyak sumber daya agar bisa bertahan lebih lama di hutan ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Kovács Natália
Keren, thor udah sukses buat cerita yang bikin deg-degan!
2025-04-01
1