Rihan hanya memandang datar bocah laki-laki itu, sedangkan bocah yang dipandang dengan tatapan tajam itu seketika menghentikan tangisnya dan melepaskan pegangan tangannya pada jari-jari Rihan lalu mundur dua langkah dan menundukkan wajahnya.
Rihan yang melihat itu, menghela nafasnya pelan dan maju menghampiri bocah laki-laki yang masih menunduk itu. Rihan lalu mensejajarkan tingginya dengan bocah itu kemudian mengelus pelan kepalanya.
"Siapa namamu?" Tanya Rihan datar pada bocah itu.
"Axen, Kak." Jawabnya masih menunduk takut sambil meremas jari-jari tangannya.
"Apa sesuatu di bawah itu yang akan membantu ibumu?" Rihan berusaha lembut pada Axen.
"Tidak, Kak."
"Kamu percaya padaku?" Tanya Rihan, dan dibalas anggukan kepala oleh bocah laki-laki bernama Axen itu.
"Maka tenanglah di sini dan aku akan membantu ibumu." Rihan lalu berdiri dan menuju sang korban kecelakaan.
"Kenapa tidak menggunakan cara itu?" Tanya Rihan datar pada pria yang katanya berstatus dokter itu.
"Cara itu tidak bisa digunakan sembarangan, karena itu sangat berbahaya. Dan juga... ak... aku tidak bisa menggunakannya." Jawab dokter itu gugup diakhir kalimatnya.
"Bukan tidak bisa. Tapi takut untuk mencoba dan takut untuk gagal," Rihan membalas dengan tenang lalu berjongkok di samping korban dan memeriksa denyut nadi pada pergelangan tangan ibu Axen itu.
"Telepon ambulance, Lex. Katakan pada mereka untuk datang sebelum 20 menit ke depan." Perintah Rihan pada Alex.
"Baik, Tuan."
"Apa yang kamu lakukan? Wanita ini tidak bisa banyak bergerak karena tulang lehernya!" Marah dokter itu ketika melihat apa yang dilakukan Rihan.
"Ibumu sering meminum obat, Axen?" Tanpa menjawab pertanyaan dokter di sampingnya, Rihan malah bertanya dengan nada datar pada Axen yang sedari tadi memperhatikan gerak geriknya.
"Iya, Kak." Jawab Axen sambil menganggukkan kepalanya.
"Bisa kamu ambil obatnya padaku?" Rihan masih menatap lekat seluruh tubuh ibu Axen.
"Ini, kak." Axen memberikan sebuah botol berukuran kecil yang diketahui adalah obat yang baru saja diambil di dalam tas ibunya yang sedari tadi dipakainya ketika keluar dari taxi yang mereka tumpangi.
Rihan lalu mengambil dan membaca nama yang tertera pada label di botol obat itu. Sambil menganggukkan kepalanya, Rihan lalu memberikan botol obat itu pada dokter muda di sampingnya.
"Dia menderita penyakit jantung kronis sehingga ketika mengalami kecelakaan tiba-tiba, jantungnya berhenti berkerja normal karena terkejut. Jadi, anda harus mengeluarkan udara dalam tubuhnya, agar jantungnya menerima oksigen dari luar sehingga kembali bekerja normal. Hanya cara itu satu-satunya." Jelas Rihan ketika melihat ekspresi bingung di wajah dokter muda itu.
"Kenapa kamu bisa berpikir dia menderita penyakit jantung kronis, sedangkan obat ini hanya untuk penyakit jantung biasa." Tanya dokter itu karena memang obat ada di tangannya hanya digunakan untuk penyakit jantung biasa.
"Axen, apa ibumu sering sakit?" Tanya Rihan pada Axen sambil terus memperhatikan dari atas sampai bawah ibu Axen yang terkapar di depannya.
"Iya kak. Ibu sering pingsan tiba-tiba jika dikagetkan. Ibu juga sering muntah-muntah dan tidak bisa tidur dengan baik," Jelas Axen dengan mata berkaca-kaca.
"Bagaimana menurut anda, Dok?" Tanya Rihan lalu melirik sekilas dokter muda di sampingnya.
"Itu memang gejala jantung kronis. Tapi kenapa dia mengkonsumsi obat untuk sakit jantung biasa?" Tanya balik dokter muda itu masih dalam mode bingung.
"Jika begitu... apa kesimpulan anda?" Tanya Rihan lalu berdiri dan mengambil tas yang sedang dipegang oleh seorang gadis berseragam SMA yang juga termasuk dalam kerumunan orang yang melihat kegiatan mereka. Rihan mengambil tas gadis itu secara tiba-tiba tanpa mempedulikan ekspresi si pemilik tas.
"Biaya berobat?" Jawab sang dokter sambil memperhatikan Rihan yang kembali berjongkok dan menumpahkan semua isi tas milik gadis SMA itu.
"Apa yang sedang kamu lakukan?" Tanya dokter muda itu heran pada Rihan.
"Berikan kakimu," Rihan menatap dokter muda itu tanpa menjawab pertanyaan sang dokter.
"Untuk apa?" Tanya balik dokter itu tetapi tetap memberikan kakinya pada Rihan setelah dia mendaratkan bokongnya di atas aspal.
"Hei... kenapa tali sepatuku kamu lepas?" Teriak sang dokter ketika Rihan melepaskan tali sepatunya.
Rihan tidak menjawab dan terus melepas tali sepatu dokter itu. Bukan hanya satu, tetapi sepasang tali sepatu itu dilepasnya.
"Hey...hey... kenapa harus dua-duanya? Bagaimana denganku..." Dokter muda itu frustasi sambil memandang sedih sepatunya yang baru dibeli dua hari lalu dan baru dipakai hari ini.
Sepatuku yang malang.
Rihan tidak menggubris teriakan maupun wajah menjijikan yang diperlihatkan itu. Rihan hanya fokus dengan kegiatannya.
"Terus berikan CPR padanya jangan berhenti sebelum kusuruh." Perintah Rihan mutlak.
"Kamu memerintahku? Hey aku ini seorang dokter. Kamu hanya seorang mahasiswa." Ucapnya marah sambil menunjuk wajah Rihan.
"Lakukanlah." Rihan lalu memandang tajam wajah sang dokter.
Dokter muda itu seketika menciut dan menuruti perintah Rihan tetapi dalam hati dia menghafal jenis-jenis penyakit guna menghilangkan kekesalannya.
Rihan lalu mengambil 4 buah pena milik gadis SMA tadi yang merupakan isi tas yang dia keluarkan.
Rihan kemudian meletakkan keempat pena itu di bagian leher ibu Axen. Rihan meletakkan satu di sisi kiri, satu pena lagi di sisi kanan leher dan terakhir dua pena di sisi belakang leher ibu Axen. Rihan lalu mengikatnya dengan tali sepatu milik dokter muda itu yang tadi diambil secara paksa.
Rihan lalu melilit tali sepatu itu di leher ibu Axen secara rapi agar tidak memperparah lehernya, sehingga ketika dibawa nanti, tidak ada resiko yang serius. Sedangkan dokter muda itu hanya melakukan tugasnya sambil terus memandang takjub apa yang dilakukan Rihan.
Selesai mengikat dengat kuat tali sepatu agar tidak terlepas, Rihan lalu memandang sang dokter yang juga sedang melihatnya.
"Ada perkembangan?" Tanya Rihan pada dokter muda itu yang masih memompah dada ibu Axen.
"Tidak ada," Balasnya dengan nada lesuh setelah memeriksa denyut nadi ibu Axen yang tak kunjung normal, malah hampir tak terasa.
"Maka, lakukan cara itu!" Rihan berbicara dengan tenang.
"Kamu gila? Aku tidak bisa." Balas dokter muda itu dengan nada tinggi tetapi jika di teliti, itu terdengar gugup.
"Lakukanlah. Sampai kapan anda akan membiarkan wanita ini kehilangan denyut jantungnya? Ini sudah hampir melewati batas normal jantung yang berhenti. Dalam 3 menit ke depan tidak anda gunakan cara itu, maka.... Semua kuserahkan pada anda, Dok." Rihan lalu berdiri dan hendak pergi.
"Mau kemana kamu? Aku tidak bisa melakukannya. Tidak bisakah kita menunggu ambulance saja?" Dokter itu sangat gugup. Jangan lupa dengan keringat yang sudah membasahi sekujur tubuhnya.
"Hidup wanita itu aku serahkan padamu. Aku akan pergi. Bye..." Balas Rihan cuek sambil melambaikan tangannya dan berjalan meninggalkan sang dokter yang menjambak rambutnya frustasi.
Tanpa mereka sadari Rihan mengulas senyum tipisnya ketika berbalik dan berjalan meninggalkan kerumunan itu.
"Hey bocah... Jangan pergi kamu! Ayo bantu aku," Teriak frustasi sang dokter.
"Majikan saya hanya mahasiswa, Tuan. Anda adalah seorang dokter, kenapa harus meminta bantuan majikan saya?" Alex menjawab dengan tenang kemudian menampilkan senyum yang menyebalkan di mata dokter itu lalu menyusul Rihan.
"Bajingan tengik kau! Hey... Panggil majikanmu kemari... Hey... Astaga...
Apa yang harus kulakukan? Aku bisa gila..." Frustasi dokter muda itu tanpa mempedulikan kondisi tubuhnya yang terlihat mengenaskan dengan rambut acak-acakan. Apalagi dengan sepatu tanpa talinya. Sungguh menyedihkan.
"Lakukan cara itu, Dok. Tolong ibu saya. Hiks...hiks.. saya hanya punya ibu." Axen memohon dengan air mata yang kini mengalir deras.
"Tapi... ak...aku tidak bisa. Aarrrggghhh... waktunya sisa 2 menit lagi. Apa yang harus aku lakukan?" Dokter itu frustasi sambil melihat jarum jam yang bergerak dengan sangat baik di pergelangan tangannya.
[Lakukan cara itu, Dok.]
[Iya, Dok. Lakukan cari itu,]
[Ayo semangat, Dok. Anda pasti bisa!]
[Kami mendukungmu, Dok.]
Itulah ucapan semangat dari orang-orang yang sedari tadi memperhatikan kelakuan dokter muda itu.
"Ya... aku pasti bisa... Harus bisa... Semangat Lio." Dokter muda itu memberi semangat pada dirinya sendiri dalam hati.
"Ada yang punya alkohol, pisau dan selang atau sejenisnya mungkin?" Tanya sang dokter.
"Di sini saya punya alkohol." Jawab seorang pria paru baya yang saat ini sedang memegang botol minuman alkoholnya. Sepertinya dia seorang peminum alkohol.
"Saya juga memiliki pisau kecil. Apa ini cukup, Dok?" Seorang pria muda yang juga ada di sana menyahut.
"Itu sudah cukup."
"Tapi kami tidak memiliki selang, Dok. Bagaimana ini, Dok?" Ucap seorang ibu ketika tidak ada yang menunjukan keberadaan selang yang dibutuhkan.
"Bisakah kalian membantuku mencarinya? secepatnya. Waktu kita tidak banyak,"
Dokter muda dengan nama lengkap Charlio Eungenick atau dipanggil Lio itu, segera mencuci tangannya dengan air mineral yang tadi dia bawa bersamanya, setelah itu dia kembali mencuci kedua tangannya dengan alkohol bersamaan dengan pisau itu juga, guna mensterilkannya dari kuman.
Dokter Lio lalu menghampiri sang korban kecelakaan itu dan membuka baju atasnya dan memperlihatkan dada ibu Axen itu lalu menyiram alkohol itu lagi di atas dadanya. Selanjutnya Dokter Lio mengambil pisau yang sudah disiram dengan alkohol tadi dan siap untuk membedah sedikit dada pasiennya. Ketika akan mendaratkan pisau itu,
"Astaga tanganku... Ada apa denganmu? Nyawa ibu ini ada padamu. Please lah, jangan gementar." Keluh Dokter Lio dalam hati sambil memandang tangannya yang tidak berhenti bergoyang.
Dokter Lio juga menahan tangan kanannya yang gementaran dengan tangan kirinya sambil terus berdoa dalam hatinya.
"Dok, waktunya tinggal satu menit lagi." Seorang gadis SMA secara tiba-tiba mengejutkan Dokter Lio.
"Tuhan... bagaimana ini, tanganku tidak bisa bekerja sama." Frustasi Dokter Lio sambil terus memegang tangannya yang gemetaran.
"Tarik nafas, buang. Tarik... buang. Ayo kita mulai." Dokter Lio bergumam dalam hati kemudian melihat tangannya yang sudah tidak gemetar lagi.
Dokter Lio lalu mendekatkan tangannya yang memegang pisau pada dada ibu Axen. Akan tetapi tangannya kembali gementar.
"Ya, Tuhan. Bagaimana ini, tolong bantu aku. Nyawa Ibu ini kuserahkan pad..." Perkataan Dokter Lio terpotong dalam hati sekaligus terkejut ketika merasakan tangan lembut dan halus yang menggenggam erat tangannya yang masih gemetaran memegang pisau itu.
"Anda ingin membunuh pasien dengan tangan seperti ini?"
***
Terima kasih sudah membaca ceritaku.
Jangan lupa tinggalkan jejakmu, ya.
See You.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 254 Episodes
Comments
Mommy Gyo
like ❤️
2021-09-27
0
Yeni Eka
Semangat ka, 10 Like mendarat
2021-06-16
0
Neti Jalia
10 like untukmu,salam dari
*hujan dibalik punggung
*suamiku ceo ganas
2021-04-30
1